Mengenal kasab (upaya manusia) tidak sebatas tahu pandangan Ahlusunnah, tapi juga butuh paham terhadap idiologi Jabariyah dan cara mananggapinya.
Jabariyah berpendapat, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak perbuatannya. Manusia terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Dalam bahasa Inggris, paham ini disebut predestination atau fatalism. Oleh sebab itu, paham ini lebih dikenal dengan nama Jabariyah.
Menurut Jabariyah, perbuatan manusia mutlak diciptakan Allah tanpa disertai kasab, sehingga manusia melakukan segala hal dengan terpaksa (مجبورا) secara zahir dan batin. Dalam pandangan Ahlusunah, pandangan Jabariyah dikenal dengan sebutan مجبورا ظاهرا وباطنا.
Dalam anggapan mereka, manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Untuk bertindak pun manusia tidak bisa melakukannya, sebab perbuatannya mutlak tertaklif. Bila manusia bisa melakukan sesuatu atas pilihannya, maka menurut Jabariyah keadaan tersebut menyalahi taklif.
Menurut Imam Abu al-Fatah Abdul Karim bin Abi Bakar Ahmad asy-Syahrastani (548 H/1153 M), Jabariyah menafikan perbuatan hamba secara hakikat dan memutlakkannya kepada Allah. Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Bagi Jabariyah, manusia tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan (kudrat), dan kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Perbuatan manusia yang tampak dilakukan dengan wewenang, bukan perbuatan manusia, melainkan perbuatan Allah Swt, karena manusia tidak memiliki kekuasaan.
Jabaran ini bertedensi pada kaidah milik mereka, bahwa Tuhan wajib berperilaku baik kepada hamba (فعل الصلاح والاصلح). Jadi, manusia tidak bisa berbuat apapun atas wewenang, sebab Allah adalah Sang Pencipta penuh atas hal itu, yang berupa perbuatan terbaik dilakukan.
Oleh karena itu, jika manusia melakukan maksiat, kemudian disiksa, maka hal ini zalim bagi Allah, sebab menurut Jabariyah, Allah wajib menciptakan perbuatan terbaik untuk dilakukan manusia. Dalam kecamata mereka, perbuatan maksiat tersebut hanya dilakukan manusia di dunia nyata, sedangkan di akhirat ia tetap ditempatkan di surga, sebab sepenuhnya diciptakan oleh Allah, yang tentu sebagai keadaan terbaik dilakukan orang tersebut.
Jabaran Jabariyah sebagaimana di atas, tentu tidak bisa dibenarkan. Bahkan Ahlusunah menganggapnya sebagai pendapat batil. Adapun sikap Jabariyah yang menafikan hamba bisa memilah, tentu juga mengatakan bahwa ikhtiar manusia tidak berguna.
Syekh Ahmad bin Muhammad al-Maliki as-Shawi menyebutkan, meskipun pekerjaan hamba ditaklif, manusia tetap memiliki ikhtiar untuk menciptakan pekerjaan yang hakikatnya diciptakan oleh Allah.
Oleh karena itu, pendapat Jabariyah ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Jabariyah mutlak bertendensi pada ketuhanan, dengan menafikan usaha hamba. Mereka menyebut, hamba tidak boleh masuk neraka meskipun mereka telah berbuat dosa dan semacamnya. Tentu, anggapan ini seakanan menafikan keberadaan siksa bagi pelaku dosa untuk dimasukkan ke nereka terlebih dahulu. Manusia diperbolehkan merajalela berbuat dosa, entah itu zina dan semacamnya.
Sikap Jabariyah juga menafikan usaha hamba, hingga menjadikan sifat ikhtiar zahir hamba (ظاهر فعل) tidak bermakna. Tentu, Allah mengetahui pekerjaan hamba-Nya, sedangkan hamba mewujudkan keadaan tersebut melalui kudratnya, yang secara zahir tampak dihasilkan kasab (upaya manusia).
Agus Hidayat | Annajahsidogiri.id