Berbeda dengan Ahlusunah, kaum Syiah sepakat bahwa nikah mutah tidak terlarang dalam Islam, bahkan diperbolehkan secara mutlak. Adapun rukun kawin kontrak versi syiah antara lain; suami, istri, batas waktu, mahar dan ijab kabul.
Syarat-syaratnya adalah, pertama, nikah sah dilaksanakan cukup dengan adanya ijab kabul tanpa harus ada wali dan saksi. Kedua, suami tidak wajib nafkah. Ketiga, istri tidak terbatas. Keempat, istri tidak menerima warisan. Kelima, tanpa harus ada izin dari wali. Kelima, posisi istri sebagai wanita yang disewa dan budak.
Syiah menganggap larangan mutah bukan berasal dari Rasulullah, tetapi dari Umar bin al-Khattab, seperti yang al-Kulayni nyatakan berikut ini:
Muhammad bin Ismail dari al-Fadl bin Shadhan, dari Sofwan bin Yahya, dari Ibnu Muskan, dari Abdullah bin Sulaiman, berkata: Saya mendengar Abu Ja’far berkata: Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya Umar bin Khattab tidak mendahuluiku pasti akan aku perintahkan untuk mutah dan tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
Oleh karena itu, mereka memperbolehkan nikah mutah. Terlebih, menurut Syiah nikah mutah tidak sekadar halal mutlak. Namun, memiliki keutamaan yang tinggi sebagaimana dalam kitab induk Syiah. Antara lain;
Mutah diposisikan sebagai amalan agama yang tinggi nilainya, dan yang mengingkarinya berarti telah mengingkari agama. Sebagaimana terdapat dalam kitab Syiah; Man La yahduruhul Faqih dan Tafsir Manhaj al-Shodikin:
Baca Juga: Syekh Yusuf al-Makassari; Dai Sufi dari Ujung Pandang
Dari Ja’far as-Shadiq, “Sesungguhnya nikah mutah itu agamaku dan agama nenek moyangku, maka barangsiapa yang mengamalkannya, sungguh dia mengamalkan agama kami. Dan barangsiapa yang mengingkari, maka dia telah mengingkari agama kami dan telah memeluk agama selain kami. Mutah dijadikan ibadah oleh ulama salaf dan aman dari kesyirikan. Anak yang dihasilkan dari kawin kontrak lebih utama daripada anak yang dihasilkan dari nikah biasa. Orang yang mengingkarinya berstatus kafir dan murtad, dan yang mengakui mukmin yang mengesakan tuhannya.”
Pahalanya setara dengan 70 kali haji atau umrah,
مَنْ تَمَتَّعَ مِنِ امْرَأَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَكَأَنَّهُ زَارَ الْكَعْبَةَ سَبْعِيْنَ مَرَّةً (محمد باقر المجلسي، رسالة متعة. ص : 16)
“Barang siapa melakukan Mut’ah dengan wanita beriman maka dia seperti menziarahi ka’bah (Haji atau Umrah) 70 kali” (Muhammad Baqir al-Majlisi, Risalah Mut’ah, hal. 16.)
Diampuni dosa-dosanya, terlebih bagi pasangan wanita,
قَالَ أَبُو جَعْفَرْ : أَنَّ النَّبِيَّ لَمَّا أَسْرَى إِلَى السَّمَاءِ قَالَ : لَحِقَنِي جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ : “أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنْ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ”
Abu Ja’far berkata, bahwa ketika Nabi melakukan isra mikraj, beliau bersabda: “Saya berjumpa Jibril A.S. dan ia berkata:, ‘Wahai Muhammad sesungguhnya Allah berfirman: Aku telah mengampuni dosa-dosa wanita dari umatmu yang melakukan mutah’.”
Baca Juga: Rasionalisme dan Islam Rasionalis
Uang yang digunakan untuk mutah akan mendapat pahala yang sangat besar,
قَالَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا مُحَمَّدُ الدِّرْهَمُ الَّذِيْ يَصْرِفُهُ الْمُؤْمِنُ فِي الْمُتْعَةِ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ اَلْفِ دِرْهَمٍ اَنْفَقْتَ فِيْ غَيْرِ الْمُتْعَةِ
Jibril berkata, “Wahai Muhammad satu dirham yang digunakan untuk nikah mutah itu lebih baik menurut Allah daripada seribu dirham yang digunakan untuk selainnya.”
Selain itu, nikah mutah menurut Syiah sebagai pengganti diharamkannya miras,
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى شِيْعَتِنَا الْمُسْكِرَ مِنْ كُلِّ شَرَابٍ وَعَوَّضَهُمْ مِنْ ذَلِكَ الْمُتْعَةَ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Syiah kita segala minuman yang memabukkan, tetapi sebagai gantinya adalah Allah memperbolehkan nikah mutah.”
Dari pemapaparan barusan, dapat kita pahami bersama bahwa pendapat Syiah tentang mutah jelas menyalahi hadis nabi dan ijma ulama serta terkesan sangat mengada-ngada.
Sholahuddin al-Ayyubi | annajahsidogiri.id