Menjawab Syubhat Hadis Jariyah
Perihal status riwayat hadis jariyah, menilik pada satu persatu sanad riwayat bisa dikatakan hampir semua jalur riwayat adalah sahih atau hasan. Hadis jariyah pun banyak tercantum dalam kitab hadis seperti Sahîh-Muslim, al-Muwattha’ dengan sanad yang ‘alî (sanad yang dekat dengan Rasulullah ﷺ) dan kitab-kitab lainnya. Para ulama seperti Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (hlm. 374) atau al-Hafiz Nuruddin al-Haitsami dalam Kitab Majmâ‘ az-Zawâ’id (23/1) memberikan status sahih pada hadis jariyah.[1]
Namun, sebagaimana penjelasan kami sebelumnya; Allah berada di atas (#2). Bahwa redaksi matan hadis jariyah berbeda-beda dan malah saling tubruk. Ada yang menggunakan lafaz “Dimana Allah?”, lafaz syahadat, dan lain-lain. Perbedaan seperti ini tenyata bisa membuat hadis yang bersangkutan berubah status menjadi hadis muđṭarib. Sedangkan hadis muđṭarib karena tidak đabiṭ-nya, rawi yang mendorong hadis menjadi daif (lemah), sebagaimana keterangan Dr. Mahmud at-Tahan dan al-Hafiz Ibnu Daqiq.
الْمُضْطَرِبُ وَهُوَ مَا رُوِيَ مِنْ وُجُوْهٍ مُخْتَلفَةٍ وَهُوَ أَحَدُ أَسْبَابِ التَّعْلِيْلِ عِنْدَهُمْ وَمُوْجِبَاتِ الضَّعْفِ لِلْحَدِيْثِ
“Hadis muđṭarib adalah hadis yang diriwayatkan dari jalur-jalur yang berbeda, muđṭarib adalah salah satu penyebab taʹlil (pencacatan) menurut ulama dan juga faktor status daif pada hadis[2].”
يَنْقَسِمُ الْمُضْطَرِبُ بِحَسبِ مَوَاقِعِ الِاضْطِرَابِ فِيهِ قِسْمَيْنِ مُضْطَرِبُ السَّنَدِ وَمُضْطَرِبُ الْمَتْنِ
“Meninjau faktor penyebabnya, hadis muđṭarib terbagi menjadi dua kategori yaitu muđṭarib pada rantai sanad dan muđṭarib pada redaksi teks hadis.[3]”
أَمَّا إِذَا تَرَجَّحَتْ اِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَلَى الْأُخْرَى أَوْ أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِشَكْلٍ مَقْبُولٍ فَإِنَّ صِفَةَ الْإِضْطِرَابِ تَزُولُ عَنْ الْحَدِيثِ وَنَعْمَلُ بِالرِّوَايَاتِ الرَّاجِحَةِ فِي حَالَةِ التَّرْجِيحِ أَوْ نَعْمَلُ بِجَمِيعِ الرِّوَايَةِ فِي حَالَةِ إِمْكَانِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا
“Adapun jika salah satu riwayat unggul dari yang lain atau memungkinkan untuk disatukan melalui praktek yang bisa diterima maka status muđṭarib bisa hilang dari hadis itu dan kita mengamalkan riwayat yang lebih unggul jika dalam konteks melalui proses pen-tarjih-an, atau semua riwayat bisa diamalkan jika kedua riwayat bisa disatukan.[4]”
Adapun dalam kajian kita sebelumnya, telah disebutkan bahwa redaksi hadis jariyah yang berbeda-beda sudah bisa dianggap memenuhi kategori hadis muđṭarib yang menjadi faktor kedaifan. Sedangkan, hadis muđṭarib untuk bisa diamalkan harus ada pendorong (tarjîhatul-muʹtamadah) lain yang bisa mengunggulkan salah satu riwayat hadis, sebagaimana keterangan Dr. Mahmud at-Tahan di atas.
Dalam hal ini akan kami paparkan beberapa tarjih yang bisa membuat salah satu riwayat hadis jariyah bisa diamalkan.
