Konon, ketika umat Islam menderita kekalahan dalam perang Salib dalam periode yang sangat lama, lalu al-Aqsha dikuasai oleh tentara Kristen Barat, umat Islam kebingungan mengapa mereka tidak bisa mengalahkan pasukan Salib. Padahal kekuatan mereka secara fisik sangat memadai, pasukan banyak, persenjataan lengkap, pendanaan kuat.
Pada titik inilah al-Imam Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani, sebagaimana dinyatakan oleh para ulama, melihat akar permasalahan terpendam yang tidak dilihat oleh orang kebanyakan, yakni rapuhnya mental dan jiwa umat Islam disebabkan banyaknya penyakit yang menempel dan menggerogoti hati mereka.
Baca Juga: Menemukan Tuhan ala Ummul-Barahin, Karya Imam Sanusi
Penyakit-penyakit hati dan kotoran-kotoran jiwa itulah yang membuat umat tidak bisa berkutik meski kekuatan fisik mereka teramat besar. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa kendati kekuasaan mereka amat luas. Itulah sebabnya, meski pun kedua imam besar ini hidup di tengah-tengah kecamuk peperangan antara umat Islam dan umat Kristen, Imam al-Ghazali maupun Syekh Abdul Qadir al-Jilani sama sekali tidak tertarik membahas perang dalam arti harfiah.
Beliau berdua justru menyibukkan diri dengan membenahi kerusakan hati dan jiwa umat, dengan mengarang kitab-kitab yang menerangkan berbagai penyakit hati, diagnosa terhadap berbagai penyakit itu, tatacara mengobati dan berbagai macam obatnya.
Baca Juga: Kehidupan Tidak Selamanya Rasional
Lantas apa yang dihasilkan oleh kedua pemuka ulama itu? Jelas, berkat mereka selanjutnya terlahir generasi yang baik, generasi dengan mental yang kuat, hati yang bersih, serta semangat yang membara dalam membela agama.
Lihatlah 50 tahun setelah Imam al-Ghazali wafat, umat Islam berhasil merebut kembali al-Aqsha, mengusir pasukan salib kembali ke kampung halaman masing-masing. Itulah sebabnya ulama menyebut generasi saat itu sebagai generasi Ihya’ Ulumiddin karya al-Ghazali dan al-Ghunyah karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Berkaca pada realitas di atas, maka di sinilah peran terpenting sebuah pesantren, lembaga pendidikan keagamaan yang memegang teguh prinsip salaf dan ajaran Ahlus-sunah wal Jamaah. Karena pesantrenlah yang mengajarkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis.
Baca Juga: Halloween dan Islam
Pesantren selalu membangun keyakinan santri terhadap tiga unsur penting dalam pendidikan. Pertama, keyakinan dan kemantapan hati terhadap materi dan kitab yang dipelajari. Kedua, keyakinan dan kemantapan hati terhadap pengarang kitab yang dipelajari. Dan yang ketiga, keyakinan dan kemantapan hati terhadap guru yang mengajarkan kitab-kitab tersebut.
Selain menumbuhkan benih-benih spiritualitas dalam diri peserta didik, keyakinan itu juga melahirkan semangat kepatuhan dan rasa takzim terhadap guru dan ilmu yang mereka pelajari. Orang-orang pesantren diajari untuk memuliakan kitab-kitab yang dipelajari, menciumnya setelah mengaji, membawanya dipeluk dada, berwudu saat akan mempelajari, meletakkannya di tempat yang terhormat, dan semacamnya. Bagi mereka, penghormatan terhadap fisik kitab merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap isinya, yaitu ajaran agama yang terkandung di dalamnya.
Hal yang sama juga dilakukan kepada guru yang mengajarkan, tidak hanya memuliakan, tapi juga membangun ikatan batin dengan mereka, misalnya dengan membacakan Fatihah untuk para guru dan mushannif (pengarang) sebelum dan sesudah belajar. Sakralitas seperti inilah yang nyaris tidak ada dalam pendidikan di luar pesantren.
Dengan demikian, maka hal pertama dan utama yang mesti tertanam dengan benar setiap individu murid, wali murid, guru, dan yang lainnya adalah pemahaman yang benar tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Yakni jangan sampai masing-masing unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan punya pemahaman yang keliru tentang tujuan pendidikan. Dengan memegang prinsip ini, insyaallah akan banyak tumbuh generasi-generasi yang bisa menegakkan agama dan bangsa. Amin.
Fajar Shodiq | Peneliti Annajah Center Sidogiri