Umumnya, manusia cenderung putus asa saat ditimpa nasib buruk. Beban hidup yang berat, ekonomi yang sulit, masalah keluarga yang rumit, konflik sosial yang tidak berkesudahan dan bencana yang datang silih berganti semuanya adalah contoh nasib buruk yang kerap kali membuat kita putus asa. Kadang pada saat sampai pada klimaks, kita lalu tidak menerima kenyataan dan menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan Allah SWT sebagai pemberi nasib itu.
Begitulah pula yang terjadi pada kaum Tsamud. Dulu, mereka ditimpa kemalangan nasib, bahkan berani menuduh Nabi Shalih AS dan pengikutnya sebagai penyebab terjadinya nasib buruk tersebut. Tetapi kemudian Allah SWT membantah tuduhan mereka dan menyatakan bahwa kemalangan yang telah menimpa mereka adalah dari Allah SWT. (QS an-Naml [27]: 37)
Sebaliknya, saat manusia mengalami nasib baik, biasanya mereka akan bersikap sombong dan angkuh. Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa AS. Kaum Nabi Musa AS mengklaim nasib baik yang mereka dapatkan adalah hasil dari upaya keras mereka sendiri, tanpa ada campur tangan dari Allah SWT. (QS al-A’raf [7]:131)
Pada hakikatnya nasib baik dan buruk semuanya dari Allah SWT. Allah SWT memiliki kehendak mutlak untuk melakukan apa saja kepada makhluk-Nya. Kuasa Allah SWT tidak terbatas pada apapun, bahkan dalam hal yang mencakup keadilan Allah SWT. Misalnya, Allah SWT bisa saja memasukkan orang mukmin ke dalam neraka, atau memasukkan orang kafir ke surga. Hal demikian tetap tidak mengurangi sifat keadilan Allah SWT.1
Prinsip ini berbeda dengan prinsip pemikiran kelompok Qadariyah. Mereka menyatakan bahwa semua yang terjadi pada manusia itu tak lain sebab ulah mereka sendiri. Dalam hal ini mereka mengaku bahwa Allah SWT tidak memiliki andil sama sekali dalam menentukan nasib manusia.2
Berbeda pula dengan pemikiran kelompok Jabariyah. Mereka menyatakan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya dzat yang secara penuh menentukan nasib manusia. Manusia tidak memiliki daya apapun untuk mengubah nasibnya sendiri. Jabariyah menganalogikannya dengan daun yang jatuh ke sungai. Sedikit pun daun itu tidak memiliki kendali kuasa, tapi air sungai itulah yang menentukan daun itu akan dibawa kemana.
Kalangan Ahlussunnah mengambil jalan tengah antara pemikiran Qadariyah dan Jabariyah. Ahlussunnah memiliki prinsip bahwa secara hakikat Allah SWT punya kehendak secara mutlak. Sehingga setiap kejadian, proses, kinerja alam raya (kosmos), nasib baik dan buruk, bahkan semua perbuatan dan kemauan manusia sendiri itu berada di bawah kendali kekuasaan dan kehendak Allah SWT.3
Namun secara syariat, seorang hamba tidak bisa serta-merta menisbatkan semua nasibnya kepada Allah SWT. Akan tetapi lebih etis jika setiap hamba tidak menisbatkan langsung hal tersebut kepada Allah SWT kecuali yang baik-baik saja, sementara yang buruk dinisbatkan kepada dirinya sendiri.4
Allah SWT berfirman (yang artinya):
مَا أصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Setiap kebaikan yang menimpamu, maka itu datang dari Allah SWT. Sementara keburukan yang menimpamu, maka itu datang dari dirimu sendiri.” (QS an-Nisa’ [4]: 79)
Dalam surah lain, Allah SWT menceritakan perihal Nabi Ibrahim AS dan bagaimana etika beliau menyikapi sakit yang dialami. Allah SWT berfirman (yang artinya):
الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِين
“Dialah yang menciptakan aku, lalu memberiku petunjuk. Dan dialah yang memberiku makan dan minum. Dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkan aku.“ (QS as-Syu’ara [26]: 78-80)
Dalam ayat ini, dari awal mula Nabi Ibrahim AS menyatakan bahwa yang menciptakan, memberi petunjuk, memberi makan dan minum itu semuanya adalah Allah SWT. Akan tetapi saat menjelaskan tentang sakit yang di derita, beliau mengungkapkan dengan kata: “Dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkan aku.” Bukan dengan kalimat “ Ketika Allah SWT memberiku sakit,“. Beliau tidak ingin menisbatkan keburukan yang beliau alami kepada Allah SWT, hal itu sebagai bentuk sopan santun (ta’addub) kepada Allah SWT.5
Begitulah syariat mengajarkan kita bagaimana menyikapi keputusan (taqdir) yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagai orang yang beriman atau percaya keberadaan Allah SWT dan segala sifat kesempurnaannya, sudah barang tentu kita harus mempercayai dan menerima adanya takdir baik dan buruk. Tetapi bukan berarti kemudian dengan seenaknya melakukan apa saja dengan dalih takdir Allah SWT. Sebab secara syariat, Allah SWT telah memberi kehendak parsial (irâdah juz’iyah) yang berupa ikhtiyar kepada manusia, tentunya disamping dengan kesempurnaan akal. Sehingga dengan kedua potensi itu manusia bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Karenanya, pantas saja mereka mendapat siksa manakala melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.6
Alhasil, apapun yang terjadi pada kita semuanya datang dari Allah SWT. Kita tidak diperkenankan mengeluh, apalagi tidak terima dengan keputusan Allah SWT. Jangan pula menuduh Allah SWT telah berlaku buruk, sebab bisa saja keburukan itu merupakan kebaikan dari Allah SWT yang tidak diketahui. Imam Haramain al-Juwaini mengatakan bahwa kerasnya kehidupan dunia termasuk bagian yang seharusnya disyukuri oleh setiap manusia, sebab hal itu merupakan nikmat yang nyata dan jarang disadari.7
Achmad Hudaifi/Annajah.co
- Tim Batartama, Trilogi Ahlussunnah, 113, Sidogiri Penerbit.
- Tim Batartama, Trilogi Ahlussunnah, 144, Sidogiri Penerbit.
- Tim Batartama, Trilogi Ahlussunnah, 83, Sidogiri Penerbit.
- Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul–Murîd, 128, Darul–Kutub al-Islamiyah, Jakarta.
- Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul–Murîd, 129, Darul–Kutub al-Islamiyah, Jakarta.
- Sayyid Husain Afandi, Hushunul-Hamidiyah, 125. Al-Hidayah: Surabaya.
- Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Tuhfatul–Murîd, 142. Darul–Kutub al-Islamiyah, Jakarta.