Pertanyaan:
Assalamuailaikum Ustaz, saya mau tanya tentang Syeikh Usaimin dan Syaikh Usman Al-Khamis. Apakah mereka berdua Ahlusunah atau bukan?
@Zaen Al-Fikr | Via Instagram
Jawaban:
Waalaikumsalam. Secara global, kedua tokoh tersebut memiliki akidah yang sama, yakni akidah tajsim; akidah yang juga menjadi pegangan oleh golongan wahabi. Oleh karena itu, kita harus jaga-jaga dalam memahami fatwa-fatwa yang mereka lontarkan. Sebagai bukti, penulis akan memaparkan beberapa fatwanya yang sudah keluar dari Ahlusunah wal Jamaah berikut ini.
Usman al-Khamis Dalam Kitab al-Qawaid an-Nafi’ah fi asmaillah wa sifatih
1. Usman al-Khamis menyatakan bahwa ahlul-ilmi membagi tauhid menjadi tiga; Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ Sifah. Di sini saya memunculkan pertanyaan; bagaimana tauhid yang sejatinya mengesakan Allah malah dipecah menjadi tiga. Bahkan suatu waktu, pemuka Wahabi masakini, Ust. Firanda Andiraja menyatakan bahwa orang kafir pun bertauhid Rububiyah, namun tidak bertauhid Uluhiyah dan Asma’ Sifah. Pernyataannya itu sangatlah rancu, sebab jelas dalam al-Quran bahwa orang kafir tidak meyakini Allah sebagai Tuhan (Rububiyah). (Hal: 12)
2. Dia menuding Asyairah lebih mendahulukan akal ketimbang nas al-Quran dan hadis. Bahkan dia nge-rod kitab yang banyak dijadikan rujukan oleh golongan aswaja, Jauharatut-Tauhid. Sebab menurutnya, kitab Jauharatut-Tauhid ini merupakan salah satu kitab Asyairah yang semua dalilnya sama sekali tak ilmiah. Mungkin dalam sebagian konteks, semisal Ilahiyat dan Nubuwat, akal perlu didahulukan. Namun dalam konteks lain seperti Ghaibiat tetap wajib memakai mendahulukan dalil.
Di sini perlu digaris bawahi, meski Usman al-Khamis tadinya nge-rod kitab Jauharatut-Tauhid, ternyata di satu bab setelahnya, tepatnya di halaman 90 ia malah mengutip salah satu nazam Jauharatut-Tauhid. Berikut nazam yang ia kutip,
وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعٍ مَنْ سَلَف # وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعٍ مَنْ خَلَف
3. Usman al-Khamis menganggap takwil itu boleh-boleh saja, namun tidak dengan tahrif. Adapun takwil yang dilakukan oleh Ahlusunah wal Jamaah, semisal istawa dengan istaula, mereka anggap hal itu sebagai tahrif sehingga tidak boleh dilakukan. (Hal: 104)
4. Di halaman 118, Usman al-Khamis memaknai istiwa dengan ‘uluw dan irtifa’ (di tempat yang tinggi) yang pantas bagi-Nya. Ia menyatakan tempat yang tinggi bagi Allah yang selanjutnya, mau tidak mau, menempatkan tempat pada-Nya. Maka bagaimana bisa Allah bertempat sedangkan Dia Maha Suci dari sesuatu yang diserupakan pada-Nya.
5. Pada halaman 119, Usman al-Khamis membuat sebelas poin bantahan pada orang yang menolak makna istiwa dengan pemahaman tekstual. Pada poin kedelapan ia mengatakan,
الْوَجْحُ الثَامِنُ : النَبِيُّ وَالصَحَابَةُ لَمْ يُصَرِّفُوْهُ عَنْ ظَاهِرِهِ فَلَمْ يَقُل النَبِيّ يَوْمًا لِأَصْحَابِهِ عِنْدَ مَا قَرَأَ عَلَيْهِمْ <الرحمن على العرش استوى> أَنَّ مَعْنَاهَا اِسْتَوْلَى فَلَمْ يُصَرِّفْهُ عَنْ ظَاهِرِهِ وَلاَ صَحَابَتِهِ بَلْ تَرَكُوْهُ عَلَى ظَاهِرِهِ وَفَهَّمُوْهُ وَعلموا مَعْنَاهُ وَآمَنُوْ بِهِ
“Poin kedelapan: Bahwasannya Nabi dan para shahabat tidak pernah memindah makna ayat mutasyabihat dari makna zahirnya (makna tekstual). Pun, ketika Nabi membaca ayat <Ar-Rahmanu ‘alal ‘arsyi istawa>, beliau tidak mengatakan bahwa makna dari istawa adalah istaula. Tidaklah demikian itu, melainkan Nabi dan para shahabat membiarkan ayat itu secara tekstual, memahaminya, mengetahui maknanya dan mengimaninya.”
Sungguh lucu dalil yang ia pakai untuk membantah paham takwil. Memang benar Nabi dan para shahabat tidak menakwil ayat mutasyabihat, namun bukan berarti mereka memahaminya secara tekstual. Melainkan mereka tawfid ma’at tanzih (menyerahkan maknanya pada Allah serta tetap menyucikan-Nya dari menyerupakan dengan makhluk.)
Maka sebenarnya, metode memahami al-Quran yang mendapatkan legalitas dari para ulama hanyalah Tafwid ma’at tanzih serta takwil. Dua metode itu sudah ada sejak zaman dahulu. Bukankah Nabi penah mendoakan shahabat Ibnu Abbas agar diberi pengetahuan takwil?
