• xnxx
  • xnxx
Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (2/2) - AnnajahSidogiri.id
AnnajahSidogiri.id
No Result
View All Result
Senin, Oktober 20, 2025
  • Login
  • Terbaru
  • Aktual
    Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)

    Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)

    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Naskh dan Mansukh; Antara Relevansi dan Kontroversi

    Memahami Perbuatan Tuhan

    Memahami Perbuatan Tuhan

    Mati Kelaparan Gara-gara Allah (?)

    Mati Kelaparan Gara-gara Allah (?)

    karma

    Dilema Karma; Antara Doktrin Hindu dan Ajaran Islam

    Antara Anugerah dan Hidayah

    Antara Anugerah dan Hidayah

    Nderek Guru Dengan Bijak

    Nderek Guru Dengan Bijak

    Gelar Al-Masih; antara Nabi Isa dan Dajjal

    Gelar Al-Masih; antara Nabi Isa dan Dajjal

    Imam Asyari Merintis Akidah Baru (?)

    Imam Asyari Merintis Akidah Baru (?)

  • Aswaja
    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Arti Mimpi Melihat Allah

    Ketika Kau Membenci Ahlul Bait

    Ketika Kau Membenci Ahlul Bait

    Nabi Khidir Hanya Ilusi Sufi?

    Nabi Khidir Hanya Ilusi Sufi?

    Membantah Konsep Trinitas #2

    Khataman Nabiyyin; Antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad

    Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan

    Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan

    Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat (part 2)

    Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat (part 2)

    Sikap Aswaja Terhadap Tradisi Masyarakat

    Sikap Aswaja Terhadap Tradisi Masyarakat

     Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat

     Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat

    Eksistensi Malaikat Penjaga & Pencatat Amal (2)

    Eksistensi Malaikat Penjaga & Pencatat Amal (2)

  • Liberal
    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Tuhan Tidak Adil?

    Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (2/2)

    Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (2/2)

     Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (1/2)

     Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (1/2)

    Menepis Tafsir Feminis

    Memahami Makna Rahmatan lil Alamin Dengan Benar

    Memahami Makna Rahmatan lil Alamin Dengan Benar

    Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme

    Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme

    Memahami Apa Itu Ilmiah?

    Memahami Apa Itu Ilmiah?

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (2/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (2/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)

  • Wahabi
    Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme

    Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme

    Shalawat Nabi Dan Sejarah Kelam Wahabi

    Shalawat Nabi Dan Sejarah Kelam Wahabi

    Kontroversi Wahabi Perihal Mengatakan “ Sayyid “ Pada Nabi

    Kontroversi Wahabi Perihal Mengatakan “ Sayyid “ Pada Nabi

    Apa Yang Menjadi Dalil Boleh Baca Al-Quran di Kuburan?

    Apa Yang Menjadi Dalil Boleh Baca Al-Quran di Kuburan?

    Dusta Wahabi Terhadap Akidah Ulama (#1)

    Dusta Wahabi Terhadap Akidah Ulama (#1)

    Cikal Bakal Ideologi Tajsim

    Cikal Bakal Ideologi Tajsim

    Fitnah Wahabi Pada Imam Syafi’i Perihal Tasawuf

    Fitnah Wahabi Pada Imam Syafi’i Perihal Tasawuf

    Jimat Kalung Balita, Bidahkah?

    Jimat Kalung Balita, Bidahkah?

    Merayakan Ulang Tahun Bidah (?)

    Merayakan Ulang Tahun Bidah (?)

  • Syiah
    Allah Adalah Dzat, Bukan Roh

    Ismailiyah: Sinkronisasi Filsafat dalam Ajaran Syiah

    Syiah

      Membedah Hadis Syiah

    Menyoal Cinta Syiah kepada Ahlul Bait

    Sekte Al-Kaysaniyyah: Antara Politik, Pembalasan, dan Penyimpangan

    Sekte Al-Kaysaniyyah: Antara Politik, Pembalasan, dan Penyimpangan

    Sekilas Tentang Politik Syiah

    Sekilas Tentang Politik Syiah

    Perkembangan Syiah di Indonesia

    Perkembangan Syiah di Indonesia

    Aliran Ghurabiyyah sekte Syiah Yang Keluar dari Arus Utama Islam

    Aliran Ghurabiyyah sekte Syiah Yang Keluar dari Arus Utama Islam

    Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam

    Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam

    Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah

    Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah

  • Lintas Agama
  • Serial Akidah Awam
  • Publikasi
    • Buletin Tauiyah
    • e-book
    • Kajian Kitab Kiai
    • Kolom
    • Konsultasi
      Jahmiyyah; Sekte Pengingkar Asma Allah

      Jahmiyyah; Sekte Pengingkar Asma Allah

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#3)

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#3)

       Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#2)

       Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#2)

      Asmaul-Husna: Apakah Cuma Sembilan Puluh Sembilan Nama?

