I. Karamah dan Keajaiban Lainnya: Definisi, Subtansi dan, Diferensi
Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, dalam kitabnya; Tuhfatul Murîd (hal. 169), mendefinisikan karamah sebagai suatu peristiwa luar biasa yang muncul pada pribadi seorang hamba yang jelas kesalehannya, dan berkomitmen kuat dalam mengikuti Nabi, disertai dengan keyakinan yang benar dan amal saleh.[1]
Keajaiban –yang muncul dari pribadi saleh– ini dinamakan karamah, apabila tidak disertai dengan klaim kenabian dari si pelaku. Jika disertai dengan pengakuan tersebut, maka keajaiban yang muncul dinamakan mukjizat, bukan karamah.
Namun, jika ada suatu keajaiban yang timbul dari orang awam dan tidak terkenal kesalehannya, maka demikian itu disebut ma’unah. Dan biasanya, ma’unah ini Allah kehendaki sebagai solusi atau kemudahan atas kesulitan orang awam terkait.
Baca Juga; Wali dan Karamah [1/3]
Keajaiban lain yang tidak asing ditelinga kita adalah sihir. Sihir adalah hal luar biasa yang muncul dari orang fasik sebagai tipu daya dari Allah. Namun ada Sebagian ulama yang menyebutnya dengan Istidraj, dan menganggap sihir bukan suatu hal yang luar biasa, karena keberhasilannya tergantung pada sebab atau faktor tertentu.
Lantas bagaimana dengan keajaiban yang terjadi pada para nabi sebelum mereka diutus menjadi nabi atau utusan –seperti awan yang menaungi Rasulullah ﷺ ketika beliau pergi berdagang ke Syam bersama Abu Thalib? Hal demikian dan yang serupa dikenal dengan istilah irhash.[2]
II. Karamah dan Kewalian: Posisi, dan Relasi
Satu hal yang sangat penting diketahui disini, khususnya bagi kalangan awam, adalah bahwa karamah dan keajaiban luar biasa tersebut bukanlah kelaziman bagi maqâm kewalian. Sehingga karamah bukanlah syarat bagi seseorang untuk disebut wali atau dinyatakan telah berhasil mencapai maqam kewalian. Selain itu, bukan berarti pula seorang wali yang diberi karamah lebih utama daripada yang tidak diberi karamah. Melainkan, kadangkala karamah hanyalah sebagai keutamaan (anugerah tambahan), bisa jadi sebagai penanganan (atas kekurangan), dan bisa juga sebagai bentuk peneguhan (keteguhan hati atau iman) bagi si wali tersebut.[3](Yusuf al-Ghofish, Sharhul-Aqîdah at-Tahawiyah: 13)
Baca Juga; Wali Ataukah Dukun?
Bahkan Syekh ghazi bin salim aflah, dalam kitabnya; Riyyudz-Dzam’ân bi Majâlisi Syu’abil îmân (hal. 90), menjelaskan;
وَأَعْظَمُ كَرَامَةٍ لِلْمُؤْمِنِ هِيَ اسْتِقَامَتُهُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ -جَلَّ وَعَلَا- وَلِهَذَا يَقُولُ الْعُلَمَاءُ: لَا يُشْتَرَطُ فِي الْمُؤْمِنِ الْوَلِيِّ مِنْ أَوْلِيَاءِ أَنْ تَحْصُلَ لَهُ كَرَامَةٌ أَوْ أَنْ تَقَعَ لَهُ كَرَامَةٌ، وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَسْعَى لِلِاسْتِقَامَةِ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ لَا أَنْ يَسْعَى بَحْثًا عَنِ الْكَرَامَةِ.
“Dan kemuliaan (karamah) yang paling agung bagi seorang mukmin adalah istiqamahnya di atas ketaatan kepada Allah – Maha agung dan Maha tinggi. Oleh karena itu para ulama mengatakan: tidak disyaratkan bagi seorang mukmin yang merupakan wali di antara para wali Allah untuk harus mendapatkan karamah atau mengalami karamah. Sesungguhnya yang wajib bagi seorang mukmin adalah berusaha untuk istiqamah di atas ketaatan kepada Allah, bukan berusaha mencari-cari karamah.”
Muhammad Asrori | Annajahsidogiri.id
[1] Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul Murîd (Edisi ke-2; Beirut – Lebanon: Darul-Kutub al-Ilmiah, 2004), 169.
[2] Ibid, 148-149.
[3] Yusuf al-Ghofish, Syarhul ‘Aqîdah at-Tahawiyah (Maktabah syamilah: https://shamela.ws/book/37777/329#p2), 13.































































