Salah satu perbedaan mendasar antara Syiah dan Ahlussunnah adalah kebiasaan mereka mencaci dan melaknat Sahabat Rasulullah. Bahkan tidak jarang mereka mengkafirkan generasi terbaik umat Islam ini. Dalam tulisan sebelumnya disebutkan bahwa ajaran melaknat dan takfîrush-shahâbah ini merupakan ajaran resmi Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah yang berkembang di Indonesia.
Beberapa ketegangan yang melibatkan Syiah dan Ahlussunnah juga lebih banyak dipicu oleh kegemaran Syiah dalam mencaci para sahabat Nabi, khususnya Sayidina Abu Bakar, Umar, Utsman, dan istri Nabi: Aisyah dan Hafshah. Perbuatan inilah yang menjadi salah satu akar masalah sumber konflik antara kedua belah pihak.
Sebab menghina dan mengkafirkan sahabat, dalam pandangan Ahlussunnah, sama saja dengan menafikan kebenaran ajaran Islam, karena dari merekalah generasi muslim berikutnya mengetahui dan memahami ajaran Rasulullah. Sedangkan laknat dan penghinaan terhadap Aisyah dan Hafshah lebih parah dari pada penghinaan dan pelecehan terhadap ibu kandung sendiri, karena mereka adalah istri Rasulullah yang didaulat oleh al-Quran sebagai ummahâtul-mu’minîn.
Lebih dari itu, sebagai konsekwensi dari ajaran tersebut, Syiah menolak hadis yang diriwayatkan oleh para Khalifah selain Ali; Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dengan alasan ketiganya telah merampas hak Ali sebagai khalifah. Mereka juga menolak hadis dari mayoritas sahabat karena dianggap telah berbuat zhalim dan fasik karena telah membaiat ketiganya. Mereka tidak percaya dengan kitab hadis Shahih Bukhori ataupun Shahih Muslim. Syiah hanya menerima hadis-hadis yang direka-reka oleh mereka sebagai riwayat dari Ahlul Bait.
Sementara Sunni sebagai kaum mayoritas menjalankan ritual ibadah berdasar kitab-kitab fikih empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) yang kesemuanya merujuk ke kedua kitab Hadis Shahih tersebut. Tentu saja pengkafiran mereka terhadap para sahabat Nabi menjadi salah satu akar konflik dan ketegangan yang akhir-akhir ini makin sering terjadi di antara Ahlussunnah dan Syiah.
Dalam pandangan ulama empat madzhab, tindakan mencaci apalagi mengkafirkan sahabat sangat tercela dan dikecam. Bahkan jika cacian itu menjurus kepada pengkafiran terhadap sahabat sebagian sebagian ulama mengkategorikannya sebagai tindakan yang dapat merusak iman dan menyebabkan pelakunya murtad dan keluar dari Islam.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan yang di antaranya adalah: (1) mereka mengkafirkan orang-orang yang meriwayatkan al-Quran dan hadis kepada generasi berikutnya. Dengan demikian mereka telah membuat keraguan terhadap kebenaran al-Quran dan Hadis; (2) mengkafirkan sahabat berarti mendustakan al-Quran, karena nash al-Quran dengan sharîh menjelaskan bahwa Allah Swt memuji dan meridhai mereka. Keutamaan sahabat ini termasuk sesuatu yang qath’i dan ma’lûm min ad-dîn bi dh-dharûrah. Mengingkari hal yang qath’i dapat menyebabkan kafir; dan (3) mengkafirkan sahabat sama saja dengan menyakiti Rasulullah Saw, karena mereka adalah sahabat yang dicintai oleh beliau Saw.
Berikut ini adalah pendangan dan komentar ulama Ahlussunnah tentang kebiasaan buruk Syiah tersebut:
Imam Ibnu Hajar al-Haitami, seorang tokoh besar ulama madzhab Syafi’I, berkata,
“Perbedaan ulama (mengenai kafir dan tidaknya pencaci sahabat) hanya berlaku pada mencaci sebagian sahabat. Sedangkan mencaci seluruh sahabat tidak ada keraguan bahwa itu adalah perbuatan kufur.” (ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal. 379)
Dalam kitab yang sama, hal. 317, Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga mengutip tafsirnya Imam Ibnu Katsir terhadap QS. Al-Fath: 29. Ketika menyinggung ayat tersebut Imam Ibnu Katsir berkata, “Imam Malik ra mengambil kesimpulan dari ayat ini bahwa orang yang membenci sahabat dihukumi kafir. Pendapat ini disepakati oleh Imam Syafi’i dan ulama yang lain.” (Lihat juga: Tafsir Ibnu Katsir, IV/204).
