Sampai detik ini, pembahsan seputar al-Quran masih hangat diperbincangkan. Teori penafsiran yang telah mapan selama berabad-abad diragukan dan dipermasalahkan oleh sebagian kalangan liberalis. Tafsir al-Quran yang sudah bertumbuh subur, berurat, dan berakar di dalam Islam dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan kebutuhan umat Islam saat ini. Maka dibutuhkan sebuah metode penafsiran baru yang sesuai dengan zaman. Teori penafsiran tersebut adalah hermeneutika.
Hermeneutika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.
Baca Juga: Menafsirkan al-Quran dengan Hermeneutika, Bisakah?
Sejurus dengan itu, hermeneutika dibangun atas faham relatifisme, sehingga bermuara pada gagasan yang menyatakan bahwa segala penafsiran al-Quran itu relatif, padahal fakta sejarah membuktikan, bahwa para mufasir terkemuka sepanjang masa memiliki kesepakatan-kesepakatan dalam proses menafsiri al-Quran.
Jika metode hermeneutika tetap dipaksakan ke dalam al-Quran maka akan berimplikasi bahwa segala problematika yang terjadi di dalam Bible, seolah-olah terjadi juga di dalam al-Quran.
Hasrat dan ambisi kalangan liberalis untuk menggugat Tafsir al-Quran yang sudah mapan dengan mengganti metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran merupakan suatu kemustahilan. Hal ini berdasarkan beberapa argumentasi sebagaimana berikut; Pertama, al-Quran menurut keyakinan umat Islam merupakan teks Tuhan sampai kapan pun. Proses periwayatannya pun dari zaman ke zaman sangat jelas (mutawâtir). Bahasa al-Quran pun pada masa Nabi Muhammad hingga kini tidak mengalami perubahan.
Penggunaan metode ini pada al-Quran, meniscayakan pelakunya akan menolak status al-Quran sebagai kalam Allah, mempertanyakan autentikannya, dan menggugat ke-mutawâtir-an al-Quran sebagaimana orang Kristen menggugat orisinalitas Bible. Tentu saja, hal ini menyesatkan karena akan menurunkan status al-Quran sebagai kitab suci dari Allah dan akan menodai pemahaman al-Quran karena ditafsiri seenak perut sang penafsir.
Kedua, kebenaran al-Quran melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada umat manusia keseluruhan (hudal-linnâs). Islam memiliki metode penafsiran tersendiri, di mana di dalamnya ada bagian yang memperkenankan perbedaan namun tetap dalam satu jalur (dalîl dzanni) dan sebagian yang lain menutup rapat pintu perbedaan karena cakupan makna dan aplikasinya sudah final (dalîl qoth’I dan mujma’ ‘alaih). Penggunaan hermeneutika tentu saja akan menganggap seluruh penafsiran al-Quran adalah relatif dan setiap individu tidak boleh mengklaim penafsirannya yang paling benar sedang yang lain salah.
Baca Juga: Lima Karakteristik Islam Liberal
Jauh sebelum hermeneutika menerpa kalangan intelektual di Indonesia, Prof. Dr. Syed Naquib al-‘Atthas (lahir 1931 M) sudah menjelaskan perbedaan antara hermeneutika dan Ilmu Tasfir al-Quran seperti dikutip Adian Husaini, ia menilai bahwa Ilmu Tafsir benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan juga tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain.
Selain itu, Ilmu Tafsir juga menduduki posisi yang vital, karena Ilmu Tafsir merupakan ilmu asas yang di atasnya dibangun keseluruhan stuktur, tujuan, pengertian, pandangan, dan kebudayaan Islam. Sehingga tak ayal Imam at-Thabari dalam Jâmiul-Bayân fî Ta’wîlil-Qur’an menganggap bahwa Ilmu Tasfir sebagai yang terpenting dibandingkan dengan seluruh pengetahuan dan ilmu yang lain.
Baca Juga: Penyembahan Akal Ala Ateis
Menurut Adian Husaini, kalau dicermati metode hermeneutika yang notabenenya hingga saat ini masih merupakan upaya coba-coba beberapa kalangan liberalis, memiliki satu titik kelemahan yang mendasar, yaitu ketidakmampuan menciptakan metode penafsiran nash secara utuh dan komprehensif.
Yang perlu dicatat, bahwa kelemahan tersebut tidak ditemukan dalam metode penafsiran klasik yang mana salafush-shalih telah berjasa mengkodifikasikannya sebagai bentuk metodologi yang baku dan utuh. Sehingga metode penafsiran ala salafush-shalih menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Usul Fikih.
Dalam kaidah Usul Fikih, terang Adian Husaini, dijelaskan berbagai metode penafsiran, mulai dari sisi periwayatan yang di dalamnya mengandung pembahasan tentang konsep ta’dil dan jarh, metode memahami nash melalui sisi lughah-nya (linguistik), sampai metode pengaplikasiannya. Selain itu, juga dijelaskan secara terperinci bagaimana tata cara istinbathul-hukmi (penggalian hukum langsung dari nash), mana yang didahulukan ketika di antara satu ayat dan ayat yang lain seakan-akan terjadi kontradiksi, dan lain sebagainya.
Dari argumentasi di atas, kita bisa menilai mana yang lebih valid dan akurat. Metode yang sudah baku, utuh, komprehensif, dan sudah teruji selama berabad-abad, ataukah metode yang masih bersifat coba-coba, tidak utuh, dan belum teruji kesahihannya hingga detik ini?
Ahmad Zaini | Annajahsidogiri.id