Kristiani
Dalam al-Kitab atau Bible, kata Allah itu bukanlah nama bagi Tuhan, melainkan hanya sebuah nama jabatan. Sehingga wajar jika kitab suci kami juga menggunakan lafadz tersebut. Bukti bahwa kata Allah hanya sebuah jabatan, sebagaimana kata elohim, seperti dalam galatia 4:8:
“Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah.”
Ayat ini jelas, bahwa kata Allah bukanlah nama bagi Tuhan. Tapi hanyalah jabatan yang juga bisa disematkan kepada sesembahan lain, seperti berhala dan dewa.
Muslim
Mengenai lafaz Allah, akan kami jelaskan baik dari para ulama Islam maupun kalangan Kristen atau Katolik. Pertama, terlepas lafaz Allah itu merupakan ranah ikhtilaf antara ulama, mengenai apakah lafadz tersebut merupakan isim musytaq (sebuah lafaz yang dibentuk dari kata lain) atau jamid (lafadz yang tidak terbentuk dari kata lain). Perlu ditegaskan bahwa para ulama sepakat bahwa Allah bukan nama jabatan (generik name), namun sebuah nama bagi Tuhan (proper name). Dalam hal, ini salah satu tokoh ulama terkemuka yang bernama Syekh Zainudin al-Malibari mengatakan,
وَالله عَلَمُ لِلذَّاتِ الْوَاجِبِ الْوُجُوْدِ وَأَصْلُهُ إِلَهُ وَهُوَ اسْمُ جِنْسِ لِكُلِّ مَعْبُوْدٍ ثُمَّ عُرِفَ بِال وَحُذِفَتْ الْهَمْزَةُ ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِي الْمَعْبُوْدِ بِحَقٍّ وَهُوَ الْإِسْمُ الْأَعْظَمِ عِنْدَ الْأَكْثَرِ وَلَمْ يُسَمَّ بِهِ غَيْرُهُ وَلَوْ تَعَنُّتًا.
Lafaz “Allah” adalah nama bagi Dzat yang wajib keberadaan-Nya. Kata “Allah” berasal dari kata “ilah”, kata ilah adalah nama jenis bagi setiap sesembahan. Kemudian dimakrifatkan dengan “al” dan hamzahnya dibuang. Lalu menjadi “Allah” digunakan kepada sesembahan yang benar. Kata “Allah” ialah al-ismu al- a’dzam (nama yang agung) menurut mayoritas ulama. Dan nama “Allah” tidak pernah dipakai oleh Tuhan selain Dia, meskipun dengan tujuan kebatilan.[1]
Baca Juga; Allah adalah Tuhan Negri Mekah?
Begitu juga disampaikan dalam kitab Hawasyi asy-Syarwani wa Ibnu Qasim al-‘Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj, sebagai berikut:
وَالْحَقُّ أَنَّهُ أَصْلٌ بِنَفْسِهِ غَيْرُ مَأْخُوذٍ مِنْ شَيْءٍ، بَلْ وُضِعَ عَلَمًا إِبْتِدَاءًا. فَكَمَا أَنَّ ذَاتَهُ لَا يُحِيْطُ بِهَا شَيْءٌ وَلَا تَرْجِعُ إِلَى شَيْءٍ فَكَذَلِكَ اسْمُهُ تَعَالَى اه أَيْ لَا يَرْجِعُ إِلَى شَيْءٍ يَشْتَقُّ مِنْهُ.
Pendapat yang benar, bahwa nama Allah berdiri sendiri, tanpa dibentuk dari kata lain, bahkan sejak awal telah menjadi sebuah nama. Sebagaimana Dzat-Nya tidak diliputi oleh apapun dan tidak mengacu pada apapun, begitu juga nama-Nya, tidak mengacu dan tidak pula dibentuk dari apapun.
Poin ini sangat terang benderang bahwa meskipun para ulama berbeda pandangan terkait lafaz Allah itu musytaq atau jamid, namun semuanya sepakat, lafaz Allah adalah nama bagi Tuhan yang benar dan berhak disembah, bukan sebuah jabatan. Kendati demikian, hanya orang-orang yang mencari kebatilanlah yang akan menyematkan nama Allah kepada sesembahan yang lain.
Kedua, penulis kamus al-Munjid, yaitu Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernard Tottel al-Yassu’i, beliau berdua adalah seorang pastor atau pendeta Katolik. Dalam hal ini juga sepakat, bahwa lafaz Allah adalah nama bagi Tuhan, bukan sebuah jabatan. Beliau berkata:
الله اسْمُ الذَّاتِ الْوَاجِبِ الْوُجُودِ.
Lafaz Allah adalah nama bagi Dzat yang wajib keberadaan-Nya.[2] .
