
Kota Mekah merupakan salah satu kota yang istimewa, hal itu dibuktikan dengan kelahiran sosok termulia di kota tersebut, yaitu pemimpin umat manusia dan kekasih Allah yang yang maha kuasa, baginda Nabi Muhammad ﷺ. Di tempat itu pula banyak para ulama besar yang dilahirkan, seperti Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayyid Muhammad Amin Kutbi, dan banyak lagi ulama besar yang menjadi pembela Ahlussunnah wal Jamaah di kota mulia tersebut. Namun, yang perlu kita ketahui, di antara mereka ada salah satu yang paling tegas dan berani dalam membela dan menyebarkan aqidah umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu as-Sayyid as-Syarif al-Habib Muhammad bin Alawi Bin Abbas al-Maliki al-Idrisi al-Hasani al-Makki. Maka dari itu, dengan tulisan ini kami ingin menceritakan bagaimana jejak langkah beliau, mulai dari masa kelahiran beliau, pendidikan beliau, dan ketegasan serta keberanian beliau dalam membela al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat, Red.) Ahlussunnah wal Jamaah. kami membagi pembahasan kali ini menjadi 3 Bagian, bagian pertama mengulas tentang kelahiran beliau, masa pertumbuhan beliau, dan nasab beliau yang mulia yang terus bersambung kepada Rasulullah ﷺ, bagian kedua kami lampirkan beberapa guru beliau, bagian ketiga kami uraikan beberapa karangan beliau dalam menolak kelompok di luar Ahlussunnah, seperti Wahabi, dan lainnya. Adapun bagian keempat kami akhiri tulisan ini dengan wafatnya sang mutiara Ahlussunnah, As-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani al-Makki.
Baca juga: Saad al-Din at-Taftazani
Kelahiran, Pertumbuhan dan Nasab beliau
Adapun nasab beliau, sebagaimana yang termaktub dalam kitab At-Thậli’us-Saîd Al-Muntakhab Minal Musalsalật Wal Asậnîd sebuah kitab yang dikarang dan di takhrîj oleh beliau sendiri, beliau merupakan keturunan Rasulullah yang ke 30, beliau as-Sayyid as-Syarif al-Habib Muhammad bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz Bin Abbas bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Qasim bin Ali bin Arabi bin Ibrahim bin Umar bin Abdur Rahim bin Abdul Aziz bin Harun bin Alwisy bin Mindil bin Ali bin Abdur Rahman bin Isa bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Idris al-Azhar bin Idris al-Akbar bin Abdullah al-Mahd al-Kamil bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibth bin Ali bin Abi Thalib suami dari sayyidah Fathimah az-Zahra’ binti Rasulullah ﷺ.[1]
Beliau lahir di kota Mekah pada tahun 1347 H (sekitar tahun 1947 M.), hidup dalam lingkungan keluarga ahli ilmu. Ayah beliau adalah seorang tokoh besar di kota Mekah, sekaligus seorang alim ulama yang disegani di kota tersebut.[2] Ayah beliau yang bernama sayyid Alawi al-Maliki ini juga di kenal dengan sosok yang paling semangat dalam mengajar dan menyebarkan ilmu agama, hal itu dikarenakan pada suatu waktu beliau pernah mengatakan:
“Kegemaranku adalah mengajar, apabila malaikat maut hendak mencabut nyawaku ketika sedang mengajar, maka aku akan berkata ‘Tunggu dulu sampai aku selesai mengajar’.”[3]
Semenjak kecil beliau sudah mendapat didikan langsung dari sang ayah. Hal inilah yang membuat beliau berbeda dengan teman sebayanya, karena sekalipun beliau masih kecil, beliau sudah dikaruniai pikiran yang cerdas dan pintar berkat didikan sang ayah tercinta, beliau juga punya sifat tawadhu’ dan sopan santun yang tinggi sebagaimana yang telah diajarkan oleh ayah beliau dan diamalkan oleh kakek-kakek beliau yang mulia. Selain itu beliau juga punya sifat belas kasihan dan hati yang lembut serta semangat dan cita-cita yang tinggi. Semenjak kecil beliau juga senang berdiskusi tentang ilmu agama disertai dengan ketekunan beliau dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu syariat.[4]
