Pertanyaan:
Assalamualaikum Ustaz, izin bertanya. Dalam adat masyarakat kita, banyak ditemukan acara haul, tahlil dan selamatan-selamatan lainnya. Dari acara-acara tersebut, saya memiliki beberapa keisykalan,
1. Acara haul, tahlil dan beberapa selamatan termasuk sunah atau bidah?
2. Apakah mayit tetap mendapat hadiah bacaan orang-orang yang tidak mengerti makna apa yang ia baca?
3. apakah hidangan yang diberikan oleh keluarga mayit pada pentakziah, pahalanya akan sampai pada mayit meski tanpa doa dari para pentakziah?
4. Bagaimanakah hukum membaca al-Quran yang biasanya tidak mengikuti tajwid ketika acara berlangsung? Dan apakah pahala bacaan yang tidak sesuai tersebut tetap sampai pada mayit?
5. Hukum orang-orang yang memakan hidangan dari keluarga mayit, padahal ketika membaca tahlil mereka tidak membacanya sesuai tajwid?
6. Makanan yang disediakan tuan rumah masuk kategori tasalli, balas budi, atau apa?
7. Bagaimana solusinya ketika ada suatu adat yang dilarang oleh Agama namun telah mengakar di masyarakat?
Hamba Allah | Via Whatsapp
Jawaban:
Waalaikumsalam. Mari kita bahas semua pertanyaan tersebut di bawah ini.
Pertama
Acara haul, tahlil dan selamatan-selamatan lainnya tidak termasuk bidah jika mengikuti pendapat dalam kitab Fathul-Bari karya Syaikh Ahmad bin Ali bin Hajar abu al-Fadl al-‘Asqalani.
والمحدثات بِفَتْحِ الدَّالِّ جَمْعُ مُحْدَثَةٍ وَالْمُرَادُ بِهَا مَا أُحْدِثَ وَلَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ وَيُسَمَّى فِي عُرْفِ الشَّرْعِ بِدْعَةً وَمَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ الشَّرْعُ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ فَالْبِدْعَةُ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ مَذْمُومَةٌ بِخِلَافِ اللُّغَةِ فَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ يُسَمَّى بِدْعَةً سَوَاءٌ كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا وَكَذَا الْقَوْلُ فِي الْمُحْدَثَةِ وَفِي الْأَمْرِ الْمُحْدَثِ الَّذِي وَرَدَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Lafal ‘Muhdatsat’ dengan dibaca fathah ‘dal’-nya merupakan jamak dari lafal ‘Muhdatsah’ yang berarti sesuatu yang baru serta tidak memiliki landasan dalam syarak. Dalam kacamata uruf syarak, hal itu dinamakan dengan bidah. Sedangkan sesuatu yang memiliki landasan syarak bukanlah bidah. Adapun bidah secara uruf syarak adalah tercela. Sedangkan secara bahasa, setiap sesuatu yang baru dengan tanpa adanya contoh pada sebelumnya maka hal itu dinamakan bidah, baik terpuji atau tercela. Inilah pengertian muhdatsah (sesuatu yang baru) yang dikehendaki dalam hadis yang diriwayatkan Sayidah Aisyah, ‘Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu ditolak.”
Di atas adalah ibarot terkait muhdastah (perkara baru). Jika kita lihat selamatan-selamatan di Indonesia, maka kita tahu bahwa selamatan-selamatan tersebut memiliki landasan, dan tidak termasuk muhdatsah sesuai dengan ibarot yang ditampilkan di atas. Kesimpulannya, selamatan-selamatan tersebut tidak tergolong bidah.
Atau juga bisa kita masukkan pada bidah hasanah jika mengikuti ulama yang membagi bidah menjadi dua; bidah hasanah dan bidah sayiah, seperti pendapat yang dilontarkan oleh Imam asy-Syafii yang dikutip oleh Imam al-Qhuthubi dalam kitab Tafsirul-Qhurthubi. (Juz 2 hal. 86-87).
Kedua
Tetap mendapatkan hadiah bacaan tersebut. Syaikh Marzuqi Mustamir al-Balitari dalam kitabnya, al-Muqtathafat li ahlil-bidayat, menyimpulkan dari hadis di bawah ini bahwa orang yang tidak memahami makna dari al-Quran yang ia baca maka tetap mendapat pahala.