Ketiga, Dr. Butrus Abdul Malik, salah seorang tokoh besar dari kekristenan, dalam karyanya yang bernama Qamus al-Kitaba al-Muqaddas, berkomentar:
اللهُ إسْمُ الإِلَهِ خَالِقُ جَمِيْعِ الْكَائِنَاتِ.
Allah adalah nama Tuhan, yang menciptakan segala apa yang ada.[3]
Dengan adanya perpaduan dan kesepakatan antara tokoh Katolik, Kristen dan Islam, berarti kuatlah argumen kami bahwa lafaz Allah bukanlah sebuah jabatan sebagaimana fitnah dan syubhat yang Anda sampaikan. “Allah” adalah nama bagi Tuhan yang Maha Menciptakan, lagi Maha Esa, bukan Tritunggal ataupun Tritheos.
Komparasi
Jika kita melihat dari perspektif Kristen yang mengatakan bahwa Kristen Arab lebih dahulu mengguna-kan kalimat “Allah” dalam kitab terjemahan mereka yang berbahasa Arab, atau yang dikenal dengan al-Kitab al-Muqaddas. Padahal kitab terjemahan Kristiani yang paling tua baru ada di abad ke-9; setidaknya ±2 abad setelah adanya Islam. Hal ini dijelaskan dalam Mt. Sinai Arabic Codex 151.
The Mt. Sinai Arabic Codex 151 is indeed a most exciting discovery. It appears to be the oldest Arabic translation of the Bible in existence which was done in 867 AD. It is certainly the oldest Arabic translation with commentary supplied by the translator. It includes the Biblical text, marginal comments, lectionary notes, and glosses, as found in the manuscript. It was discovered at St. Catherine’s monastery in Mt. Sinai in the 1800’s.
Artinya: Mt. Sinai Arabic Codex 151 memang merupakan penemuan yang paling menarik. Tampaknya menjadi terjemahan bahasa Arab tertua dari Alkitab yang ada yang dilakukan pada tahun 867 Masehi. Ini tentunya merupakan terjemahan bahasa Arab tertua dengan komentar yang diberikan oleh penerjemah. Ini termasuk teks Alkitab, komentar pinggir, catatan lectionary, dan glos, seperti yang ditemukan dalam manuskrip. Ditemukan di biara St. Catherine di Gunung Sinai pada tahun 1800-an.
Gambar kitab dari Mt. Sinai Arabic Codex 151
Di sini juga menggunakan kalimat Bismillah (Dengan menyebut Nama Allah).
Contoh hasil scan dengan teks yang sudah diperbaiki, surat Paulus kepada jemaat di ibrani yang terdapat dalam Perjanjian Baru (PB). Tetap “Allah” adalah nama, bukan gelar.[4]
“Allah” Menurut KBBI
“Allah” nama Tuhan dalam bahasa Arab; pencipta alam semesta yg mahasempurna; Tuhan Yang Maha Esa yang disembah oleh orang yang beriman: demi –; hamba –; insya –; karena –; dibuat karena — , menjadi murka –; — azza wajalla Allah Yang Mahamulia dan Mahaluhur; — subhanahu wa taala. Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi; ke-Allah-an n hal (sifat-sifat) Allah, yang mengenai Allah.[5]
Hemat kami, mengapa mereka sulit sekali mengeluarkan kata Allah dari kitab mereka? Karena umat Kristiani memang tidak memiliki nama Tuhan yang secara eksplisit dalam kitab suci mereka. Oleh karenanya, dalam naskah Ibrani (Masoretic / Westminster Leningrad Codex) dan Septuaginta (LXX) untuk Perjanjian Lama dan Textus Receptus (TR) untuk Perjanjian Baru, tidak ada Nama Tuhan yang jelas, terlebih lagi untuk nama Bapa.
Baca Juga; Tuhan Tidak Adil?
Mereka menggunakan kata κύριος (Kyrios) yang jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “lord” atau “master”. Dalam bahasa Indonesia menjadi “Tuan”, dan menggunakan kata Theos (θεός) dari akar kata Theo yang berarti “God” atau “Tuhan”. Dan kedua-duanya ini, baik kyrios maupun theos adalah gelar, bukan nama.
Kesalahan fatalnya adalah, mereka sudah “meminjam” kata Allah (الله) ini, lalu makna dan kaidahnya diubah sesuai kebutuhan mereka tanpa memperhatikan kaidah dari kamus-kamus yang telah dijelaskan di atas, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), di mana kamus ini telah disepakati menjadi sumber rujukan untuk Bangsa Indonesia.
Kenapa kami menggunakan istilah “meminjam”? Karena di dalam naskah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dalam manuskrip-manuskrip yang tua maupun yang sekarang, tidak ditemukan kata “Allah”. Jika sudah ketahuan meminjam, alangkah eloknya digunakan juga kaidah yang benar, jangan dimodifikasi sesuai ilmu cabang pribadi.