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#1)

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#1)

      Jangan Katakan Al-Quran Makhluk !

      Jangan Katakan Al-Quran Makhluk !

      Siapa Iblis Itu?

      Siapa Iblis Itu?

      Mengapa Tahlilan Hingga 7 Hari?

      Mengapa Tahlilan Hingga 7 Hari?

      Hikmah di Balik Menabur Bunga di Atas Kuburan

      Hikmah di Balik Menabur Bunga di Atas Kuburan

    • Resensi
    • Tokoh
      Ahmad Bin Hanbal: Amir al-Mukminin al-Hadis

      Ahmad Bin Hanbal: Amir al-Mukminin al-Hadis

      Mutiara Pembela Ahlusunnah dari Kota Mekah

      Mutiara Pembela Ahlusunnah dari Kota Mekah

      Saad al-Din at-Taftazani

      Saad al-Din at-Taftazani

      Syekh Muhammad bin Umar Al-Hadhrami

      Syekh Muhammad bin Umar Al-Hadhrami

      Al-Imam Al-Ghazali

      Al-Imam Al-Ghazali

      Al-Imam Al-Baghawi

      Al-Imam Al-Baghawi

      Syekh Ahmad bin Ismâ‘îl Al-kûrâni

      Syekh Ahmad bin Ismâ‘îl Al-kûrâni

      Maimuniyyah Gagal Paham

      Syekh Abdul Hâmid bin Muhammad Alî Quds

      Al-Imam Ibnu ‘Ajibah

      Al-Imam Ibnu ‘Ajibah

      • Firqah
    • Wawancara
  • Video
AnnajahSidogiri.id
  • Terbaru
  • Aktual
    Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)

    Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)

    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Naskh dan Mansukh; Antara Relevansi dan Kontroversi

    Memahami Perbuatan Tuhan

    Memahami Perbuatan Tuhan

    Mati Kelaparan Gara-gara Allah (?)

    Mati Kelaparan Gara-gara Allah (?)

    karma

    Dilema Karma; Antara Doktrin Hindu dan Ajaran Islam

    Antara Anugerah dan Hidayah

    Antara Anugerah dan Hidayah

    Nderek Guru Dengan Bijak

    Nderek Guru Dengan Bijak

    Gelar Al-Masih; antara Nabi Isa dan Dajjal

    Gelar Al-Masih; antara Nabi Isa dan Dajjal

    Imam Asyari Merintis Akidah Baru (?)

    Imam Asyari Merintis Akidah Baru (?)

  • Aswaja
    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Arti Mimpi Melihat Allah

    Ketika Kau Membenci Ahlul Bait

    Ketika Kau Membenci Ahlul Bait

    Nabi Khidir Hanya Ilusi Sufi?

    Nabi Khidir Hanya Ilusi Sufi?

    Membantah Konsep Trinitas #2

    Khataman Nabiyyin; Antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad

    Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan

    Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan

    Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat (part 2)

    Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat (part 2)

    Sikap Aswaja Terhadap Tradisi Masyarakat

    Sikap Aswaja Terhadap Tradisi Masyarakat

     Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat

     Turunnya Nabi Isa Menjelang Hari Kiamat

    Eksistensi Malaikat Penjaga & Pencatat Amal (2)

    Eksistensi Malaikat Penjaga & Pencatat Amal (2)

  • Liberal
    Antara Relevansi dan Kontroversi

    Tuhan Tidak Adil?

    Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (2/2)

    Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (2/2)

     Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (1/2)

     Membantah Isu Feodalisme dalam Pesantren (1/2)

    Menepis Tafsir Feminis

    Memahami Makna Rahmatan lil Alamin Dengan Benar

    Memahami Makna Rahmatan lil Alamin Dengan Benar

    Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme

    Mengurai Tuduhan Al-Quran Pluralisme

    Memahami Apa Itu Ilmiah?

