Akhir-akhir ini, Kaum milenial sedang mengalami problem serius yang sulit untuk diatasi. Mereka sedang krisis pengetahuan tentang pentingnya memilah dan memilih tokoh yang harus mereka ikuti dan yang tidak boleh mereka ikuti. Mereka mengikuti seorang tokoh dengan buta tanpa melihat apa yang diucapkan. Artinya, mereka tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh tokoh yang ia ikuti. Sehingga, semua pekerjaan atau perkataan yang dilakukan oleh tokoh tersebut dapat diterima secara langsung tanpa melalui penyaringan terlebih dahulu apakah hal itu sesuai dengan akal dan syariat atau justru bertolak belakang dengan keduanya.
Kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri, mengingat banyaknya catatan-catatan sejarah yang membahas tentang mirisnya orang-orang terdahulu bahkan sampai saat ini, yang telah terjerumus ke jurang kesesatan akibat mengikuti tokoh yang salah. Salah satu contohnya adalah, fenomena belakangan ini yang masih hangat untuk diperbincangkan yaitu munculnya seseorang yang bernama mama Ghufron al-Bantani; salah satu tokoh dari Banten yang mengaku keturunan syekh Nawawi al-Bantani.
Dia muncul di permukaan dengan berbagai ucapan kontroversinya. Seperti, dia memiliki paham pluralisme, memahami bahasa semut dan bahasa Suryani, bertemu malaikat Jibril, Rasulullah bahkan bertemu Allah. Namun, kendati demikian, ternyata banyak masyarakat yang membenarkan dan setuju dengan semua asumsi ngawur itu. Padahal, jika kita teliti dengan akal sehat maka semua persepsi tadi tidak lain hanya asumsi mentah yang tidak perlu dibantah. Apalagi asumsinya mengenai pluralisme. Tentu, hal itu ia ucapkan karena salah paham terhadap ayat-ayat yang seakan-akan membenarkan semua agama, seperti ayat berikut:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [02]: 62)
Baca Juga: Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Secara lahir, ayat tadi memang menjelaskan bahwa orang-orang Nasrani, Yahudi dan semacamnya mendapatkan pahala disisi Allah. Namun, ketika diteliti lebih dalam lagi dengan merujuk pada tafsir ulama seperti Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, akan jelas kepada kita bahwa sebenarnya ayat itu tertuju kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi dahulu yang masih belum saling mengufuri satu sama lain. Sedangkan pada zaman sekarang sudah tampak bahwa masing-masing dari mereka mengingkari nabi-nabi setelahnya. Hal itulah yang membikin mereka termasuk orang-orang yang kufur, sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا۟ بَيْنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا۟ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),” (QS. An-Nisa [04]: 150)
Nah, selanjutnya, yang perlu kita bahas adalah apa sebenarnya hal-hal yang memicu adanya taklid buta seperti ini, sehingga membuat segelintir orang terpleset ke jurang kesesatan disebabkan mengikuti tokoh yang salah? Maka, tentu hal paling utama yang mendasarinya adalah kebodohan yang menyelimutinya.
Pengetahuan adalah hal penentu yang bisa membuat orang menjadi lebih baik dan lebih bertakwa. Dengan ilmu, seseorang akan memperoleh derajat yang tinggi. Penjelasan ini disampaikan oleh ulama ketika menafsiri ayat berikut:
وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
“Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11)
Maka sebaliknya, kebodohan akan membuat seseorang hina dengan sendirinya. Dalam hal ini, Imam as-Syafi’i menganggap bahwa orang bodoh ketika hidup sudah dianggap sebagai orang yang mati. Dari sini, maka sudah jelas bahwa ilmu adalah suatu jalan yang bisa mengantarkan seseorang menuju kebenaran. Tanpa ilmu, berarti dia tidak memiliki jalan yang benar sehingga akan sesat dan menyesatkan.
Wal-hasil, tentu adanya fenomena taklid buta terhadap tokoh yang diikuti muncul karena kebodohan tentang agama Islam. Sebab, seandainya mereka tahu terhadap kebenaran, maka dia secara pasti tidak mungkin mengikuti idolanya ketika yang disampaikan adalah kekeliruan.