Salah satu bentuk kengawuran dalam kaidah bahasa, tentang lafaz Allah yang ada di dalam kitab mereka, bahwa kata Allah dapat digunakan dengan berbagai variasi yang tak berdasar. Contoh:
- Kejadian 1:1 (TB)
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
- Kejadian 15:2 (TB)
Abram menjawab: “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.”
- Keluaran 20:3 (TB)
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
Ini adalah contoh varian tiga bentuk dari kata “Allah”:
- “Allah” dengan huruf kapital di
- “ALLAH” dengan huruf kapital
- “allah” dengan huruf kecil
Ini akan menimbulkan masalah terhadap internal dari tubuh Kristen itu sendiri. Bisa dibayangkan, ketika pendeta atau pastor sedang berkhotbah setiap Minggu di hadapan para jemaatnya. Ketika penjelasan pendeta atau pastor berkaitan dengan kata “Allah” dalam suatu ayatnya, jemaat akan dibuat bingung dengan kata tersebut. Apakah menggunakan “Allah”, “ALLAH”, atau “allah”?
Juga, ada kesalahan terjemahan oleh para penerjemah Bible di Indonesia, ini juga bersifat sangat fatal. Kita lihat dalam Perjanjian Lama:
Keluaran 20:3 (TB):
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
الخُرُوجُ 20:3 (AVD) لَا يَكُنْ لَكَ آلِهَةٌ أُخْرَى أَمَامِي.
Menggunakan kata alihah, jamak dari (إله) bukan (الله).
Lalu bagaimana hal yang bersifat umum diterjemahkan menjadi kata yang bersifat khusus? Sehingga Allah yang ada dalam kaidah Nahwu-Sharaf berupa isim makrifat (isim yang bermakna khusus) berubah menjadi menjadi isim nakirah (isim yang bermakna umum). Karena ilah itu bermakna sesembahan secara umum, baik dewa maupun pagan dan bisa di jamakkan. Sedangkan Allah itu bukan gelar, tetapi nama sesembahan.
Lanjut dalam Perjanjian Lama:
Keluaran 7: 1 (TB):
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Lihat, Aku mengangkat engkau sebagai Allah bagi Firaun, dan Harun, abangmu, akan menjadi nabimu”.
الخُرُوجُ 7:1(AVD) فَقَالَ الرَّبُّ لِمُوسَى: انْظُرْ! أَنَا جَعَلْتُكَ إِلَهًا لِفِرْعَوْنَ. وَهَرُونُ أَخُوكَ يَكُونُ نَبِيُّكَ.
Pada ayat di atas, Musa menjadi Allah, dan jika kita teliti secara seksama dalam terjemahan Arabic juga memuat kesalahan yang sangat fatal, di mana Musa menjadi الها (ilahan) atau sesembahan bagi Firaun. Seandainya kami sebagai Muslim sedikit saja ingin usil terhadap terjemahan ini, maka kami akan meminta bukti fakta sejarah kapan Musa menjadi sesembahan bagi Firaun? Dan jelas hal itu akan menyusahkan bagi umat Kristiani. Karena memang tidak pernah tercatat dalam fakta sejarah literatur manapun, bahwa Musa pernah menjadi sesembahan bagi Firaun.
Inilah pentingnya ilmu dalam menerjemahkan suatu naskah. Perlunya pengetahuan kaidah dan tata bahasa dari bahasa yang akan diterjemahkan. Jadi, alangkah baiknya jika umat Kristiani memang tidak mempunyai ilmu dan tidak memahami kaidah bahasa tentang kata “Allah”, agar kata tersebut segera dikembalikan saja atau jangan dipergunakan kembali. Hapus kata “Allah” dari kitab suci agama Kristen, supaya tetap terjaga makna “Allah” yang sesungguhnya.
Umat Islam merasa sangat keberatan jika kalian menggunakan kata “Allah” tetapi makna dan kaidahnya malah dirusak oleh tangan-tangan penerjemah kitab suci umat Kristen di Indonesia. Tidak ada di kamus mana pun yang menyatakan bahwa “Allah” adalah gelar, bukan nama diri. Tentu penerjemahan ini banyak menabrak kaidah-kaidah tata bahasa, baik Arabic maupun kaidah kamus Indonesia.
M Fuad Abdul Wafi | Annajahsidogiri.id
[1] Syekh Abu Bakar Syatha, Ianah ath-Thalibin, juz. 1 hal. 20.
[2] Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Bernard Tottel al-Yassu’i, Kamus al- Munjid, hal. 16.
[3] Dr. Butrus, Qamus al-Kitab al-Muqaddas, hal. 107.
[4] Sumber:https://www.arabicbible.com/codex-151.html.
[5] https://kbbi.web.id/allah.html.