    Memahami Apa Itu Ilmiah?

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (2/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (2/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)

    Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)

  • Wahabi
    Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme

    Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme

    Shalawat Nabi Dan Sejarah Kelam Wahabi

    Shalawat Nabi Dan Sejarah Kelam Wahabi

    Kontroversi Wahabi Perihal Mengatakan “ Sayyid “ Pada Nabi

    Kontroversi Wahabi Perihal Mengatakan “ Sayyid “ Pada Nabi

    Apa Yang Menjadi Dalil Boleh Baca Al-Quran di Kuburan?

    Apa Yang Menjadi Dalil Boleh Baca Al-Quran di Kuburan?

    Dusta Wahabi Terhadap Akidah Ulama (#1)

    Dusta Wahabi Terhadap Akidah Ulama (#1)

    Cikal Bakal Ideologi Tajsim

    Cikal Bakal Ideologi Tajsim

    Fitnah Wahabi Pada Imam Syafi’i Perihal Tasawuf

    Fitnah Wahabi Pada Imam Syafi’i Perihal Tasawuf

    Jimat Kalung Balita, Bidahkah?

    Jimat Kalung Balita, Bidahkah?

    Merayakan Ulang Tahun Bidah (?)

    Merayakan Ulang Tahun Bidah (?)

  • Syiah
    Allah Adalah Dzat, Bukan Roh

    Ismailiyah: Sinkronisasi Filsafat dalam Ajaran Syiah

    Syiah

      Membedah Hadis Syiah

    Menyoal Cinta Syiah kepada Ahlul Bait

    Sekte Al-Kaysaniyyah: Antara Politik, Pembalasan, dan Penyimpangan

    Sekte Al-Kaysaniyyah: Antara Politik, Pembalasan, dan Penyimpangan

    Sekilas Tentang Politik Syiah

    Sekilas Tentang Politik Syiah

    Perkembangan Syiah di Indonesia

    Perkembangan Syiah di Indonesia

    Aliran Ghurabiyyah sekte Syiah Yang Keluar dari Arus Utama Islam

    Aliran Ghurabiyyah sekte Syiah Yang Keluar dari Arus Utama Islam

    Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam

    Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam

    Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah

    Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah

  • Lintas Agama
  • Serial Akidah Awam
  • Publikasi
    • Buletin Tauiyah
    • e-book
    • Kajian Kitab Kiai
    • Kolom
    • Konsultasi
      Jahmiyyah; Sekte Pengingkar Asma Allah

      Jahmiyyah; Sekte Pengingkar Asma Allah

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#3)

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#3)

       Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#2)

       Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#2)

      Asmaul-Husna: Apakah Cuma Sembilan Puluh Sembilan Nama?

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#1)

      Takdir Dan Pertanyaan-Pertanyaan Membingungkan (#1)

      Jangan Katakan Al-Quran Makhluk !

      Jangan Katakan Al-Quran Makhluk !

      Siapa Iblis Itu?

      Siapa Iblis Itu?

      Mengapa Tahlilan Hingga 7 Hari?

      Mengapa Tahlilan Hingga 7 Hari?

      Hikmah di Balik Menabur Bunga di Atas Kuburan

      Hikmah di Balik Menabur Bunga di Atas Kuburan

    • Resensi
    • Tokoh
      Ahmad Bin Hanbal: Amir al-Mukminin al-Hadis

      Ahmad Bin Hanbal: Amir al-Mukminin al-Hadis

      Mutiara Pembela Ahlusunnah dari Kota Mekah

      Mutiara Pembela Ahlusunnah dari Kota Mekah

      Saad al-Din at-Taftazani

      Saad al-Din at-Taftazani

      Syekh Muhammad bin Umar Al-Hadhrami

      Syekh Muhammad bin Umar Al-Hadhrami

      Al-Imam Al-Ghazali

      Al-Imam Al-Ghazali

      Al-Imam Al-Baghawi

      Al-Imam Al-Baghawi

      Syekh Ahmad bin Ismâ‘îl Al-kûrâni

      Syekh Ahmad bin Ismâ‘îl Al-kûrâni

      Maimuniyyah Gagal Paham

      Syekh Abdul Hâmid bin Muhammad Alî Quds

      Al-Imam Ibnu ‘Ajibah

      Al-Imam Ibnu ‘Ajibah

      • Firqah
    • Wawancara
  • Video
No Result
View All Result
AnnajahSidogiri.id
  • Terbaru
  • Aktual
  • Aswaja
  • Liberal
  • Wahabi
  • Syiah
  • Lintas Agama
  • Serial Akidah Awam
  • Publikasi
  • Video

Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (2/2)

Ahmad Ilham Zamzami by Ahmad Ilham Zamzami
20 Oktober 2025
in Aktual
Reading Time: 8 mins read
A A
0
Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam  (2/2)
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Bagikan di FBBagikan di TwitterBagikan di WABagikan di Telegram

Rasionalitas dan Epistemologi Ghazali

Jika dalam subtema sebelumnya terlihat bahwa al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total, maka dalam aspek epistemologi justru terlihat bagaimana ia menempatkan akal di pusat fondasi beragama. Al-Ghazali menulis dalam al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād: «العقل أصل النقل، ولو لا العقل لما ثبت النقل» (h. 14). “Akal adalah fondasi bagi wahyu; tanpa akal, wahyu tidak mungkin bisa dibuktikan.” Pernyataan ini mengandung konsekuensi radikal: otoritas teks agama baru diakui setelah akal terlebih dahulu memastikan keabsahannya. Dengan demikian, al-Ghazali bukanlah musuh rasionalitas, tetapi justru pengokohannya. —Kapan-kapan saya akan menuliskan hal ini secara mendetail, khususnya perihal nuṣūṣ ẓanniyah dan ‘uqūl qaṭ’iyyah dari perspektif ‘Asy`ariyyah.

Namun, epistemologi al-Ghazali tidak berhenti pada akal. Ia membangun kerangka tiga lapis: indra, akal, dan kasyf (intuisi ruhani). Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, ia menggambarkan krisis skeptisisme yang pernah dialaminya: indra bisa menipu, akal bisa terbatas, dan hanya cahaya Tuhan yang bisa memberi kepastian. Tetapi penting dicatat: Ghazali tidak membuang akal, melainkan menegaskan bahwa akal adalah jembatan niscaya sebelum seseorang sampai pada kasyf. Di sini, epistemologinya bersifat hierarkis dan integratif.

Di satu sisi, al-Ghazali mengadopsi instrumen logika Aristotelian secara penuh. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Qisṭās al-Mustaqīm, ia menekankan struktur silogisme sebagai alat sahih untuk menimbang argumen. Lebih jauh, ia menjadikan logika sebagai prasyarat dalam usul fikih melalui al-Mustaṣfā. Tanpa logika, kata Ghazali, usul fikih ibarat “air tanpa wadah.” Hal ini menunjukkan bahwa ia bukan hanya pengguna, melainkan juga penginstitusi logika ke dalam disiplin ilmu Islam.

Namun, al-Ghazali juga menyadari keterbatasan akal. Dalam Tahāfut al-Falāsifah, ia menolak klaim filosof bahwa akal mampu menembus hakikat metafisika tertinggi seperti azaliyyah alam atau pengetahuan Tuhan tentang partikular. Kritiknya bukan pada akal itu sendiri, melainkan pada pretensi akal yang melampaui batas domainnya. Menurut Ghazali, akal dapat membuktikan kewajiban adanya Tuhan, keesaan-Nya, dan sebagian sifat-Nya, tetapi perkara ghaib detailnya tetap memerlukan wahyu. Dengan kata lain, al-Ghazali membangun epistemologi berbatas: akal dipakai sejauh mungkin, lalu wahyu mengambil alih.

Frank Griffel dalam Al-Ghazali’s Philosophical Theology (2009, h. 131) menafsirkan posisi ini sebagai bentuk epistemic humility—kerendahan hati epistemik. Ghazali mengakui kekuatan akal, tetapi juga menundukkannya pada wahyu. Sementara itu, Sherman Jackson menegaskan bahwa Ghazali membangun “rasionalitas religius” yang tidak sekadar defensif, tetapi juga produktif: ia menyerap filsafat untuk menajamkan argumen kalam dan fikih. (On the Boundaries of Theological Tolerance in Islam, 1996, h. 54).

Baca Juga: Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)

Lebih dari itu, Ghazali juga membuka ruang bagi dimensi intuitif. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (juz 1, h. 12), ia menulis: «العلم نور يقذفه الله في القلب» — “Ilmu adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati.” Dengan pernyataan ini, ia mengintegrasikan dimensi kognitif (akal) dengan dimensi spiritual (qalb). Maka, epistemologinya bukan dualisme, melainkan sintesis: rasio, teks, dan intuisi ruhani saling melengkapi.