عَنِ الشَّرِيدِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ عَلَى أُمِّي رَقَبَةً وَإِنَّ عِنْدِي جَارِيَةً سَوْدَاءَ نُوبِيَّةً أَفَتُجْزِئُ عَنْهَا قَالَ ادْعُ بِهَا فَقَالَ أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dari ash-Sharid, dia berkata: ‘Saya mendatangi Nabi ﷺ, dan aku berkata: ‘Ibuku mempunyai tanggungan membebaskan budak, sedangkan aku mempunyai seorang budak perempuan Nubia yang berkulit hitam. Apakah ia cukup?” Nabi bersabda, “Panggillah dia! Lalu beliau bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Beliau menjawab, “Bebaskan dia! Karena dia adalah seorang yang beriman.”
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً وَعِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ أَعْجَمِيَّةٌ فَقَالَ ائْتِنِي بِهَا فَقَالَ أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدِينَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ قَالَتْ نَعَمْ قال فَأَعْتِقْهَا
“Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ‘Saya memiliki tanggungan budak dan saya memiliki budak ajam berkulit hitam.’ Nabi bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku!’ Nabi bersabda, ‘Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Dia berkata, ‘ya.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah Utusan Allah?’ Dia berkata, ‘ya’. Nabi berkata: ‘bebaskan dia’.”
عَنِ الشَّرِيدِ أَنَّ أُمَّهُ أَوْصَتْ أَنْ يُعْتِقَ عَنْهَا رَقَبَةً مُؤْمِنَةً فَسَأَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ عِنْدِي جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ أَوْ نُوبِيَّةٌ فَأَعْتَقَهَا فَقَالَ ائْتِ بِهَا فَدَعَوْتُهَا فَجَاءَتْ فَقَالَ لَهَا مِنْ رَبِّكَ قَالَتْ اللَّهُ قَالَ مَنْ أَنَا فَقَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dari Syarid bahwa ibunya berwasiat membebaskan budak wanita mukmin untuk si ibu, lalu ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Ia berkata: ‘Aku memiliki budak wanita yang berkulit hitam atau nubiyah, apa aku bebaskan dia?’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Datangkan dia!’ Lalu aku memanggilnya, ia pun datang. Nabi menanyainya, “Siapa tuhanmu?’ Ia menjawab, ‘Allah.’ Beliau menanyainya lagi, ‘Siapakah aku?’ Ia menjawab, ‘Anda adalah utusan Allah’ Nabi bersabda, ‘Bebaskan dia, dia seorang mukmin’.”
Dari hadis-hadis diatas bisa kita dapati, bahwa hadis dengan redaksi أَتَشْهَدِينَ sudah bisa terkeluarkan dari kategori muđṭarib sesuai argumentasi di muka, disebabkan banyak nya pendorong dari hadis kasus lain yang searti dengan redaksi أَتَشْهَدِينَ. Adapun hadis jariyah dengan redaksi أين الله adalah daif karena masih berstatus muđtarib sedangkan hadis daif tidak bisa diamalkan dalam ranah iʹtiqad (keyakinan) seperti halnya kajian keberadaan Allah.
Menurut Dr. Umar Abdullah Kamil, riwayat yang diredaksikan dengan lafaz أَتَشْهَدِينَ adalah riwayat yang lebih unggul dari redaksiأين الله, sebab alasan bahwa kesaksian untuk berlakunya hukum Islam pada seseorang adalah dengan pelafazan syahadat atau pengakuan bahwa tuhan yang ia sembah adalah Allah, bukan tentang keberadaan Allah. Di sisi lain, kita juga harus mengamalkan riwayat yang unggul jika dalil berstatus muđṭarib[5].
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id
[1] Dr. Umar Abdillah Kamil, Al-Inshâf fî mâ Utsîra haulahul-Khilâf (hlm. 343)
[2] Al-Hafiz Ibnu Daqiq, al-Iqtirah fî Bayânil-Isthilâh, (hlm. 22)
[3] Dr. Mahmud at-Tahan, Taysir Muṣţalahul-Hadîs, (hlm. 113)
[4] ibid, (hlm. 112-113)
[5] DR. Umar Abdillah Kamil, Al-Insaf fima Utsira haulahu al-Khilaf, hlm. 347. Cetakan. Al-Wabil as-ṣayib. 2010