Akhir-akhir ini tidak sedikit dari para ulama yang meninggal dunia, tapi jarang dari kita ketahui bagaimana kriteria ulama yang perlu disayangkan akan kepergiannya. Juga beredarnya kepercayaan di masyarakat bahwa hujan di saat wafatnya ulama merupakan tanda bumi menangis akan kepergiannya. Benarkah kepercayaan semacam itu? Berikut pandangan KH. Idris Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan saat diwawancarai oleh Akmal Bilhaq dari Buletin Tauiyah di kediaman beliau beberapa waktu lalu.
Bagaimana kriteria ulama dalam hadis dicabutnya ilmu dengan wafatnya ulama?
Yang dimaksud ulama itu adalah al-‘Alim wal-‘Amil, dia yang mengerti lalu mengamalkan ilmunya, ulama itu kan warâtsatul-anbiyâ’. Jadi kalau ada orang alim tapi tidak mengamalkan ilmunya, atau keilmuannya tidak sesuai dengan ajaran Nabi, maka belum bisa dikatakan sebagai ulama. Namun, di Saudi Arabia, orang alim dalam bidang teknologi sudah disebut sebagai ulama, tapi dalam bidang teknologi saja. Kalau di Saudi Arabia istilah ulama tidak harus di bidang syariat, ada ulama bidang hukum, matematika. Tapi saya kira, ulama yang dimaksud dalam hadis itu adalah ulama dalam bidang syariat, bukan yang lain.
Benarkah hujan merupakan tanda menangisnya alam saat wafatnya ulama?
Hal itu hanya semacam kepercayaan orang Jawa, tidak sampai mengacaukan kepada pemahaman akidah. Dulu ketika putra Nabi Muhammad wafat, lalu terjadi gerhana maka para shahabat mengira hal itu dikarenakan wafatnya putra Nabi. Mendengar hal itu Nabi langsung marah dan menjelaskan bahwa gerhana terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang. Oleh karenanya, hujan itu hanya murni dari Allah I, bukan dikarenakan meninggalnya seseorang. Semua itu berasal dari budaya yang melahirkan tradisi, kalau langsung dimasukkan ke akidah kan kasihan akidahnya.
Lalu apakah ada tolok ukur untuk menyatakan sebuah tradisi itu salah atau benar?
Asalkan tidak bertentangan dengan akidah dan syariat Islam maka boleh-boleh saja. Dulu Wali Songo di saat menyebarkan agama Islam di Indonesia, beliau membiarkan tradisi yang terjadi di masyarakat. Namun, jika ada tradisi yang bertentangan dengan akidah dan syariat maka tentu beliau akan mengubah isinya.
Pesan Jenengan, mengingat banyaknya ulama yang wafat?
Ya santrinya harus jadi Kiai. Buat pondok yang banyak. Justru di zaman sekarang kita harus menjawab tuntutan zaman. Orang-orang di luar sana lebih memilih sekolah di SMP, SMA karena ijazahnya jelas. Sedangkan ijazah pondok menurut mereka tidak laku. Oleh karenanya, buat pondok dengan sistem apapun menurut saya itu sudah bagus. Jangan hanya karena terlalu modern lalu dikira sudah hilang nilai-nilai agamisnya. Kita harus menatap masa depan, jangan hanya fokus pada hal-hal yang telah berlalu. Apa yang belum sempat dilaksanakan oleh ulama-ulama pendahulu kita, harus kita sempurnakan.
Baca Juga: Mitos Nasi Orang Mati
Kiai-kiai yang sudah wafat itu memang sudah saatnya diberi pahala oleh Allah I, diberi kenikmatan surga. Kita tidak boleh terus berlarut-larut dalam kesedihan karena ditinggal oleh beliau, sebab beliau sudah bahagia di alam sana. Lagipula di dalam al-Quran dijelaskan bahwa para pejuang fîsabîlillâh akan terus hidup. Lah kita-kita ini yang masih muda harus terus berusaha, belajar yang giat, meneruskan perjuangan kiai-kiai yang sudah wafat.
Akmal Bilahq | Annajahsidogiri.id