Jika kita baca dengan perspektif kontemporer, epistemologi Ghazali mendekati gagasan hermeneutika Paul Ricoeur: teks (wahyu) bukan sekadar dokumen historis, tetapi dunia makna yang menuntut partisipasi pembaca. Akal dan hati dalam tradisi Ghazali berfungsi sebagai horizon yang membuka makna itu. Dengan demikian, rasionalitas Ghazali bersifat produktif, bukan reduktif.

Maka, tuduhan bahwa al-Ghazali membunuh filsafat runtuh di sini. Justru ia membangun epistemologi integratif yang memungkinkan akal, teks, dan intuisi bersinergi. Inilah sebabnya mengapa setelah al-Ghazali, studi kalam, fikih, dan tasawuf menemukan sintesis baru yang memperkaya khazanah intelektual Islam.

Ghazali dan Sains: Antara Tuduhan dan Realitas

Salah satu tuduhan paling populer yang dialamatkan kepada Imam al-Ghazali adalah bahwa ia menjadi biang keladi kemunduran sains dalam Islam. Tuduhan ini berulang kali diangkat oleh sejarawan orientalis seperti Ernest Renan pada abad ke-19 yang menuduh Islam secara umum anti-rasional, dan Ghazali secara khusus sebagai penghancur tradisi ilmiah Yunani dalam peradaban Islam. Namun, jika kita meneliti karya-karya Ghazali dan konteks sejarahnya, tuduhan ini ternyata reduktif, bahkan keliru.

Pertama,—sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya—dalam Tahāfut al-Falāsifah, Ghazali memang mengkritik para filsuf Muslim—khususnya al-Farabi dan Ibn Sina—pada 20 masalah, dan menganggap mereka jatuh dalam kekufuran pada tiga masalah: qadim-nya alam, ketidaktahuan Tuhan tentang partikular, dan pengingkaran kebangkitan jasmani. Akan tetapi, penting dicatat: kritik ini menyasar aspek metafisika, bukan sains empiris. Ghazali sama sekali tidak menolak matematika, astronomi, atau kedokteran. Bahkan dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl, ia menegaskan bahwa siapa pun yang mengira agama menolak ilmu pasti (riyāḍiyyāt) berarti telah mencoreng agama itu sendiri, karena kebenaran ilmiah bersifat niscaya.

Kedua, Ghazali sendiri menguasai logika dan metodologi ilmiah. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Qisṭās al-Mustaqīm, ia memperlihatkan apresiasi penuh terhadap silogisme dan pembuktian deduktif. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia bahkan menekankan pentingnya keteraturan kosmik sebagai tanda kebesaran Allah, yang hanya dapat dipahami melalui telaah empiris. Ini menunjukkan bahwa ia tidak menolak sains, melainkan mengembalikan sains pada kerangka tauhid: sains sebagai jalan mengenal Allah.

Baca Juga: Keniscayaan Bertasawuf dalam Berakidah

Ketiga, kesaksian sejarah menunjukkan bahwa sains tidak mati setelah Ghazali. Justru setelah abad ke-12, tradisi ilmiah Islam melahirkan tokoh besar seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1210) yang menulis ensiklopedia astronomi, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1274) yang mereformasi model Ptolemaik, dan Ibn al-Nafīs (w. 1288) yang menemukan sirkulasi paru-paru. Bahkan observatorium Maragha (1259) dan Samarkand (abad ke-15) berdiri megah jauh setelah wafatnya Ghazali. Fakta ini membantah asumsi bahwa karya Ghazali menghentikan sains.

Frank Griffel dalam Al-Ghazali’s Philosophical Theology (2009, hlm. 236) menegaskan bahwa Ghazali tidak menghambat ilmu pengetahuan, melainkan mengarahkan filsafat agar tunduk pada batasan epistemologis wahyu. Ia menyebut Ghazali sebagai “the theologian who naturalized philosophy into Sunni Islam.” Sementara George Saliba dalam Islamic Science and the Making of the European Renaissance (2007, hlm. 45) justru menunjukkan bahwa perkembangan astronomi Islam setelah Ghazali sangat pesat dan berpengaruh pada lahirnya revolusi Kopernikan di Eropa.

