30 November 2003 M rubrik Catatan Pinggir Majalah Tempo terbit dengan judul yang sangat religius: Allah. Goenawan Mohamad merupakan penulis tetap pada kolom tersebut. Akan tetapi perlu kita sayangkan, ada beberapa hal yang perlu kita beri catatan pinggir kembali.
“Orang sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Maka berabad-abad yang lalu di kota-kota yang berbataskan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka mengancam berhala. Mereka mengancam doa yang membayangkan Tuhan sebagai—jika kita kiaskan hari ini—seraut pohon bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang maha agung.”[1]
Dengan deretan kata yang puitis, Goenawan Mohamad mengajak kita untuk tidak menymbah tuhan yang kita perkecil, layaknya seraut pohon bonsai. Rasul pun demikian. Mereka juga melarang, atau bahasa Goenawan Mohamad mengingatkan agar kita tidak menyembah tuhan yang kecil, layaknya berhala. Demikian ini benar! Akan tetapi pada paragraf selanjutnya, malah Goenawan Mohamad ingin mengaburkan pembahasan, dengan kisah Nabi Musa.
“Orang muslim punya cerita dari Quran.
Di hadapan Firaun, begitulah dikisahkan, Musa memberi jawab yang tak diharapkan ketika raja mesir itu bertanya, “Dan apakah Tuhan alam dunia itu?” Pertanyaan itu, “Ma rabbu al-alamina?”, cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban Musa berbeda, dan sangat kena. Nabi itu hanya mengatakan “Tuhan” adalah “Tuhan dari Timur dan Barat, dan dari segala di antaranya.”[2]
Setelah itu, pembaca menyimpulkan bahwa mendefinisikan tuhan—yang hal itu memang merupakan batasan—termasuk memperkecil Tuhan. Tuhan yang bersifat, yang memiliki definisi adalah tuhan yang kecil, dan tidak patut kita sembah. Demikian ini perlu kita beri catatan pinggir.
Baca Juga: Mengkritik Pemikiran Parmenides Tentang Alam
Definisi adalah batasan yang bermakna arti, dan bukan pembatas yang melemahkan. Jika saya mendefinisikan Zaid dangan al-Karîm, dengan kata lainZaid yang mulia, apa berarti Zaid itu menjadi kecil dengan sifat yang saya berikan?[3] Tentu tidak, jika akal-pikiranmu sehat. Lebih buruk lagi jika Zaid itu tidak saya sifati, sehingga orang masih bimbang, apakah Zaid itu mulia, ataukah tidak.
Memang benar, jika kita “mengungkung” Allah hanya dengan sifat dua puluh, berarti kita telah membatasi Allah. Namun, kegunaan akidah yang lima puluh bukan seperti itu, melainkan untuk mengantarkan kita mengetahui Allah.
Baca Juga: Apa itu Toleransi?
Imam Sanusi berpandangan, “Kita wajib mengetahui sifat pasti, mustahil, jaiz kepada Allah dan para nabi-Nya, agar kita iman secara tahqîq.”[4] Hasyiyah ad-Dasûqy malahmenegaskan, bahwa iman kepada Allah adalah dengan mengetahui sifat-sifat-Nya.[5]
Alhasil, sifat-sifat Allah bukan untuk mengukur “setinggi” apa Allah itu, melainkan untuk mengukur sebatas apa kita sudah mengimani-Nya. Mengetahui sifat-sifat Allah, adalah syarat keimanan. Bagaimana mungkin, kita iman kepada Allah, kalau kita tidak meyakini sifat-Nya yang berupa Wujûd? Begitu pun tidak mungkin iman kepada Tuhan yang Maha Esa, jika tidak meyakini sifat Wahdâniyah?
Lantas, apa perbedaan kita, selaku orang Islam yang mengimani ada tuhan, dengan atheis jika kita tidak meyakini ada sifat Wujûd? Apa pula perbedaan kita, selaku orang Islam yang mengimani keesaan Tuhan, dengan agama-agama lain yang entah berapa tuhannya, jika kita tidak meyakini sifat Wahdâniyyah?
Baca Juga: Keserasian Sekularisme dengan Atheisme
Sungguh saya mengendus aura pluralisme pada esai Goenawan Mohamad yang satu ini, sehingga nanti berujung kepada membenarkan semua agama. Terbukti pada tengah tulisan itu tersurat sebagaimana berikut:
“Seakan-akan “Allah” bukanlah nama yang dipakai oleh orang Arab pada zaman pra-Islam, baik yang jahiliah maupun yang hanif, baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan-akan “Allah” semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di sebuah kerajaan beradat-istiadat tersendiri.”[6]
Setelah rumusan yang rancu itu, muncullah natîjah-natîjah yang rancu pula. Misalnya, Goenawan Mohamad mengutip pandangan Ibn ‘Arabi mengenai ketuhanan, yang mana sufi berasal dari Spanyol itu mengungkapkan dengan perkataan al-Haqq. Sesuai dengan terjemahan beliau: al-Haqq ialah sesuatu yang paling tak dapat kita tentukan dari semua yang tak dapat kita tentukan. Sehingga menurutnya, Allah itu ankârun-nakîrât, nakirah yang paling nakirah.[7]
Jadi teringat akan kisah Imam Sibawaih, yang mendapat keistimewan dari Allah, lantaran memberikan pandangan bahwa lafal jalalah merupakan ism ma’rifat, yang paling ma’rifat. Apakah Goenawan Mohamad meremehkan keistemewaan yang Allah berikan, sehingga berani menantang pendapat Imam Sibawaih itu?
Jika saya paparkan semua kerancuan, dalam satu artikel Goenawan Mohamad ini, ya, tak ada selesainya. Sebagaimana pepatah, “Jika masuk sampah, keluar tetap sampah”. Begitu pun, jika memakai rumusan sampah, kesimpulan pun juga sampah.
Muhammad ibnu Romli | Pemimpin Redaksi Annajahsidogiri.id
Referensi
[1] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7, VII/87; Pusat Data dan Analisa Tempo, Jakarta.
[2] ibid
[3] Syaikh Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasûqy, hlm. 87; Dârul-‘Âbidîn, Surabaya.
[4] Syaikh Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, Ummul-Barâhîn, hlm. 53; Dârul-‘Âbidîn, Surabaya.
[5] Syaikh Muhammad ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasûqy, hlm. 53; Dârul-‘Âbidîn, Surabaya.
[6] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7, VII/89; Pusat Data dan Analisa Tempo, Jakarta.
[7] Ibid, VII/88.