Perbedaan pendapat mengenai asal-usul kata “sufi” dalam ranah etimologis tak kalah sengit dibanding perbedaan pedapat mengenai asal-usulnya dalam ranah historis. Apalagi, masalah akar kata memang memiliki kaitan yang sangat erat dengan jati diri dan identitas sejarah dari sebuah kelompok. Kata menunjukkan makna, dan akar kata menunjukkan sejarah.
Ada beberapa arus yang saling bertentangan mengenai akar kata “sufi”. Ada yang cenderung berpendapat bahwa kata “sufi” berasal dari bahasa asing, ada pula yang menyatakan dari bahasa Arab. Ada yang berpendapat bawa kata “sufi” berdiri sendiri, ada yang menyatakan tercetak dari sebuah akar kata. Ada yang berpendapat lahir dari bahasa arab pasca Islam, ada pula yang mengatakan dicabut dari istilah Arab yang berlaku sebelum Islam.
Kesimpang-siuran ini merupakan salah satu bagian dari babak perdebatan mengenai jati diri dari sufi itu sendiri. Orang yang berpandangan sinis akan mangaitkan asal kata tersebut dengan suatu yang memiliki kesan negatif. Tentu, sebaliknya orang yang pro dengan sufi.
Berikut ini rincian dari berbagai macam pendapat mengenai asal-usul kata “sufi”:
Pertama, dari kata shuffah yang berarti salah satu bagian masjid. Pendapat ini hendak menyatakan bahwa kelompok sufi merupakan generasi penerus para Ahlussh-Shuffah, yakni para Sahabat yang papa, tak memiliki keluarga dan tempat tinggal. Mereka tinggal di Masjid Nabawi.
Kaum sufi memang layak disebut sebagai penerus Ahlush-Shuffah dari sikap hidup mereka yang zuhud, sederhana, mengorbankan kehidupan duniawinya untuk menggapai kebahagiaan ukhrawi dan kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Namun kaitan makna yang erat ini tidak didukung oleh kesesuaian derivasinya secara gramatik. Sebab, nisbat dari kata shuffah mestinya adalah shuffî, bukan shûfî.
Kedua, dari kata shûf yang berarti baju kasar yang terbuat dari bahan bulu kambing dan atau unta. Baju shûf merupakan pakaian orang-orang miskin di Arab pada masa lalu. Meski bahannya dari wol, namun beda dengan wol pada masa kini yang halus dan hangat. Pakaian wol masa lampau merupakan pakaian yang berkualitas rendah, jauh lebih rendah dibanding yang berbahan katun, apalagi sutra.
Hal ini mengindikasikan kesederhanaan dan ketidak-pedulian kalangan sufi terhadap urusan-urusan duniawi. Pakaian shûf juga disebut-sebut sebagai pakaian para nabi. Para Sahabat Rasulullah juga banyak yang mengguanakan pakaian shûf ini. Hasan al-Bashri konon pernah menegaskan, “Aku menututi tujuh puluh sahabat generasi Badar. Pakaian mereka adalah shûf.” Jadi, baju wol saat itu merupakan simbol keseder-hanaan.
Baca Juga: Asal-Usul Kata “Sufi” (1)
Pendapat bahwa kata “sufi” diadaptasi dari baju shûf merupakan pendapat dari mayoritas ulama. Hal itu disebabkan karena selain memiliki kesesuaian makna, kedua kata ini juga memiliki kesesuaian dari segi aturan bahasa.
Ketiga, dari kata shufah. Shufah adalah sebutan untuk orang-orang pada masa jahiliyah yang mengabdikan hidupnya untuk beribadah dan menjadi pelayan Kakbah. Pendapat ini lemah, karena tidak ada kaitan sejarah apapun antara golongan shufah tersebut dengan kaum sufi. Golongan shufah ini juga bukan golongan yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak seperti kelompok Ahlush-Shuffah. Orang-orang sufi pun tidak ada yang mengafiliasikan diri mereka kepada kelompok ini, apalagi kelompok shufah memang tidak banyak dikenal di kalangan mereka. Seandainya gelar shufah memang merupakan sebutan yang masyhur untuk orang-orang yang ahli ibadah, niscaya yang pertama kali memakainya adalah kalangan Sahabat, tapi ternyata mereka tidak memakainya.
Keempat, dari kata shafâ’ yang berati bening atau bersih. Secara maknawi memang ada kesesuaian dengan pandangan hidup orang-orang sufi yang selalu berupaya membersihkan diri dari perbuatan buruk dan membeningkan hati dari berbagai keburukan nafsu. Namun, pendapat ini tidak ditopang dengan aturan bahasa yang benar. Dalam aturan bahasa Arab, nisbat dari kata shafâ’ adalah shafâ’i, bukan shûfî.
Kelima, dari kata shafwah yang berarti pilihan (pilihan Allah I). Secara gramatik, pengambilan ini tidak benar, karena nisbat dari kata shafwah adalah shafawî, bukan shûfî.
Keenam, dari kata shaff, maksudnya barisan (pertama) dalam salat. Sebab, mereka merupakan orang-orang yang selalu berada di baris depan dalam urusan ibadah. Jika ditinjau dari aspek bahasa, pendapat ini lemah. Karena, nisbat dari kata shaff adalah shaffî, bukan shûfî.
Ketujuh, dari kata “shophia”, yang dalam bahasa Yunani berarti filsafat, kearifan ilmu atau ilmu pengetahuan. Pendapat ini dipelopori oleh al-Biruni dan banyak didukung oleh para peneliti dari kalangan orientalis. Menurut mereka, ada beberapa fakta sejarah yang mendukung pendapat ini. Pertama, pusat kemunculan sufisme terjadi di Irak pada abad ke-2 Hijriah setelah meluasnya gerakan penerjemahan terhadap literatur-literatur Yunani. Kedua, beberapa pandangan tokoh-tokoh sufi memiliki kesamaan dengan filsafat Yunani. Pendapat ini sedikit agak menyudutkan posisi kaum sufi. Oleh karena itu, pendapat ini seringkali dipakai oleh kalangan peneliti yang tidak simpati terhadap tasawuf dan menganggap tasawuf sebagai produk yang ditiru dari luar Islam.
Segenap pendapat mengenai cetakan kata “sufi” di atas sepakat bahwa makna kata sufi itu menyangkut hal-hal batin. Walaupun ada yang mengaitkan kata itu dengan atribut-atribut baju shuf, namun maksud intinya tetaplah semangat yang tersembunyi di balik atribut itu. Kata kunci yang menghuni kamus cetakan kata “sufi” adalah ketekunan ibadah, kesederhanaan hidup, kebeningan hati, kearifan, pengetahuan, pengabdian dan komunitas pilihan. Berbagai kata kunci ini menjadi identitas yang paling mudah dan sangat mendasar untuk mengenal lebih lanjut tentang jati diri kesufian. Memang, untuk menelusuri sebuah identitas, hal pertama yang mesti kita gali adalah nama, karena sebuah nama jelas bukan sekadar pilihan terhadap anyaman huruf dan komposisi bunyi.