Lebih lanjut sejarawan George Saliba menegaskan: “The decline of science in the Islamic world cannot be explained by theological opposition. On the contrary, scientific activities continued to flourish well after al-Ghazali” (Islamic Science, hlm. 213). Dengan demikian, faktor kemunduran lebih tepat dicari pada krisis politik (jatuhnya Baghdad 1258 M, serangan Mongol, dan kolonialisme modern), bukan pada al-Ghazali.

Selain itu, dalam Al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād (hlm. 198), Ghazali menekankan bahwa hukum kausalitas bukanlah sekadar ilusi, melainkan sunnatullah yang teratur. Ia memang menolak kausalitas absolut ala Aristoteles, tetapi tidak menolak keteraturan alam. Justru dengan konsep ‘ādah (kebiasaan ilahi), ia membuka ruang bagi eksperimen: manusia meneliti karena ingin mengetahui pola kebiasaan Allah di alam raya. Dengan begitu, metodologi sains justru menemukan justifikasi teologis dalam kerangka Asy‘ariyah.

Tuduhan bahwa Ghazali penyebab kemunduran sains ternyata lebih merupakan konstruksi kolonial daripada kesaksian historis. Ernest Renan, dalam kuliahnya tahun 1883 di Sorbonne, menyebut “Islam killed science.” Tetapi penelitian kontemporer telah membantahnya. Dimitri Gutas, misalnya, menegaskan bahwa dinamika politik, invasi Mongol, dan pergeseran pusat ekonomi jauh lebih menentukan stagnasi sains Islam daripada faktor teologis semata (Greek Thought, Arabic Culture, 1998).

Maka, alih-alih menghancurkan sains, Ghazali justru membingkainya dalam horizon teologis yang lebih luas. Ia menolak klaim metafisika yang liar, tetapi mendukung ilmu pasti sebagai alat mengenal ciptaan Allah. Tuduhan bahwa Ghazali membunuh sains sesungguhnya mencerminkan bias historiografi orientalis, bukan kenyataan sejarah Islam.

Ghazali dan Filsafat: Kritik, Integrasi, dan Sintesis

Di antara tuduhan klasik yang diarahkan kepada Imam al-Ghazali adalah bahwa ia menghancurkan filsafat dalam Islam. Tuduhan ini berakar pada pembacaan parsial terhadap Tahāfut al-Falāsifah, di mana Ghazali mengkritik Ibn Sina dan al-Farabi dalam 20 persoalan metafisik. Namun, jika kita menelusuri karya Ghazali secara utuh, tampak jelas bahwa posisinya jauh lebih kompleks: ia bukan penghancur filsafat, melainkan pengkritik selektif yang sekaligus mengintegrasikan filsafat ke dalam kerangka kalam dan tasawuf.

Pertama, Ghazali menerima logika sebagai alat ilmiah yang sahih. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Qisṭās al-Mustaqīm, ia bahkan memperkenalkan logika Aristotelian sebagai instrumen untuk menimbang argumentasi agama. Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1210), yang sering dianggap sebagai “penerus” Ghazali, kemudian mengembangkan metode ini lebih jauh dalam tafsir dan kalam. Artinya, alih-alih mematikan filsafat, Ghazali menormalisasi penggunaannya dalam kerangka teologi Sunni. Frank Griffel menegaskan: “Al-Ghazali’s intention was not to ban philosophy but to domesticate it within Islamic theology” (Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 2009, hlm. 56).

Baca Juga: Memahami Perbuatan Tuhan

Kedua, kritik Ghazali dalam Tahāfut sejatinya ditujukan pada klaim metafisik yang menurutnya bertentangan dengan prinsip tauhid. Misalnya, klaim Ibn Sina bahwa alam qadim, atau bahwa Tuhan tidak mengetahui partikular. Bagi Ghazali, kedua klaim ini tidak hanya bermasalah teologis, tetapi juga melemahkan konsep keadilan ilahi dan tanggung jawab manusia. Namun, pada saat yang sama, Ghazali tidak menolak epistemologi filsafat per se. Ia hanya menolak kesimpulan yang dianggap melampaui batas akal. Dalam al-Munqidh min al-Ḍalāl (hlm. 75), ia menulis: “Aku tahu bahwa siapa pun yang percaya bahwa agama menolak ilmu pasti, maka ia telah berbuat buruk terhadap agama, sehingga membuka jalan bagi kaum ateis untuk meremehkan agama itu.” Redaksi ini membuktikan bahwa ia mendukung peran filsafat dalam ruang rasionalitas, selama tidak menyalahi wahyu.

