Lontaran kata bidah bukan lagi suatu hal yang tabu ketika didengar saat ini. Bahkan pada kasus lain, kata syirik pun dilontarkan tanpa ragu-ragu. Tuduhan-tuduhan ini mereka lontarkan pada kaum muslimin yang melakukan bidah. Berlandaskan pada hadis Rasulullah ﷺ yang berbunyi:
وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، فكل محدثة بدعة، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Seburuk-buruknya suatu hal adalah hal-hal yang baru ditemukan, maka setiap hal yang baru ditemukan adalah sebuah bidah, setiap bidah adalah sebuah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk Neraka.”
Jika kita memahami kata bidah dari definisinya secara langsung, lalu mengambil hukum dari hadis di atas, maka dapat kita lihat betapa banyak hal bidah di sekitar kita. Mau tidak mau, kita pun harus menjauhinya mengingat bahwa bidah (hal baru) merupakan kesesatan.
Tanggapan
Menyangkut hal ini, kita memerlukan solusi yang dapat menengahi problematika bidah. Solusi ini adalah dengan mengklasifikasi bidah menjadi bidah hasanah (baik dan boleh dikerjakan) dan bidah sayyiah (buruk dan harus ditinggalkan).
Harus kita pahami bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah ﷻ yang membawa syariat Islam. Untuk memahami hadis Nabi, kita membutuhkan tolak ukur sebagai landasan paten, yaitu dengan metode ulama, agar tidak luput dalam mencerna dalil syariat, khususnya Quran dan hadis. Dengan demikian, kita bisa memahami secara benar arti bidah dalam hadis diatas. Rasulullah bersabda:
” مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ” [1]
Sayyid Muhammad bin ´Alawi al-Mâliki dalam kitabnya Manhaj as-Salaf fi Fahmi an-Nushûsh menjelaskan hadis ini, menggunakan keterangan al-Imam an-Nawawi dan Ibnu Abdil Bar yang membagi hukum bidah menjadi lima; wajib, sunah, haram, makruh dan mubah[2]. Beliau menambahkan:
“وَ أَمَّا قَوْلُ عُمَرَ ’ نِعْمَةُ الْبِدْعَةِ ’, فَالْبِدْعَةُ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ إِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَ إِبْتِدَاؤُهُ. فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّينِ خِلَافًا لِلسُّنَّةِ الَّتِي مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ, فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لَا خَيْرَ فِيهَا وَ وَاجِبٌ ذَمُّهَا وَ النَّهْيُ عَنْهَا وَ الْأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَ هِجْرَانِ مُبْتَدِعِهَا إذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوءُ مَذْهَبِهِ. وَ مَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لَا تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيعَةِ وَ السُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَةُ الْبِدْعَةِ, كَمَا قَالَ عُمَرُ, لِأَنَّ أَصْلَ مَا فَعَلَهُ سُنَّةٌ”
“Adapun perkataan sayyidina umar ‘sebaik-baiknya bidah’, maka bidah dalam bahasa arab berarti membuat-buat serta memulai sesuatu yang belum pernah ada. Lalu apabila hal sedemikian terjadi dalam agama serta menyalahi terhadap sunah/ketetapan yang sudah ada, maka itulah bidah yang jelek, teramat hina dan pelakunya harus dijauhi apabila madzhabnya nampak jelek. Sedangkan bidah yang tidak menyalahi terhadap syariah dan sunah, maka itulah sebaik-baiknya bidah seperti yang dikatakan oleh sayidina umar, karena hukum asal dari apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar (jamaah salat terawih) adalah sunah”[3].
baca juga: Syekh Abdul Hâmid bin Muhammad Alî Quds
Bidah dalam bahasa Arab berarti membuat dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Jika hal sedemikian terjadi dalam agama islam, akan tetapi menyalahi sunah dan syariat yang telah ada, maka hal tersebut dipastikan adalah bidah yang buruk dan wajib menjauhinya. jika tidak bertentangan dengan sunah dan syariat, maka itulah bidah baik yang boleh dikerjakan. Sebagaimana komentar Sayidina Umar pada saat menganjurkan berjamaah ketika shalat teraweh: “نعمة البدعة هذه” (ini adalah sebaik-baiknya bidah).
Kesimpulan
Sejauh ini, kita memang tidak dapat memvonis segala hal yang berbau bidah menjadi hal yang haram untuk dilakukan bagi umat muslim, sehingga mengklasifikasi bidah hasanah dan sayyiah merupakan cara terbaik untuk menyikapi problematika sedemikian. Pengklasifikasian bidah ini pun hanya untuk pemahaman bidah secara etimologi. Sedangkan pemahaman bidah dalam arti syariat, maka adalah sesat. Klasifikasi ini menjadi solusi bagi kita sebagai umat muslim agar dapat melaksanakan ibadah dengan baik setiap hari.
Lubbil Labib | Annajahsidogiri.id
[1] HR. bukhori, juz 2 Cet. DKI, bab shuluh, hal.76
[2] Sayyid muhammad bin alawi al-Maliki, manhaj as-Salaf fi fahmi an-Nusus, hal. 128
[3] Sayyid muhammad bin alawi al-Maliki, manhaj as-Salaf fi fahmi an-Nusus, hal. 128