Baca Juga: Al-Imam Al-Ghazali – AnnajahSidogiri.id
Guru-Guru Beliau
Beliau belajar pada beberapa guru besar dizamannya. Diantaranya adalah ayah beliau sendiri as-sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh Muhammad Yahya Bin Syaikh Amman, Syaikh Muhammad al-‘Arobi bin at-Tabanni, Syaikh Hasan bin Sa’id al-Yamani, Syaikh Muhammad al-Hafizh at-Tijani al-Mishri, guru besar fan Hadits di Mesir, Syaikh Muhammad abul-‘Uyun, guru besar dan tokoh thoriqah al-Khalwatiyah, dan Syaikh Hasan bin Muhammad al-Masysyath. Adapun guru beliau dari sadah ba Ᾱlawi diantaranya adalah al-Imam al-Barakah al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, al-Imam al Barakah al-Mu’ammir al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang Jakarta, al-Imam al-Barakah al-Habib Ali bin Husein al-Attas, Bungur Jakarta, al-Habib al-Faqih Hamid bin Muhammad bin Salim as-Sarri, al-Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul jember, al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh bin syaikh Abu Bakar bin Salim, al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Segaf, al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, dan lain-lainnya.[5] Semoga Allah melimpahkan keberkahan mereka semua pada diri kita, amin.
Bagian ketiga
Salah satu kitab akidah yang dikarang oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki adalah kitab Mafāhīm Yajibu an-Tushahhah. Kitab ini merupakan salah satu dari beberapa karya beliau yang paling terkenal, karena isi kitab itu memuat tentang hukum amalan umat Islam Ahlussunnah wal jamaah, seperti tawassul, tabarruk, maulid nabi, dan ziarah kubur yang oleh kelompok Wahabi arti dari semua itu diselewengkan, bahkan mereka mengklaim semua amalan itu sebagai amalan bid’ah, sesat, hingga syirik. Maka dari itu, kitab tersebut diberi nama Mafāhīm Yajibu an-Tushahhah (Pemahaman yang harus di luruskan) karena untuk meluruskan pemamahan kelompok Wahabi mengenai hakikat dari semua amalan itu sendiri.[6]
Pada masa kekuasaan Arab Saudi berada di bawah pemerintahan Wahabi, maka sudah menjadi kebiasaan mereka menuduh semua amalan umat Islam Ahlussunnah, seperti tawassul, tabarruk, maulid nabi, dan ziarah kubur, itu dianggap amalan bid’ah, sampai akhirnya Kementrian agama Arab Saudi di waktu itu mengucilkan sayyid Muhammad bin alawi al-Maliki, dan menuduhnya sebagai “orang sesat”, karena beliau selalu berada di garda terdepan dalam membela semua amalan itu. Selain itu, beliau dilarang mengajar di masjidil haram, bahkan jabatan beliau sebagai profesor di universitas Ummul Qura king Abdul Aziz waktu itu dihentikan, ditahan, dan paspornya beliau di ambil. Namun, Sayyid Muhammad al-Maliki menghadapi semua itu tanpa ada sedikitpun keluhan, dan beliau menghadapi itu semua tanpa sedikitpun melampiaskan rasa marah dihadapan mereka, tapi sebaliknya beliau menghadapi semua itu dengan kepala dingin dan dengan hujjah yang membenarkan pendapat beliau disertai dalil-dalil qath’i (pasti) dan rasional.[7]
Perselisihan antara sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dengan kelompok Wahabi telah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an. Dengan dukungan dari Arab Saudi, dikatakan bahwa sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dituduh menyebarkan ajaran sesat dan takhayyul, beliau kemudian dikucilkan hingga pernah mengungsi ke madinah selama bulan Ramadhan, setelah itu masalahnya semakin buruk, tetapi dapat menemukan jalan tengah dan moderat dengan cara diadakannya dialog bersama tokoh Wahabi.
