Beberapa hari yang lalu, muncul artikel membahas jilbab dengan judul Quraish Shihab: Ini 3 Alasan Mengapa Jilbab Tidak Wajib Bagi Muslimah. Tulisan itu ditulis oleh Lufaefi di portal Akurat.co, dengan membawa nama besar Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. Tanpa menampilkan video atau sekadar menyebut channel dan nama acara, portal itu mengatakan sebagai berikut:
“Dalam sebuah tayangan di televisi swasta, Quraish Shihab ditanya oleh salah seorang jamaah ibu-ibu soal hukum memakai jilbab dan penerapan pemakaiannya dalam keluarganya.
Quriash Shihab menjawab bahwa jilbab tidak wajib dikenakan oleh muslimah. Dengan tiga alasan yang perlu dipahami,”
Akurat.co
Tulisan tersebut sama-sekali tidak menampilkan pendapat ulama yang tidak mewajibkan jilbab, alias tanpa dalil sama-sekali. Pembaca yang bijak tentu sangat bisa merasakan bahwa tulisan tersebut tidak menggoyahkan ijma’ ulama perihal kewajiban jilbab.
Mari kita bedah satu-persatu alasan yang disodorkan, sebagai dalih bahwa jilbab itu tidak wajib.
1. Ulama Berbeda Pendapat Definisi Jilbab
Tentu sangat aneh, bila perbedaan definisi menjadi dasar bahwa jilbab tidak wajib. Ditambah lagi dengan penjelasanya:
Alasan pertama karena definisi jilbab antar satu ulama dengan ulama lain berbeda. Ada yang mengatakan jilbab itu seperti pakaian kerudung. Ada yang mengatakan cadar. Dan ada pula yang mengatakan yang penting pakaian terhormat bagi wanita.
Akurat.co
Pernyataan itu sama-sekali tidak menjalaskan adanya perbedaan pendapat mengenai hukum jilbab. Paling full, hanya mereka berselisih perihal penamaan saja. Tidak lebih.
Perkataan “ada pula yang mengatakan yang penting pakaian terhormat bagi wanita,” perlu diperjelas. Siapa yang mengatakan? Apakah pendapatnya muktabar ataukah tidak? Dalam al-Asybah wan-Nadzair (158) dijelaskan perihal perbedaan pendapat yang pengambilannya sangat jauh. Disana dijelaskan:
القَاعِدَةُ الخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُوْنَ لَا يُنْكَرُ المُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ المُجْمَعُ عَلَيْهِ وَيُسْتَثْنَى صُوَرٌ يُنْكَرُ فِيْهَا المُخْتَلَفُ فِيْهِ إِحْدَاهَا أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ المَذْهَبُ بَعِيْدَ المَأْخَذِ بِحَيْثُ يُنْقَضُ
“Kaidah 35: la yunkaru mukhtalaf fih wa innama yunkaru mujma’ ‘alaih. Dikecualikan dari itu banyak hal, sehingga sah-sah saja ingkar atas perbedaan pendapat. Salah satunya, bila mazhab yang berbeda-pendapat sangat jauh pengambilannya.”
al-Asybah wan-Nadzair (158)
Padahal penjelasan perihal wanita wajib menutup aurat, memang bersumber dari firman Allah:
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya“
(QS. an-Nur :31)
Menafsiri ayat tersebut, dalam Tafsirul-Jalalain terdapat sebuah keterangan:
أَيْ يَسْتُرْنَ الرُّؤُوْسَ وَاْلأَعْنَاقَ وَالصُّدُوْرَ بِاْلمَقَانِعِ
“Yakni menutup kepala, leher, dan dada dengan penutup”
Mengenai kewajiban menutupi kepala bagi seluruh wanita, itu sudah merupakan kesepakatan ulama. Paling tidak, bila hendak menentang, maka hendaknya tampilkan satu saja dalil ulama Ahlusunah wal Jamaah yang memang tidak mewajibkan jilbab
2. Ulama Berbeda Pendapat Soal Batasan Aurat
“Alasan ini juga menjadi pijakan penting mengapa menurut Quraish Shihab jilbab tidak wajib bagi muslimah. Terhadap batasan aurat wanita, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang mengatakan semua bagian tubuh kecuali telapak tangan dan muka. Ada yang mengatakan selain mata. Dan ada yang mengatakan kurang dari semua itu.”
Akurat.co
Soal batasan aurat perempuan merdeka, memang ada perbedaan. Namun, dari mazhab empat paling ringan ialah mazhab Hanafi yang menyatakan lengan dan kedua telapak kaki bukanlah aurat. Sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-8 yang berbunyi:
Hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram, menurut pendapat yang mu’tamad. Menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan menurut mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.
