Antara Relevansi dan Kontroversi
Dalam satu diskursus keilmuan Islam, Al-Quran adalah kalamullah yang qadim sudah bisa dikatakan final. Hal ini adalah kebenaran mutlak yang harus diakui oleh pihak manapun, sebab pernyataan ini telah dibuktikan oleh beberapa dalil yang mustahil untuk dipatahkan. Ketika kita telah mengetahui bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang qodim, tentu kita juga meyakini bahwa Al-Quran tidak berubah sampai kapanpun dan tidak akan ada yang mampu mengubahnya.
Namun, di sisi lain ulama ushul menampilkan pemaparan bahwa salah satu metode yang perlu dipelajari untuk menggali hukum dalam Al-Quran adalah naskh dan mansukh, yang jika kita lihat secara gamblang justru mengindikasikan bahwa Al-Quran bisa berubah-rubah. Jika demikian, maka Al-Quran tidak ada bedanya dengan Bible yang dengan mudah diotak-atik oleh pendeta mereka.
Lantas benarkah naskh dan mansukh merusak keontetikan al-Quran sebagai pijakan hukum yang bersifat qadim atau justru memperkuatnya?
Maka yang perlu kita pertajam adalah pemahaman kita tentang naskh dan mansukh itu sendiri karena ketika kita jeli dalam memahami esensi dari naskh dan mansukh, kita tidak akan pernah bertanya tentang hal di atas tadi.
Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Ghayatul-Ushûl nya (hal. 91), berkata:
وَ النَسْخُ رَفْعُ تَعَلُّقِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِدَلِيلٍ شَرْعِيٍّ
“Naskh adalah hilangnya keterikatan hukum syariat dengan pekerjaan orang mukallaf disebabkan ada dalil”
Baca Juga; HUJJATU AHLUSUNNAH WAL JAMAAH; DALIL PENGUAT AMALIAH ASWAJA
Dari takrif yang dipaparkan oleh Syekh Zakariya al-Anshari ini, kita dapat mengetahui sebenarnya bahwa yang dirubah dan yang hilang dalam metodologi naskh hanyalah keterikatnnya dengan pekerjaan orang mukallaf. Sehingga, naskh tidak bisa dijadikan bahan tuduhan untuk mengatakan bahwa Al-Quran tidak otentik, sebab naskh tidak merubah al-Quran satu huruf pun.
Naskh hanya merubah status keterikatan Al-Quran dengan pekerjaan orang mukallaf dari aktif menjadi non aktif atau sebaliknya. Sebagai perumpamaan, kalamullah (al-Quran) hanya terikat kepada orang yang berakal dan jika akal itu hilang keterkaitannya juga akan hilang. Apakah dengan itu al-Quran dikatakan tidak otentik dan tidak konsisten? tentu tidak, karena penyebab hilangnya keterkaitan hukum al-Quran dengan orang tersebut adalah orang itu sendiri, ia tidak mampu untuk merealisasikan hukum al-Quran dengan status gilanya[1].
Lantas, apakah demikian mengindikasikan bahwa Allah ﷻ sebagai Tuhan semesta alam bukanlah Dzat Yang Maha Mengetahui, mengingat Ia mengubah kehendaknya?
Baca Juga; Allah Bersumpah kepada Makhluknya
Tentu pernyataan ini salah total. Karena dalam konsep naskh, Allah ﷻ sama sekali tidak mengubah kehendaknya. Karena sebenarnya memang ada beberapa hukum Allah ﷻ yang keterkaitannya dibatasi oleh waktu dan tidak bersifat selamanya. Ada juga yang memang bersifat selamanya. Sedangkan naskh, dalam hal ini, adalah bentuk pembatasan waktu tersebut terhadap hukum-hukum yang keterkaitnnya bersifat sementara[2].
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwasannya konsep naskh dan mansukh tidaklah merusak keontetikan Al-Quran. Justru naskh sendiri memperkuat bahwa Al-Quran adalah dalil syariat yang agung. Konsep naskh dan mansukh lebih tepat dikatakan sebagai perangkat untuk memilah, mana hukum yang masih relevan dengan orang mukallaf dan mana yang sudah tidak relevan. Semua ini hanya diketahui oleh Allah dan semua ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan keontetikan Al-Quran.
Ahmadul Jawwad | Annajahsidogiri.id
[1] Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Mustasfâ, hlm. 145
[2] Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Mustasfâ, hlm. 146