Pemikiran Parmenides (540-470 SM) sampai saat ini menjadi perbincangan hangat seputar alam, yang memiliki perbedaan mencolok dengan Herakleitos (540-480 SM). Parmenides berpandangan bahwa, setiap sesuatu tidak ada yang berubah, sehingga berkesimpulan segala sesuatu itu tidak berawal.
Pemikiran Parmenides Tentang Alam
Menurut Parmenides: tidak mungkin sesuatu muncul dari ketiadaan. Secara akal, semua itu barasal dari zat tunggal yang membentuk alam jagat raya ini. Dengan kata lain, zat tunggal itu menjadi alam yang kita lihat ini.
Parmenides tidak setuju bahwa alam ini berubah. Secara indrawi, memang berubah, tetapi secara akal tidak. Kata Parmenides, “Apabila segala isi dunia ini satu, mustahil menjadi banyak”. Meski pun banyak, itu sebatas pengelihatan saja. Menurutnya, kita tidak boleh memercayai indrawi kita.
Bukti Alam Memiliki Awal
Imam Sanusi (832-895 H) dalam Ummul-Barahin-nya dengan tegas menyatakan: alam itu hadis. Dengan kata lain, alam itu memiliki awal. Pemahaman beliau sangat berbeda jauh dengan pemikiran Parmenides.
Gagasan demikian muncul dari pemahaman bahwa: alam terdiri dari benda yang tidak terlepas dari sifat. Bergerak atau diam, misalnya.
“Bukti alam itu hadis, kelazimannya kepada sifat yang jelas-jelas baru, seperti bergerak, diam, dan selainnya. Setiap sesuatu yang melazimi perkara hadis, maka sesuatu itu hadis.” (Syarh Ummul-Barahin: 151)
Benda Pasti Melazimi Sifat
Seseorang–melalui akalnya–dapat menyimpulkan bahwa mustahil sebuah benda tidak bergerak sekaligus tidak diam. Setiap benda pasti memiliki salah-satu sifat tersebut. Kalau tidak diam, berarti bergerak. Begitu pun sebaliknya.
“Mengetahui kelaziman benda kepada keduanya (bergerak atau diam), bagi orang berakal sudah dapat diketahui tanpa berpikir panjang (dharuriyah).” (Syarh Ummul-Barahin: 153)
Bergerak dan Diam Merupakan Perkara Baru
Suatu benda terkadang bergerak, kadang pula diam. Tidak ada yang selalu bergerak, begitu pula yang selalu diam. Hal ini menjadi dasar bahwa keberadaan ‘gerak’ itu bisa hilang, saat benda itu ‘diam’. Dengan kata lain keberadaan gerak/diam itu bisa berakhir.
Ini membuktikan bahwa keberadaan gerak atau diam itu tidak selalu ada; pasti memiliki awal. Jika tidak, mana mungkin bisa menerima ketiadaan, alias berakhir saat mengalami perubahan (dari gerak menjadi diam, atau sebaliknya).
Setiap sesuatu yang selalu ada, tidak bisa menerima ketiadaan. Bila menerima, berarti keberadaannya, tidak selalu, alias bisa ada, dan tidak. Ini menjadi bukti bahwa bergerak dan diam merupakan perkara hadis.
“Saya (Imam Sanusi) mengatakan: tidak diragukan lagi bahwa bergerak/diam itu merupakan perkara baru (memiliki awal). Andai kata keduanya tidak berawal, seharusnya dia tidak menerima ketiadaan sama-sekali (tidak berakhir), sebab setiap sesuatu yang tidak berawal, mustahil menerima ketiadaan.” (Syarh Ummul-Barahin: 153)
BACA: Enam Pilar Rukun Iman
Segala Sesuatu tidak Selalu Ada
Jika gerak/diam merupakan perkara hadis, tentu semua benda yang membutuhkannya juga hadis. Tidak masuk akal, ada benda yang terlepas dari bergerak atau diam.
Gerak/diam memiliki awal. Tentu, semua benda yang memiliki sifat salah-satu keduanya, juga memiliki awal. Pemikiran Parmenides yang mengatakan segala sesuatu selalu ada, sangatlah tidak masuk akal.
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id