Ketiga, Ghazali justru menumbuhkan tradisi filsafat Islam dalam bentuk yang lebih integratif. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ia menggabungkan etika filsafat dengan spiritualitas tasawuf dan struktur kalam Asy‘ari. Etika kebahagiaan, sebagaimana dirumuskan Aristoteles dan diadaptasi Ibn Sina, diolah kembali Ghazali untuk menekankan kebahagiaan akhirat. Fazlur Rahman menyebut Ghazali sebagai “synthesizer” yang berhasil mempertemukan tradisi filsafat, kalam, dan sufisme menjadi satu kesatuan epistemologis yang khas Islam (Islam and Modernity, 1982, hlm. 28).

Keempat, dampak Ghazali terhadap perkembangan filsafat justru konstruktif. Di dunia Islam, karyanya membuka ruang bagi integrasi filsafat ke dalam kalam. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī, hingga al-Ījī menggunakan perangkat filsafat untuk memperkuat argumen teologis. Di dunia Barat, Tahāfut bahkan menginspirasi Ibn Rushd untuk menulis Tahāfut al-Tahāfut, yang menjadi jembatan penting bagi filsafat Islam masuk ke Eropa. Oliver Leaman menegaskan bahwa kontroversi Ghazali–Ibn Rushd justru memperkaya dinamika filsafat, bukan mematikannya (A History of Islamic Philosophy, 2002, hlm. 153).

Akhirnya, perlu ditegaskan: Ghazali tidaklah anti-filsafat, melainkan kritis terhadap filsafat yang menyalahi prinsip tauhid. Ia memurnikan filsafat dari spekulasi metafisik yang menjerumuskan, sambil mengintegrasikan metodologinya ke dalam kalam dan tasawuf. Karena itu, menyebut Ghazali sebagai penyebab kematian filsafat dalam Islam adalah kesalahan historiografis. Yang terjadi sebenarnya adalah transformasi: dari filsafat murni ke filsafat yang ditundukkan dalam horizon iman. Dalam hal ini, Ghazali bukan penghancur, tetapi pengarah dan pengolah, yang menyelamatkan filsafat Islam dari sekadar menjadi bayangan Yunani.

Penutup: Ghazali, Sains, dan Jalan Tengah Teologi

Dalam lanskap sejarah intelektual Islam, Imam al-Ghazali sering diposisikan secara reduktif: seolah-olah ia adalah biang keladi kemunduran sains dan filsafat dalam peradaban Islam. Namun, jika kita menelisik karyanya secara utuh dan membaca dampaknya dalam sejarah intelektual, klaim ini lebih merupakan konstruksi orientalis ketimbang kenyataan. Ghazali justru tampil sebagai jembatan: ia mengkritik filsafat ketika menyimpang dari prinsip tauhid, tetapi juga mengintegrasikannya ke dalam kerangka kalam, etika, dan tasawuf.

Pertama, Ghazali adalah teolog yang cermat menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal. Dalam al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād, ia menulis bahwa iman tidak boleh dilepaskan dari argumentasi rasional, karena syariat mendorong manusia untuk menggunakan akal. Ia menerima logika Aristotelian sebagai alat analisis ilmiah, sebagaimana ditegaskan dalam Mi‘yār al-‘Ilm. Fakta ini menunjukkan bahwa ia bukanlah penolak filsafat, melainkan pengguna selektif yang memastikan filsafat tidak melampaui batas wahyu. Seperti ditegaskan Frank Griffel: “Al-Ghazali’s theological project was not a denial of philosophy but its domestication in the service of theology.” (Al-Ghazali’s Philosophical Theology, 2009, hlm. 78).