Begitu pula Imam Abu Abdillah al-Kharasyi al-Maliki berkata dalam kitabnya al-Kharasyi alâ Mukhtashar al-Khalil, VIII/74, “Barangsiapa menuduh Aisyah dengan tuduhan yang mana beliau sudah dibebaskan oleh Allah darinya, mengingkari kesahabatannya Abu Bakar, mengingkari islamnya sepuluh sahabat (yang dijamin surga oleh Rasulullah), mengingkari islamnya seluruh sahabat, atau mengkafirkan khalifah yang empat atau salah seorang dari mereka, maka dia telah kafir.”
Bahkan Imam Malik menetapkan hukuman keras kepada pelaku caci maki terhadap sahabat. Dalam kitab ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal. 384, disebutkan bahwa Hisyam bin Ammar mendengar Imam Malik berkata,
“Siapa saja yang mencaci Abu Bakar dan Umar, maka harus di(hukum) bunuh. Dan siapa saja yang mencaci Aisyah, maka (juga) harus dibunuh, karena Allah Swt berfirman tentang beliau: {Allah memberi mauizhah kepada kalian untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama (menuduh keji Aisyah) selamanya jika kalian memang orang-orang yang beriman}. Maka siapa saja yang melakukan tuduhan keji terhadap Aisyah, berarti dia telah menyelisihi al-Quran, sedangkan orang yang menyelisihi al-Quran harus dibunuh.”
Qadhi Iyadh juga meriwayatkan atsar dari Sahnun, santrinya Imam Malik asal Qayrawan Maroko, ulama besar Afrika, beliau berkata,
“Siapa saja yang berkata bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali telah sesat dan kafir maka dia harus dibunuh. Dan siapa saja yang mencaci sahabat yang lain dengan kata-kata seperti itu berarti dia harus dihukum dengan keras.”
Sedangkan dalam kitabnya ulama madzhab Hanafi, al-Fatawi al-Hindiyah, II/285, disebutkan bahwa jika seorang Syiah Rafidhah mencaci maki dan melaknat Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) maka dia kafir, demikian pula wajib memvonis kafir mereka jika mengkafirkan Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, dan Aisyah.
Di kalangan Ashhâbusy-Syafi’i, tidak ada pembahasan secara khusus berkenaan dengan hukumnya mengkafirkan Abu Bakar dan sahabat yang lain yang mendapatkan garansi surga dari Rasulullah, tapi menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami hukumnya jelas kafir.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga memberikan rumusan masalah bahwa mencaci Abu Bakar hukum kafir menurut madzhab Hanafi dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Sedangkan pendapat yang populer dalam madzhab Maliki adalah orang yang sekadar mencaci sahabat tidak kafir, tapi harus dihukum cambuk. Namun apabila mencaci dengan mengkafirkan sahabat, madzhab Maliki juga sepakat dengan madzhab yang lain bahwa pelakunya kafir. (Lihat ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hal. 385-386)
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ulama sepakat bahwa mengkafirkan sahabat merupakan tindakan yang menyebabkan pelakunya kafir. Namun jika sekadar mencaci tanpa mengkafirkan mereka, maka ada dua pendapat dari ulama: pertama memvonis pelakunya kafir. Pendapat yang kedua tidak memvonis kafir, tapi mengkategorikannya sebagai perbuatan dosa besar dan pelakunya harus ditindak tegas.
Sikap tegas Ahlussunnah terhadap pencaci sahabat ini terus tertanam kuat hingga generasi saat ini. Maka jika Syiah, terutama yang ada di Indonesia, ingin rukun dan hidup damai dalam Bhinneka Tunggal Ika, belajarlah menghormati para sahabat Rasulullah dan berhentilah mencaci dan mengkafirkan mereka.