Tidak sedikit masyarakat yang berakidah secara abal-abal. Akidah yang tertanam dalam diri mereka tidak begitu kokoh sehingga sangat mudah tergoyahkan dengan pemikiran yang menyimpang dari ajaran Aswaja. Akidah rapuh semacam ini, tentu tidak mungkin berbuah tasawuf sebagaimana semestinya. Seharusnya, akidah yang mapan juga disertai rukun Islam yang lima, pasti membuahkan ketasawufan dalam pribadi mereka masing-masing. Sekilas tentang akidah yang membuahkan tasawuf, berikut adalah hasil wawancara Fakhrul Islam dari redaksi AnnajahSidogiri.id kepada Ust. Muhayyat Syah. LC.
Apa korelasi antara akidah dan tasawuf?
Nabi pernah bersabda dalam hadist Jibril;
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
Dari Umar radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu hari ketika kami duduk-duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian dia duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menempelkan kedua lututnya kepada lutut Beliau dan meletakkan kedua telapak tangannya di paha Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sambil berkata, “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika kamu mampu” kemudian dia berkata, “Engkau benar”. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman?” Beliau bersabda, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” Dia berkata, “Engkau benar.” Kemudian dia berkata lagi, “Beritahukanlah kepadaku tentang ihsan.” Beliau menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak merasa begitu, (ketahuilah) bahwa Dia melihatmu.” Kemudian dia berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan terjadinya).” Beliau menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih mengetahui dari yang bertanya.” Dia berkata, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya?” Beliau menjawab, “Jika seorang budak melahirkan tuannya dan jika kamu melihat orang yang sebelumnya tidak beralas kaki dan tidak berpakaian, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunan,” Orang itu pun pergi dan aku berdiam lama, kemudian Beliau bertanya, “Tahukah kamu siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepadamu dengan maksud mengajarkan agamamu.” (HR. Muslim)
Baca Juga; Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)
Hadis di atas menjelaskan tiga pilar penting yang saling berkaitan dalam agama Islam. Pada permulaan Nabi ﷺ menjelaskan rukun Islam, lalu rukun iman, kemudian menjelaskan makna ihsan. Ketika rukun Islam seseorang terlaksana dengan sempurna, juga disertai dengan keimanan yang mapan, maka tasawuf akan datang dengan sendirinya. Sebab, ketika ia percaya penuh bahwa yang memerintah itu ada, dan percaya akan kesempurnaan sifat-sifat yang memerintah, niscaya seseorang akan lebih takwa dan takut untuk melakukan perbuatan dosa.
Ibarat karyawan, ketika ia tau bahwa sedang dipantau oleh bosnya, kualitas pekerjaan yang ia lakukan akan diperbaiki dan diperbagus. Andaikan seseorang sudah menunaikan semua rukun iman, namun tidak membuahkan tasawuf, berarti terdapat kesalahan dalam memperaktekkan rukun Islam dan Iman. Jadi, hubungan antara akidah dan tasawuf di atas, ialah keniscayaan bertasawuf setelah mapannya akidah.
Apakah benar, tasawuf dianggap sesuatu yang urgen dalam menyempurnakan akidah?
Tentunya, tasawuf adalah sesuatu yang urgen dalam menyempurnakan akidah. Sebab, tasawuf merupakan sesuatu yang membuktikan kesalahan seseorang dalam berakidah. Jika keimanan seseorang sudah kokoh, tetapi belum pula menghasikan tasawuf, berarti ada kekeliruan dalam bagaimana dia berakidah. Barometer akan kebenaran akidah seseorang adalah munculnya tasawuf tersebut.
Apa perbedaan antara akidah yang disertai tasawuf dan yang tidak?
Karena tasawuf muncul dari akidah yang mapan, akidah yang disertai tasawuf jelas terdapat perbedaan yang signifikan dari pada akidah yang tidak disertai tasawuf. Pada satu definisi, tasawuf merupakan ilmu untuk membersihkan hati dari penyakitnya. Salah satu fungsi dari tasawuf adalah mengendalikan perasaan dalam hati dan nafsu yang bersemayam dalam diri seseorang. Tasawuf tidak untuk menghilangkan perasaan dalam hati dan nafsu. Sebab, manusia pada fitrahnya, memiliki perasaan dalam hati dan nafsu. Jika akidah tidak disertai tasawuf, hati akan mudah menuruti nafsu dan perasaan, dan hati mudah diperbudak oleh nafsu tersebut.
Namun, ilmu tasawuf bukanlah sekedar teori, tetapi ilmu tasawuf merupakan ilmu etika. Artinya, tasawuf itu harus diperaktekkan. Tidak ada gunanya seseorang mendalami ilmu tasawuf namun tidak memperaktekkannya. Mayoritas guru besar di universitas Al-Azhar, Mesir, selalu memperaktekkan ilmu tasawuf. Tawadlu’ adalah hal lumrah yang dilakukannya. Tidak pernah gengsi untuk rendah hati dan beristifadah ilmu kepada rekan yang lebih rendah secara akademik. Membawa buku dan pena untuk belajar kepada orang lebih muda yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh guru besar tersebut, seringkali ia lakukan. Padahal, guru besar tersebut telah sepuh, dan ilmunya dianggap menyundul langit oleh mahasiswa Al-Azhar. Hal ini dikarenakan tasawuf adalah ilmu etika, bukan sekedar teori, dan memang sepatutnya diperaktekkan agar lebih melekat pada pikiran.
Apakah imannya seseorang dapat dikatakan sempurna tanpa menjalani tasawuf?
Mungkin yang dimaksud kesempurnaan di sini adalah keyakinan yang benar dalam hati ketika berakidah. Iman seseorang tidak dapat dikatakan sempurna tanpa menjalani tasawuf. Sebab, tasawuf muncul dengan sendirinya setelah sempurnanya keimanan. Jika keimanan seseorang tidak pula melahirkan tasawuf, berarti ada yang belum sempurna dalam bagaimana dia berakidah.
Baca Juga; Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan
Kebenaran yang berbasis agama memang harus mencapai level seperti itu. Harus benar-benar tahqiq dan tidak tergoyahkan. Ibarat anak usia dini yang sedang menghafal perkalian, kekuatan hafalan yang dimilikinya, sangat mudah tergoyahkan. Semisal, dalam pikirannya terdapat hafalan bahwa lima ditambah lima sama dengan sepuluh. Andaikan ada orang yang dewasa berusaha merobohkan hafalan yang berada dalam pikirannya, dengan mengatakan bahwa lima tambah lima bukan sepuluh, tetapi seratus, niscaya anak kecil tersebut mencabut kembali opininya dengan mudah.
Tetapi, orang berusia dewasa telah yakin sejak usia dini, bahwa lima ditambah lima adalah sepuluh, keyakinan tersebut tidak mungkin tergoyahkan dengan apapun. Meskipun ada dewan pakar matematika yang mencoba menggoyahkan pendapat yang telah diyakininya, dengan mengatakan bahwa lima ditambah lima bukan sepuluh, tetapi dua puluh lima, niscaya orang tersebut tidak akan pernah mengubah opininya.
Nah, akidah benar dalam agama harus mencapai level seperti orang dewasa. Tujuannya, supaya seseorang tidak mudah terbawa arus pemikiran sesat yang mencoba mengubah akidah benar dalam dirinya.
Fakhrul Islam | AnnajahSidogiri.id