Baca Juga: Yazidiyyah dan Nabi Palsu

Kedua, kritik Ghazali dalam Tahāfut al-Falāsifah harus dipahami dalam konteks. Ia hanya menyatakan para filsuf “kafir” dalam tiga persoalan: qadimnya alam, ketidaktahuan Tuhan atas partikular, dan penolakan kebangkitan jasmani. Dalam 17 persoalan lainnya, ia hanya menuduh bid‘ah atau kekeliruan, bukan kekufuran. Dengan kata lain, kritiknya bersifat teologis, bukan penghancuran filsafat secara keseluruhan. Bahkan, Ibn Rushd merespons dengan Tahāfut al-Tahāfut, yang kemudian menjadi salah satu jalan masuk filsafat Islam ke Eropa. Ironisnya, justru perdebatan inilah yang melahirkan dinamika intelektual baru, bukan kemunduran.

Ketiga, Ghazali berhasil mengembangkan sintesis baru: filsafat etika dipadukan dengan tasawuf, sebagaimana terlihat dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kebahagiaan yang oleh Aristoteles dipahami sebagai eudaimonia (kebahagiaan rasional) ia tafsirkan sebagai sa‘ādah ukhrawiyyah (kebahagiaan akhirat). Di sini, filsafat bukanlah musuh, melainkan bahan baku yang dimurnikan dan diarahkan untuk tujuan spiritual. Fazlur Rahman menyebut hal ini sebagai “creative synthesis” (Islam and Modernity, 1982, hlm. 28), sebuah integrasi yang menjadikan Ghazali bukan penghancur sains, melainkan penyaringnya.

Keempat, dampak Ghazali terhadap tradisi pasca dirinya membuktikan sebaliknya dari tuduhan orientalis. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī, dan al-Ījī menggunakan perangkat logika dan filsafat untuk memperkuat kalam. Ibn Khaldun pun menilai Ghazali sebagai tokoh yang menyelamatkan agama dari dominasi filsafat spekulatif Yunani. Bahkan, Sherman Jackson menegaskan bahwa konsep kasb yang dikembangkan Ghazali merupakan fondasi etik yang membebaskan manusia dari determinisme mutlak, sekaligus menjaga kemahakuasaan Tuhan (Islamic Law and the State, 1996, hlm. 115).

Akhirnya, menuduh Ghazali sebagai penyebab kemunduran sains adalah simplifikasi yang lahir dari paradigma kolonial. Kemunduran peradaban Islam lebih kompleks: faktor politik, invasi Mongol, jatuhnya Baghdad, hingga kolonialisme modern memainkan peran lebih besar. Ghazali, sebaliknya, justru menjaga agar agama tidak kehilangan otoritas spiritualnya di tengah arus filsafat yang berisiko mengikis tauhid. Ia adalah penjaga, bukan penghancur; pengarah, bukan penghalang.

Dengan demikian, Ghazali tetap relevan: ia mengajarkan bahwa kritik terhadap ilmu tidak sama dengan penolakan ilmu; dan bahwa ilmu, filsafat, serta sains, baru menemukan tempatnya yang sejati ketika diikat oleh etika tauhid. Inilah jalan tengah Ghazali: menjadikan filsafat sebagai khadam (pelayan) bagi agama, tanpa membunuh potensinya, melainkan menundukkannya pada visi transendensi. Wallāh `A’lam bi haqīqatil ḥāl.

Ahmad Ilham Zamzami | Annajahsidogiri.id

Previous Post

Keniscayaan Bertasawuf dalam Berakidah

Ahmad Ilham Zamzami

Ahmad Ilham Zamzami

Peneliti Ahli Annajah Center Sidogiri & Alumnus al-Azhar University.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori

  • Aktual
  • Aswaja
  • Buletin Tauiyah
  • e-book
  • Firqah
  • Kajian
  • Kajian Kitab Kiai
  • Kolom
  • Konsultasi
  • Liberal
  • Lintas Agama
  • Publikasi
  • Resensi
  • Serial Akidah Awam
  • Syiah
  • Tokoh
  • Wahabi
  • Wawancara

© 2012-2025 AnnajahSidogiri.ID - design theme by Tim Media ACS.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Terbaru
  • Aktual
  • Aswaja
  • Liberal
  • Wahabi
  • Syiah
  • Lintas Agama
  • Serial Akidah Awam
  • Publikasi
    • Buletin Tauiyah
    • e-book
    • Kajian Kitab Kiai
    • Kolom
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Tokoh
      • Firqah
    • Wawancara
  • Video

© 2012-2025 AnnajahSidogiri.ID - design theme by Tim Media ACS.

  • https://www.lim.di.unimi.it/
    • slot gacor
    • slot gacor