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Ketiga
Pahala dari hidangan yang diberikan oleh keluarga mayit akan sampai padanya jika diniatkan hadiah sedekahnya untuk mayit. Penjelasan-penjelasan hadisnya pun banyak. Berikut salah satu hadisnya.
إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Keempat
Pahalanya tetap sampai pada mayit. Karena salah-tidaknya bacaan tidak mempengaruhi pada sampai-tidaknya pahala pada mayit. Hanya saja, andaikata si pembaca salah dalam hal tajwid atau sampai merubah makna bacaan al-Quran maka dosanya akan ditanggung si pembaca. Karena yang dihadiahkan pada mayit adalah pahala (Ihda’ ats-tsawab) bukan bacaannya.
Kelima
Pertanyaan ke-lima ini wajib diperhatikan. Sebab hal ini banyak menimbulkan salah paham di tengah masyarakat. Bahwasannya, hidangan yang diberikan kepada para pentakziah, bukanlah akad sewa. Dalam artian, tuan rumah menyewa pentakziah untuk membaca al-Quran yang dihadiahkan pada mayit, sehingga jika pentakziah tidak membaca maka tidak boleh makan. Bukan!
Jadi, hidangan pada para pentakziah sebenarnya merupakan sedekah yang dihadiahkan pada mayit. Sehingga, tidak hanya pahala bacaan Quran yang dihadiahkan pada mayit, melainkan juga pahala sedekah. Maka, andaikata ada anak kecil yang tidak ikut membaca, ia diperbolehkan memakan hidangan. Karena status hidangan tersebut adalah sedekah, bukan upah dari hasil membaca al-Quran.
keenam
Makanan yang disediakan tuan rumah termasuk sedekah, tasalli dan penghormatan pada para pentakziah. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Ismail Usman al-Yamani al-Makki dalam kitabnya, Qurratul-‘Ain.
وَمَنْ يَنْظُر فِيْ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ بِالنَّظَرِ الصَحِيْحِ يَرَى أَنْ لَا مَحْذُوْرَ فِيْ وَلِيْمَة أَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا صَنَعُوْهَا وَأَطْعَمُوْا غَيْرَهُمْ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَتَسَلِّيًا عَنِ اْلمُصَابِ وَإِكْرَامًا لِلضَّيْفِ النَّازِلِيْنَ عَلَيْهِمْ لِلتَّعْزِيَّةِ
“Barang siapa yang meninjau kaidah-kaidah syarak dengan tinjauan yang sahih, makai ia akan menilai bahwa tidak ada larangan dalam walimah yang diadakan oleh keluarga mayit jika makanan yang dihidangkan pada para pentakziah diiniatkan sebagai pendekatan diri pada Allah, melupakan musibah yang terjadi dan penghormatan pada tamu yang datang bertakziah”
Ketujuh
Sebenarnya kita tidak bisa moro-moro memvonis bahwa ini salah, bidah dan pelakunya kafir. Kita harus banyak meninjau dari segala macam sisi. Misalnya tradisi tahlilan, apakah tradisi tersebut mendapat legalitas Agama atau tidak? Pastinya ia. Penjelasannya bisa Anda baca di sini. Atau juga apakah tradisi tersebut temasuk tradisi jahiliah sehingga masuk pada sabda Nabi “man syabbaha bi qaumin fahuwa minhum”? semua itu sudah saya jelasin pada link di atas. Maka jelas dibolehkannya!
Nah, jika ada tradisi yang sudah benar-benar melenceng dari segala sisi, misalnya memberi sesajen pada pohon keramat dengan keyakinan bahwa pohon itu yang memberi semua hajatnya. Maka jelas ini harus diubah.
Bagaimana caranya? Kita bisa ikut cara yang dipraktikkan walisongo dalam berdakwah. Bisa kita ambil contoh lagi dalam tradisi tahlilan. Memang pada dasarnya tradisi ini adalah tradisi Hindu. Saya mengakui itu. Namun lambat laun walisongo membasmi hal yang negative dan memasukkan hal yang pesitif, Langkah demi Langkah. Oleh sebab itu, jika dulunya tradisi semacam tahlilan ini diisi dengan mabuk-mabukan, sekarang tahlil telah berubah menjadi hal yang didalamnya penuh kebaikan. Bahkan bermanfaat pada mayit.
Ghazali | Annajahsidogiri.id