Salah satu pokok keyakinan atau akidah Ahlusunah walJamaah adalah meyakini bahwa Nabi itu maksum, yakni terjaga dari segala maksiat atau perbuatan dosa. Sebab, Nabi merupakan ‘uswah’ atau teladan umat yang setiap tindak-langkahnya mesti diikuti oleh segenap umatnya. Namun demikian, tak banyak yang betul-betul memahami konsepsi maksum tersebut. Sehingga pada tulisan kali ini penulis hendak mengulas lebih detail mengenai kemaksuman para nabi. Mulai dari definisi maksum, mengapa harus maksum, dan seterusnya. Mari simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Makna ‘Ismah’
Kata ‘ismah’ diambil dari fiil madhi ‘ashama’, memiliki arti etimologi ‘al-man’u’ atau tercegah, yakni tercegah dari suatu perkara. Terdapat banyak contoh penyebutan bentuk dari kata ‘ismah’ dalam al-Qur’.an dengan arti tersebut, misalnya:
قَالَ سَاٰوِيْٓ اِلٰى جَبَلٍ يَّعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَاۤءِ
“Dia (anaknya) menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (QS. Hud [11]:43).
Adapun definisi ‘ismah’ secara syara’ seperti disebutkan dalam kitab Syarhul-Maqâshîd adalah kemampuan menjaga diri dari perbuatan dosa, padahal ia mampu mengerjakannya. Takrif serupa juga disampaikan oleh Syekh As-Shabuni dalam kitabnya, an-Nubuwah wal-Anbiya’, yaitu penjagaan Allah terhdap para nabinya dari maksiat atau perbuatan dosa.
Logika ‘Nabi Wajib Maksum’
Setelah disinggung sedikit di muka bahwa nabi merupakan ‘uswah’ atau panutan, baik dalam perkataan maupun pekerjaanya menjadi cerminan dalam bersikap yang mesti diikuti oleh segenap umatnya. Maka, jika seorang nabi mengerjakan perkara maksiat, niscaya apa yang dikerjakannya (maksiat) otomatis juga diperintah. Yang semula larangan menjadi perintah. Yang awalnya haram berubah menjadi wajib atau sunah. Ini sungguh absurd dan irasional. Allah berfirman dalam al-Quran:
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. ” (QS. Al-An’am [6]: 90)
Pada ayat di atas tampak sekali bahwa Allah memerintah kita untuk menjadikan para Nabi sebagai ‘uswah’ dalam segala hal. Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam kitab Hidâyatul- Murîd (hlm. 268) mengatakan bahwa kemaksuman para nabi merupakan ijmak atau konsesus ulama.
Baca juga : Wajibkah Allah Mengutus Utusan ?
Nabi Maksum Sejak Sebelum Diutus
Sesudah kita mengetahui bahwa nabi itu pasti maksum. Selanjutnya, muncul pertanyaan sejak kapan Nabi itu maksum? Sebelum atau sesudah diutus? Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa nabi itu maksum sejak sebelum diutus (Annubuah Wal Anbiya hlm. 76). Alasannya, sebab para nabi merupakan manusia-manusia pilihan (al-Musthafain al-Akhyar) sebagaimana termaktub dalam al-Qur’.an:
وَاِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ اْلمُسْطَفَيْنِ الْأَخْيَارِ
“Dan sungguh, di sisi Kami mereka termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”
Adapun pendapat kedua mengatakan tidak wajib maksum sebelum diutus. Sebab saat itu umat manusia masih belum diperintah untuk mengikuti para nabi. Karenanya, tak ada alasan bagi nabi harus maksum sebelum diutus. Hanya saja, lanjut mereka, sekalipun tidak wajib maksum, secara realitas para nabi tetap dijaga (Mahfudzh) oleh Allah dengan pertolongan dan fitrahnya.
Nabi Terjaga Dari Dosa kecil dan Besar
Terkait apakah Nabi itu terjaga dari dosa-dosa kecil, ulama juga masih silang pendapat. Hanya saja, menyikapi perpedaan ini, Syekh Abu Ishaq al-Asfirayaini berkomentar, ada sebagian yang mengatakan bahwa para nabi bisa saja mengerjakan dosa kecil. Namun, pendapat ini tidak memiliki dasar. Dan yang banyak diikuti oleh kebanyakan ulama adalah bahwa nabi tidak mungkin mengerjakan dosa kecil[1].
Sedangkan Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkâmil Qur.’ân berkata, ‘menurut mayoritas ulama Fikih bahwa nabi itu maksum dari segala dosa besar dan kecil’.
Alhasil, dengan beberapa pemaparan di atas harapan kita dapat memahami segala yang berkaitan dengan kemaksuman para nabi sacara konfrehensif.
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id
[1] Dikutip oleh Syekh as-Shabuni dalam kitabnya ‘Annubuah Wal Anbiya’’.