Dialog tersebut telah mendapat rekomendasi dari syaikh Abdul Aziz bin Baz yang menjabat sebagai mufti kerajaan Arab Saudi. Syekih Sulaiman al-Mani’, seorang ulama yang pernah menjadi hakim agung di Arab Saudi menerbitkan dialognya itu dalam bentuk buku yang diberi judul Hiwâr Ma’al Mâliki Li raddi Munkarâtihi wa Dhalâlatihi (Dialog dengan Maliki untuk menolak kemunkaran dan kesesatannya). Syaikh Shalih bin Abdul Aziz as-Syaikh kemudian juga menerbitkan buku yang berjudul Hâdzihî Mafâhimuna (Inilah pemahaman kami) yang menghantam pemikiran beliau.
Baca Juga: Ar-Raudlah al-Bahiyyah fîmâ baina al-Asya‘irah wa al-Mâturîdiyyah – AnnajahSidogiri.id
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki tak tinggal diam, beliau dengan segera menulis sebuah kitab yang istimewa untuk menghantam dan meruntuhkan pemikiran Wahabi terkait semua amalan umat Islam Ahlussunnah, seperti tawassul, tabarruk, maulid nabi, dan ziarah kubur, yang selama ini di klaim sebagai amalan sesat, bid’ah, bahkan syirik oleh Wahabi. Kitab inilah yang kita kenal selama ini dengan judul Mafāhīm Yajibu an-Tushahhah (Pemahaman yang harus diluruskan). Kitab ini juga dijadikan sebagai buku andalan untuk mempertahankan pluralitas di Tanah suci Mekah.[8]
Wal-hasil, setelah terlaksananya dialog antara Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dengan tokoh wahabi itu, beliau dinyatakan menang dalam dialog itu. Berita tentang kemenangan beliau tersebar luas dengan cepat melalui televisi lokal ulama Wahabi dan mendapat dukungan yang semakin meningkat. Bahkan, keluarga kerajaan Arab Saudi dikatakan diam-diam mendukung Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, tetapi mereka takut mayoritas Wahabi akan mengetahuinya.[9] Kitab Mafāhīm Yajibu an-Tushahhah yang dikarang oleh beliau sendiri ini juga mendapatkan sambutan yang baik dari beberapa ulama beberapa negara, mulai dari ulama’ Yaman, Maroko, Mesir, Pakistan, Yordania, Sudan, dan lainnya. Hal itu tidak lain dikarenakan kecerdasan beliau dan keberanian beliau dalam menolak beberapa pemikiran Wahabi melalui kitab tersebut.
Asror I Annajahsidogiri.id
[1] As-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani At-Thậli’us-Saîd Al-Muntakhab Minal Musalsalật Wal Asậnîd. Hlm. 3.
[2] As-Syyid Al-habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus Ghậyatul Amậnî Fî Ba’dhi Manậqib as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-hasani. Hlm. 1.
[3] Tim Majelis Khair Publisher, Muhaddits Ahlusssunnah yang didengki Wahabi, kisah hidup as-Sayyid Muhammad al-Maliki, hlm 1.
[4] As-Sayyid Al-habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, Ghậyatul Amậnî Fî Ba’dhi Manậqib as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-hasani. hlm 2-5.
[5] as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, At-Thậli’us-Saîd Al-Muntakhab Minal Musalsalật Wal Asậnîd, hlm 7.
[6] Sayyidah Aisyah, Kisah Hidup as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Muhaddits Ahlussunnah yang didengki Wahabi, hlm. 57.
[7] Ibid, hlm. 39.
[8] Habib Muhsin bin Ali Hamid Ba Alawi, Mutiara Ahlu bait dari Tanah Haram, hlm. 84-85.
[9] Sayyidah Aisyah, Kisah Hidup as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Muhaddits Ahlussunnah yang didengki Wahabi, hlm 71.