Agaknya, filsafat proses menjadi salah satu mazhab resmi para pemikir liberal dalam memandang Islam dengan segenap nilai, konsep, dan ajaran di dalamnya. Jika Anda masih ingat dengan tulisan Ulil Abshar Abdalla yang kontroversial pada tahun 2001 silam, dengan judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, pada paragraf pertama dari tulisan itu sudah bisa disimpulkan bahwa ide yang mendasari pemikirannya dibangun dari filsafat proses.
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syariat Islam dalam Pandangan al-Buthi (Bagian I)
Pada paragraf pertama itu Ulil menulis: “Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah ‘organisme’ yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai ‘patung’ indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.”
Filsafat proses ini pula yang menjadi landasan hermeneutika Syahrur, di mana ide Syahrur ini dijadikan pijakan oleh mahasiswa sebuah universitas Islam dalam menulis disertasi yang intinya melegalkan perzinahan, sebagaimana sempat heboh beberapa tahun yang lalu. Untuk itu, mari kita diskusikan nalar Syahrur dan kaitannya dengan filsafat proses lebih detail, untuk mendapatkan gambaran lebih utuh bagaimana pemikir liberal membedah nilai dan konsep Islami dengan berpijak pada filsafat proses ini.
Baca Juga: Epistemologi Barat vs Islam (Part I)
Bahwa dalam filsafat prosesnya, Syahrur menggunakan tiga kunci dasar, yaitu kainūnah (being / kondisi ada atau keberadaan), sairūrah (process / kondisi berproses), dan shairūrah (becoming / kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian apapun dalam filsafat proses, termasuk tentang ketuhanan, alam, dan manusia.
Persoalan tentang ketuhanan, alam, dan manusia sebagai sesuatu yang ada / being / kainūnah, akan selalu berproses, terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya (process / sairuūrah), yang pada gilirannya ia akan selalu mengalami kondisi menjadi (becoming / shairūrah) sebagai tujuan. Ketika segala sesuatu dianggap tidak bisa terlepas dari tiga kondisi tadi, maka al-Quran dengan segenap konsep, nilai, dan ajarannya juga harus larut dalam tiga kondisi tersebut.
Ketika Syahrur mengaplikasikan filsafat proses untuk mengkaji al-Quran, maka hal ini berarti bahwasanya al-Quran beserta maknanya akan selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada tahap ini, berarti kondisi al-Quran sudah berubah dari “being” menjadi “process”. Setelah mengalami process, maka output yang dihasilkan ialah makna al-Quran yang benar-benar baru, yang dianggap lebih relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman (becoming / shairūrah).
Jadi intinya, dengan berpijak pada filsafat proses, Syahrur berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada pada masa lalu tidak dapat disamakan dengan keberadaannya di masa kini, karena segala sesuatu akan selalu berubah, bergerak, dan berproses, tidak terkecuali al-Quran dan maknanya; ia juga akan dan berkembang sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu.
Lalu bagaimanakah Islam memandang filsafat proses ini, dan bagaimana pula Islam memandang penerapan filsafat proses untuk membedah konsep-konsep Islam, sebagaimana dilakukan oleh para pemikir liberal? Hal inilah yang akan kita diskusikan pada tulisan berikutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri