Mudah menuding seseorang dengan klaim yang tidak mendasar adalah fenomena yang tidak bisa kita pungkiri. Lebih-lebih di era informasi yang begitu cepat seperti saat ini. Terutama yang terjadi antar umat Islam. Dimana tudingan sesat hingga tudingan kafir terus meramaikan jagad maya seakan menjadi hal lumrah untuk ditoleransi. Bagaimana sebenarnya kita menyikapi hal ini. Berikut adalah hasil wawancara redaksi Buletin Tauiyah Rifqi Ja’far Shodiq kepada Habib Muhsin bin Ali bin Hamid Pimpinan Majelis Ta’lim wa Da’wah Raudhatul Muhibbin kota Malang.
Mudah melabeli stigma negatif menurut pandangan Habib?
Sekarang ini memang banyak sekali sesama umat Islam mudah melempar tuduhan. Ketika ada sesuatu yang tidak sepaham dengan dirinya langsung dinyatakan sesat. Bahkan lebih parahnya ada yang sampai mengatakannya kafir, musyrik dan sebagainya. Dalam satu Riwayat, Rasulullah menyebutkan: Sibabul Muslim fusuq, bahwa kecenderungan menjelek-jelekkan orang adalah suatu kefasikan.
Selama tidak ada bukti konkret yang dapat kita tunjukkan terkait kesalahan seseorang, maka jauhilah sikap saling tuduh-menuduh terutama kepada suadara sesama Islam. Sebab dalam persoalan ini yang menjadi tolok ukur adalah akidah dan syariat. Selama orang itu sesuai dalam dua hal tersebut maka tidak ada alasan bagi kita untuk mudah melabeli seseorang dengan pelabelan yang negatif.
Tidak boleh mudah mengklaim dalam persoalan khilafiah, bagaimana penjelasan mengenai hal ini?
Khilafiah yang dimaksud di situ adalah khilafiah tentang furuiyah, yakni masalah cabang-cabang dalam agama. Ibarat pohon, akidah itu seperti batang pohon yang cuma ada satu, sedangkan furuiyah ibarat ranting pohon yang bisa lebih dari satu.
Kalau dalam masalah furu’ maka kita boleh berbeda. Hal ini sebagaimana perbedaan yang terjadi pada para Imam Mazhab dalam persoalan fiqih.
Hal demikian ini tidak bisa terjadi dalam persoalan ushul atau akidah yang berkaitan erat dengan keimanan. Karena kalau ushulnya berbeda, maka ini jelas sudah beda pohon. Tidak bisa dikatakan satu kesatuan. Dapat kita contohkan dalam hal ini adalah Ahmadiyah yang mengatasnamakan Islam, tapi justru punya nabi sendiri bernama Mirza Gulam Ahmad. Tentu hal demikian ini tidak dapat dikatakan sebagai perbedaan yang ditolerir dalam Islam.
Tentu sudah jelas jika hal ini terjadi dalam tubuh umat, kita harus bersuara bahwa hal tersebut adalah kesesatan. Jadi intinya, asal munuduh itu tidak boleh, tapi jika memang jelas ada bukti yang kongkret baik dari ucapan atau tulisan bahwa orang itu menyimpang, maka kita harus berani mengatakan bahwa orang itu menyimpang.
Sikap kita ketika melihat penyimpangan dalam agama?
Hal yang perlu kita lakukan ketika melihat seseorang keluar dari ajaran yang benar adalah memberikan nasihat, yakni mengingatkan seseorang tentang penyimpangan dalam diri mereka. Dakwahilah mereka dengan tutur kata yang sopan dan tindakan yang baik. Tidak dengan cara yang frontal dan radikal. Katakan pada mereka hal ini salah, yang benar demikian atau kamu boleh mengajaknya berdiskusi. Hal inilah yang diajarkan oleh Nabi. Inilah rahmat, bukti kasih sayang kepada umat.
Di sinilah saya perlu mengingatkan tentang betapa pentingnya edukasi kepada masyarakat. Edukasi tentang akidah Islam yang benar. Sehingga dengan mengetahuinya mereka akan lebih berhati-hati terhadap fitnah-fitnah yang banyak muncul akhir-akhir ini. Oleh karena itu mari dari kita yang punya majelis, punya wawsan ilmu terus mengajarkan akidah Ahlusunah wal Jamaah kepada masyarakat.
Pesan Habib?
Tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari berbagai cobaan dan fitnah selain ilmu. Karena hal tersebut menjadi solusi bagi kita untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang batil. Maka teruslah cari ilmu di mana pun kita berada. Karena bagaimana pun juga ilmu adalah pondasi, tanpa ilmu amal menjadi sia-sia.
Rifqi Ja’far Shodiq | Annajahsidogiri.id
Comments 0