Dalam memahami al-Quran, seseorang tidak boleh serta merta memahaminya secara tekstual. Sebab di dalam al-Quran ada ayat mutasyabihat yang haram hukumnya ditelan secara mentah. Ayat ini telah dijelaskan oleh Allah dalam firmannya yang berbunyi,
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٓ اِلَّا اللّٰهُ وَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِه كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Kitab (al-Quran) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (al-Quran) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (al-Quran), semuanya dari sisi Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Imran: 7).
Baca Juga: Allah Bertangan, Benarkah?
Termasuk ayat mutasyabihat dalam al-Quran adalah lafal yadullah yang berada pada surah al-Maidah ayat 64 dan surah al-Fath ayat 10. Kedua ayat ini tak jarang dipakai oleh kelompok Wahabi untuk mendukung stigma mereka yang menyatakan bahwa Allah sama dengan makhluk, termasuk dalam segi menetapkan Allah memiliki dua tangan sebagaimana manusia.
Ali bin Abdul Aziz, salah satu pentolan wahabi dalam karangannya yang bertajuk at-Tanbih ‘alal-Mukhalafat al-‘Aqdiah fi Fathil Bari menyatakan bahwa wajib menetapkan dua tangan Allah secara hakikat tanpa kaif ataupun tamtsil. Pernyataan demikian mengecualikan dari sifat wajib bagi Allah, yakni Mukhalafatun lil-hawaditsi.
Untuk menanggapi hal itu, mari kita bahas dua ayat tadi secara terperinci sesuai pendapat ulama-ulama papan atas yang tidak diragukan lagi keilmuannya. Pertama kita bahas surah al-Maidah ayat 64 yang berbunyi,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Imam ar-Razi dalam tafsirnya memberikan penjelasan mengenai lafal yadullah pada ayat di atas yang artinya, “Sebab penggunaan lafal yadun yang disandarkan pada Allah tersebut adalah karena tangan adalah alat yang paling banyak digunakan dalam setiap perbuatan, lebih-lebih dalam hal bersedekah. Maka dengan begitu akan memberikan pengertian bahwa Allah bersifat dermawan”.
Baca Juga: Sikap Ulama Ahlusunah Terhadap Ayat Mutasyabihat
Sedangkan dalamtafsir al-Mawardi disebutkan bahwa lafal yadun tersebut memiliki empat penafsiran. Pertama bermakna kenikmatan. Maka boleh dikatakan, “Saya memiliki tangan”, dalam artian memiliki nikmat. Kedua bermakna kekuatan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi,
أُولِي الأَيْدِي وَالأَبْصَارِ
Ketiga bermakna menguasai. Seperti contoh, “Saya memiliki budak”. Keempat karena berfaidah mubalaghah fit-tasybih.
Dari dua pendapat ulama di atas, kiranya sudah cukup untuk mewakili pembahasan surah al-Maidah ayat 64. Sekarang kita beralih pada pembahasan surah al-Fath ayat 10. Ayat tersebut berbunyi,
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Imam at-Tabari menafsirkan lafal yadullah pada ayat tersebut dengan makna kekuatan. Jadi, makna seharusnya pada ayat di atas berbunyi, “Kekuatan Allah di atas kekuatan mereka”. Dalam artian, kekuatan Allah dalam menolong Rasul lebih besar dibandingkan pertolongan mereka. Sebab mereka membaiat Rasul karena untuk menjaganya dari musuh. Sedangkan Allah lebih dari itu.
Imam ar-Razi juga memberi penjelasan sebagai berikut, “Lafal yadullah pada ayat di atas bermakna nikmat. Demikian itu memberikan pemahaman bahwa nikmat Allah pada orang yang berbaiat kepada Nabi di atas kebaikan mereka pada Allah”.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, menjadi jelas bahwa kita tidak bisa memahami al-Quran secara tekstual saja, namun juga harus mengikuti pada pendapat para ulama. Imam ad-Dasuki berkata, “Berpegangan pada pokok akidah dengan hanya memahami tekstual al-Quran dan hadis merupakan akar kesesatan golongan Hasyawiah yang berani menjisimkan Tuhan”. Semoga kita dijauhkan dari paham-paham menyesatkan ini. Maha Suci Allah dari segala sifat yang tidak pantas disandangkan padanya. Wallahu a’lam.
Ghazali | Annajahsidogiri.id