Ahkamul Fuqaha no. 135
Hal ini berdasarkan pernyataan Syekh Hasan al-Syaranbilali al-Hanafi dalam kitab Maraqil-Falah (45), yang berbunyi:
(وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا) بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي اْلأَصَحِّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ. وَذِرَاعُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ فِيْ ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ وَهُوَ اْلأَصَحُّ. وَعَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ (وَ) إِلاَّ (قَدَمَيْهَا) فِيْ أَصَحِّ الرِّوَايَتَيْنِ بَاطِنِهِمَا وَظَاهِرِهِمَا لِعُمُوْمِ الضَّرُوْرَةِ لَيْسَا مِنَ الْعَوْرَةِ فَشَعْرُ الْحُرَّةِ حَتَّى الْمُسْتَرْسِلِ عَوْرَةٌ فِي اْلأَصَحِّ وَعَلَيْهِ الْفَتَوَي.
“Menurut pendapat yang paling sahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya. Demikian pula lengannya termasuk aurat. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang tidak menganggap lengan tersebut sebagai aurat. Menurut salah satu riwayat yang sahih, kedua telapak kaki wanita itu tidak termasuk aurat baik bagian dalam atau luarnya. Sedangkan rambutnya sampai bagian yang menjurai sekalipun termasuk aurat, menurut qaul al-ashshah dan demikian yang harus fatwakan.”
Maraqil-Falah (45)
Lebih ketat lagi, dalam Mazhab Syafi’i saja perbedaan pendapat mengenai batasan aurat paling longgar ialah wajah dan telapak tangan boleh diperlihatkan. Imam al-Baijuri dalam Hasyiyatlu-Baijuri-nya (97) menjelaskan mengenai hal ini, dengan penjelasan:
(قَوْلُهُ إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ) أَيْ إِلَى شَيْءٍ مِنِ امْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ أَيْ غَيْرِ مَحْرَمَةٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِمَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِي الْمِنْهَاجِ وَغَيْرِهِ إِلَى أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ. وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِي لاَ سِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ كَثُرَ فِيْهِ خُرُوْجُ النِّسَاءِ فِي الطُّرُقِ وَاْلأَسْوَاقِ وَشَمِلَ ذَلِكَ أَيْضًا شَعْرَهَا وَظَفْرَهَا.
“Ungkapan Ibn Qasim al-Ghazi: ‘Lelaki melihat- wanita lain.’ Maksudnya ke bagian tubuh wanita lain, yaitu wanita yang bukan mahramnya walaupun budak. Ungkapan tersebut mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Maka haram melihat keduanya walaupun tanpa syahwat atau khawatir timbulnya fitnah, menurut pendapat as-sahih seperti yang tertera dalam kitab al-Minhaj dan lainnya.
Pendapat lain menyatakan tidak haram, sesuai firman Allah (al-Nur: 31): “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” yang ditafsirkan dengan wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat pertama (haram) adalah pendapat yang mu’tamad, dan tidak apa-apa (boleh) mengikuti pendapat kedua (tidak haram). Terutama pada masa sekarang ini di mana banyak wanita keluar di jalan-jalan dan pasar-pasar. Keharaman tadi juga mencakup rambut dan kukunya.”
Hasyiyah al-Baijuri (97)
Jadi pernyataan ada yang mengatakan kurang dari semua itu sangat tidak jelas, dan tidak berdasar.
3. Dalam Konteks Indonesia Jibab Baru Ramai Dipakai 20-an Tahun ke Belakang
Tentu alasan yang terakhir ini sama-sekali tidak bisa dibuat hujah. Sejak kapan syariat bisa ditentukan dari sejarah Indonesia?
Imam as-Sanusi dalam Syarah Ummul-Barahin (33) menerangkan bahwa syariat ialah: murni khithab Allah yang berkaitan dengan pekerjaan orang mukalaf. Bukan dari akal, bukan pula ditentukan dari sejarah.
Juga, perilaku dan pendapat seseorang tidak bisa disamakan. Sangat mungkin, ulama yang berpendapat A, mengerjakan B. Imam al-Ghazali dalam al-Munqidz minadh-Dhalal (127-128) saat menjelaskan orang awam yang tertipu dengan sejarah, beliau mengaskan bahwa perilaku ulama bukan berarti itu adalah pendapatnya dan keyakinannya. Beliau memberikan sebauh perumpamaaan:
“Betapa banyak orang yang percaya kepada dokter, tetapi ia tidak sabar untuk memakan manisan dan minum air dingin, meski dokter melarangnya. Bukan berarti dengan memakan dan minumnya, orang itu tidak meyakini bahwa perkerjaannya berdampak negatif. Bukan pula berarti orang itu tidak percaya lagi ke dokter.”
al-Munqidz minadh-Dhalal (128)
Jadi, salah besar bila menjadikan sejarah sebagai hujah. Wallahua’lam!
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id
Comments 0