Reduksi Istilah
Mereka, kaum liberal, sering menyelewengkan definisi dan maksud satu istilah yang sudah mapan, disepakati oleh dan menjadi pengetahuan yang sudah maklum. Di antara isitilah yang sudah mapan dan diubah definisinya demi mengesahkan pluralisme agama adalah istilah ‘Islam’.
Wilfred Cantwell Smith, pendiri Institute of Islamic Stadies di Montreal’s McGill Unjiversity, Kananda, memberi definisi Islam, “Islam adalah kata kerja, muncul sekitar sepertiga kali jumlah kemunculan kata kerja asalnya ‘aslama’ (tunduk, berserah diri secara keseluruhan, memberikan diri kepada komitemen total). Ia merupakan kata kerja; nama sebuah bentuk tindakan, bukan sebuah institusi; sebuah keputusan pribadi, bukan sebuah sisitem sosial.”
Baca Juga: Akar Pluralisme Agama: Justifikasi Spekulatif Demi Tujuan Utopis (#3)
Islam menurut dia hanya sekadar tunduk dan patuh (submission). Kepada siapa kepatuhan itu ditujukan, terserah. Karena Islam bukan lah nama sebuah agama tertentu yang tuhannya adalah Allah. Ia adalah kata kerja bisa, yang bisa berlaku pada agama apa saja.
Pehamaham Islam yang sedemikian juga bisa kita dapati dalam pemikiran Nurcholish Madjid. Dia menulis, “Keagamaan, dalam makna intinya sebagai kepatuhan (din) yang total kepada Tuhan, menuntut sikap pasrah kepada-Nya yang total (islam) pula, sehingga tidak ada kepatuhan atau dīn yang sejati tanpa sikap pasrah atau islām.”
Lebih jelas, Sukidi Mulyadi, seorang doktor Muhammadiyah lulusan Harvard University, mengatakan, “Kepasrahan ini, kata Cak Nur diawali menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah word view al-Qur’an bahwa semua yang benar adalah Islam, yakni berserah diri kepada tuhan.”
Justifikasi penyesatan ini oleh Syekh Abdurahman Habanakah masuk klasifikasi ithlaqul alfadzin ala ghairi ma’aniha (menampilkan kata yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya). Hal ini bisa dilakukan dengan masuk dari berbagai celah. Di antaranya ekspoitasi makna dengan adanya syubhat, afinitas, atau adanya persamaan makna asli dan makna yang sudah dipalsukan dari berbagai sisi.
Sepertinya, baik Smith atau Cak Nur menggunakan celah terakhir. Makna Islam, secara syara, sebagimana kata Imam al-Baijuri dalam kitabnya, Tuhafatul-Murid, adalah tunduk dan patuh pada apapun yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan menurut bahasa, Islam hanya berarti tunduk dan patuh.
Dari segi pendefinisan, Islam baik menurut syara atau bahasa, sama-sama tunduk, meski tentu lebih khusus makna secara syara. Celah ini yang dipakai oleh Smith dan Cak Nur.
Tafsir Serampangan Ayat Suci al-Quran
Ada dua ayat al-Quran yang bunyinya hampir sama dan sering dipakai untuk membenarkan klaim pluralisme agama. Pertama, ayat 62 surat al-Baqarah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Kedua, ayat 69 surat al-Maidah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, shabiin dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.”
Syekh Abdurahman Habanakah juga menyebutkan salah satu metode penyesatan yang jamak dipakai untuk membenarkan yang salah, atau menyalahkan yang benar. Beliau mengistilahkannya at-tala’aub fi ama’anin-nushus li ibthali haqin au ihqaqi bathilin (bermain-main dengan nas untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah).
Metode ini bisa digunakan dengan masuk lewat celah kenyataan bahwa nas-nas syariat banyak menyimpan makna yang masih prospek (ihtimal). Sisi prospek inilah yang menjadi sasaran empuk mereka yang berusaha mencari-cari pembenaran pluralisme dalam agama.
Tamsil Ulama
Untuk menguatkan teori paham relativisme yang menjadi landasan pluralisme agama, Ulil Abshar Abdalla memberi satu perumpamaan. Setelah dia menolak tawaran tamsil yang diberi oleh Ust. Achyat Ahmad tentang seorang bisa mencapai kebenaran mutlak, Ulil memberi tamsil lain.
Dia mengatakan, “Coba dengan analogi lain. Tamsil yang acap dipakai adalah orang-orang buta yang meraba-raba gajah. Masing-maisng hanya memegang satu bagian dari gajah.
Ada yang memegang ekor, telinga perut, kaki, dll. Masing-masing orang buta mendeskripsikan gajah sesuai hasil rabaannya.
Nah, orang nuta mana yang punya kebenaran mutalak dlam mendeskripsikan gajah? Berbaiksangkalah, jangan-jangan kita adalah orang yang buta.”
Tamsil ini sebenarnya adalah tamsil Imam Ghazali saat beliau membuat pertanyaan imajinatif yang diajukan kepada beliau sendiri terkait pernyataan beliau yang membenarkan masing-maing satu sisi dari dua kelompok tentang kuasa hamba. Kelompok pertama mengatakan hamba itu terpaksa dalam segala hal (jabr), sedangkan kelompok kedua mengatakan hamba mempunya ikhtiar (kasb).
Jika kita cermati penjelasan sebelum membuat pertanyaan imajinatif itu, maka sepertinya Ulil sudah menghilangkan konteks sebenarnya yang melekat pada tamsil itu. Perdebatan dua kelompok itu masih dalam lingkup naunagan agama Islam. Bukan tamsil yang bisa di[akai dalam setiap perdebatan, termasuk antar agama.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id