Usaimin Dalam Kitab Syarhu ‘Aqidati Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah
1. Ketika Usaimin menerangkan pembagian tauhid menjadi tiga, ia mengutip ucapan orang yang menolak pembagian tauhid tersebut sekaligus membantahnya. Inti dari bantahannya adalah, bahwasannya pembagian tauhid menjadi tiga tidaklah bidah, sebab semua itu kembali pada al-Quran dan hadis.
“Andaikata pembagian tauhid bidah Karena Nabi tak pernah membaginya, niscaya hitungan syarat salat, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan juga hitungan rukun-rukun haji, kewajiban-kewajibannya, larangan-larangannya dan semuanya yang memiliki hitungan merupakan bidah”, kata Usaimin.
Dari sini, bisa kita lihat bahwa Wahabi sangat tak konsisten dalam berpegang tegus pada prinsip. Mereka mengatakan bahwa tak semua hal yang dibatasi itu menjadi bidah karena tidak dibatasi oleh Rasul, lantas mengapa mereka membidahkan hitungan 20 sifat wajib bagi Allah? Padahal Ahlusunah wal Jamaah sama sekali tak membatasinya. Pastinya Allah memiliki sifat yang lebih dari sekadar 20, hanya saja 20 sifat itu adalah sifat yang mampu dijangkau oleh akal manusia. (Hal. 20)
2. pada halaman 38, ia berpandangan bahwa pendapat tentang Ahlusunah wal Jamaah merupakan ahli tafwid merupakan dusta belaka. Sebab Ahlusunah yang sebenarnya adalah ahli mengetahuidan berilmu hanya saja memasrahkan caranya pada Allah. Misalnya dalam ayat istiwa, Usaimin mengatakan bahwa maknanya mengikuti tekstual ayat yang berarti menempati arsy, hanya saja hal tentang bagaimana cara Allah menempatinya dipasrahkan pada Allah.
Jika demikian, sebenarnya Usaiminlah yang berdusta. Apa sebab? Karena dia berani mengatakan Allah menetap pdahal jelas Allah tidak sama dengan makhluknya (Mukhalafatun lil-hawaditsi). Maka dari itu, ulama salaf, bahkan Nabi pun lebih memilih tafwid ma’at tanzih. Sebab jika mengatakan Allah menetap di Arsy hal itu sudah menyerupakan Allah dengan makhluk dan ini merupakan paham mujassimah yang batil.
3. Semakin ke belakang, Usaimin mulai berani berdusta. Ia menyatakan bahwa Asyairah menafikan hikmah pada fi’lullah (pekerjaan Allah). Padahal Asyairah sama sekali tak berpendapat demikian. Asyairah berpendapat bahwa di balik fi’lullah pasti ada hikmah yang terpendam, hanya saja kita tidak tahu apa hikmah itu, sebab tidak sampainya akal manusia untuk memikirkan hikmah tersebut. Demikian itu dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyat. (Hal. 108)
4. Selanjutnya, pada halaman 145, Usaimin menyatakan bahwa Allah ber-takallum dengan suara dan huruf. Alasannya simple, sebab sesuatu yang tak bersuara maka tidak disebut kalam. Pernyataan demikian sebenarnya sudah dikomentari oleh ulama-ulama Ahlusunah wal Jamaah, salah satunya adalah Imam ad-Dasuqi. Beliau berkata bahwa Allah ber-takallum dengan tanpa suara dan juga huruf. Bahkan jika dikatakan ‘tidak ada kalam tanpa huruf dan suara’ sebenarnya ini hanya bualan saja. Sebab ada kalam yang tanpa suara dan huruf, seperti hadisun-nafsi (suara hati). Hal itu tidaklah bersuara lagi berhuruf (Jadi, hadisun-nafsi juga masuk pada kalam. Meskipun Usaimin tidak mengangapnya sebagai kalam). Lantas, jika ada kalam yang tak bersuara lagi tak berhuruf pada makhluk-Nya, mengapa Allah sebagai Khaliq dikatakan tak berkuasa?
5. Di halaman berikutnya, masih dengan pembahasan yang sama namun topik yang berbeda, yakni ia mengatakan bahwa Allah ber-kalam dengan suara namun tak seperti suara makhluk. Demikian itu, ia landaskan pada ayat,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَمِيْعُ البَصِيْرُ
Seharusnya, jika ia memakai dalil ayat tersebut, bukan hanya cara Allah ber-kalam dengansuara yang di-tafwid melainkan juga kalam-nya. Karena jika diakatakan ‘Allah berbicara dengan suara dan huruf’, maka itu sudah menyerupakan Allah dengan makhluk dan menyalahi ayat tersebut. (Hal. 146)
Dari semua kutipan yang telah saya paparkan, menunjukkan bahwa dua tokoh tersebut; Usman al-Khamis dan Usaimin berpaham Mujassimah atau Wahabi masa kini. Kalau mau dicari, sebenarnya sangat banyak kesesatan akidah yang ada pada keduanya. Bahkan dalam satu kitab saja, banyak saya temukan paham Wahabi di dalamnya, hanya saja saya mencukupkan masing-masing pada lima kesalahan. Minimal kita bisa tahu bahwa dua tokoh itu tidak bisa dibuat panutan.
Ghazali | Annajahsidogiri.id