Kebenaran mesti disuarakan kepada siapa saja; tanpa pandang bulu. Termasuk pula kepada pemimpin. Hanya saja, dalam Islam, semua hal ada etika masing-masing, termasuk kepada pemimpin.
Etika kita menegur orangtua yang bersalah, tentu tidak sama dengan cara kita menegur anak. Masih ada benarnya, jika memukul anak dalam rangka mendidik. Namun, betapa kurang ajar jika kita melakukan pukulan itu kepada orangtua dengan maksud mendidik.
Baca Juga: Taat Pada Pemerintah
Bila ada pemimpin bersalah, tentu kita wajib menegur. Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang afdal ialah perkataan hak di hadapan sultan yang kejam”
(HR. Thabarani)
Syekh Ramadan al-Buthi dalam al-Jihadu fil-Islam: Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu menjelaskan bahwa sama-sekali hadis tersebut tidak ada membenarkan kita untuk bersikap keras kepada pemimpin. Sebaliknya, malah dengan hadis tersebut, kita harus bersikap lemah lebut kepada pemimpin. Beliau mengatakan:
وَلَمْ يَفْهَمْ مِنْ كَلِمَةِ الحَقِّ فِي الحَدِيْثِ إِلَّا المَعْنَى الزَجَرِيْ البَاعِثِ عَلَى التَّرَبُّصَ وَالمُنَازَلَةِ وَالقِتَالِ مَعَ أَنَّ كَلِمَةِ الحَقِّ هُنَا وَفِي هَذَا الحَدِيْثِ بِالذَّاتِ لَا تَحْمِلُ شَيْئاً مِنْ هَذِهِ الدَّلَالَةِ . بَلْ الحَدِيْثُ فِي مجمله يُبْرِزُ أَهَمِّيَةَ الصَمُودِ بِالكَلِمَةِ اللَّيِّنَةِ أَمَامَ جَوْرِ السُّلْطَانِ وَزَجْرِهِ
“Mereka (orang yang kerap salah paham) juga tidak memahami kata perkataan yang hak di dalam hadis itu, kecuali makna caci-maki yang memprovokasi untuk melakukan pertengkaran dan peperangan, padahal kalimatul-haq di dalam hadis ini sama-sekali tidak mengarah ke sana. Secara keseluruhan hadis tersebut menekankan keharusan tabah dengan perkataan yang lemah-lembut di hadapan pemimpin yang kejam.”
al-Jihadu fil-Islam: Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu
Etika rakyat kepada pemimpin telah diajarkan al-Quran saat mengisahkan Nabi Musa. Ketika Allah memerintah Nabi Musa dan Nabi Harun menghadap Firaun, Allah masih menambah dengan firman-Nya:
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia (Firaun) ingat atau takut”
(QS. Taha[20]:44)
Nabi Musa saja, yang tergolong ulul-azmi, saat hendak berhadapan dangan pemimpin sebajat Fir’aun, Allah masih menyuruhnya untuk berkata dengan lemah-lembut. Lantas, bagaimana dengan kita? Hal ini diungkapkan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juz 11 halaman 200:
فَإِذَا كَانَ مُوْسَى أٌمِرَ بِأَنْ يَقُوْلَ لِفِرْعَوْنَ قَوْلًا لَيِّنًا فَمَنْ دُوْنَهُ أَحْرَى بِأَنْ يَقْتَدِي بِذَلِكَ فِي خِطَابِهِ وَأَمَرَهُ بِالْمَعْرُوْفِ فِي كَلَامِهِ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى وَقُوْلُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Apabila Nabi Musa diperintah untuk berkata lemah-lembut kepada Firaun, bagaimana dengan orang yang derajatnya lebih rendah ketimbang Nabi Musa, tentu lebih layak untuk meneladani beliau, alias berbicara dan memerintah dengan cara perkataan yang baik. Allah berfirman, ‘bertuturkatalah yang baik kepada manusia,’ (QS. al-Baqarah[2]:83)”
Tafsir al-Qurthubi
Baca Juga: Buletin Tauiyah 231
Menurut beliau, bisa tergolong perkataan yang lemah-lembut bilamana tidak ada perkataan yang kasar sema sekali. Dalam tafsirnya (11/200), beliau mengatakan:
قُلْتُ : القَوْلُ اللَّيِّنُ هُوَ القَوْلُ الَّذِي لَا خُشُوْنَةَ فِيْهِ
“Saya (Imam al-Qurthubi) berkata: al-qaul al-layyin adalah perkataan yang tidak kasar sama-sekali.”
Tafsir al-Qurthubi
Satu pertanyaan besar untuk pembaca yang budiman, adakah dari kalian yang merasa lebih mulia dengan Nabi Musa sehingga merasa benar dengan cara mencaci-maki pemerintah?
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id