Semakin canggih teknologi, potensi untuk melompat pada perkembangan yang lebih hebat semakin terbuka lebar. Begitu pula potensi untuk semakin terpuruk karena terlena oleh kemudahan yang ada. Kenyataan ini seperti media sosial yang sangat membantu dengan segenap kemudahannya, tapi keberadaannya justru digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, seperti fenomena ujaran kebencian yang akhir-akhir ini menjadi persoalan serius. Dengan menggunakan alasan kebebasan berbicara, segelintir orang sewenang-wenang melakukan caci maki terhadap pihak lain yang tidak sejalan. Oleh karena itu, penting bagi kita mengetahui tentang hakikat kebebasan berbicara itu sendiri.
Kebebasan Berbicara dalam Islam
Berbincang mengenai kebebasan berbicara, maka juga berbincang mengenai kemerdekaan. Kemerdekaan sendiri memiliki berbagai bentuk sebagaimana penjelasan Syekh Musthafa al-Galayaini. Adapun yang berkaitan dengan kebebasan berbicara disebut sebagai kemerdekaan pribadi; yaitu kebebasan bertindak, berpendapat, memilih keyakinan, mendapatkan pendidikan, berorganisasi, dan lain sebagainya.
Bebas di sini bukan berarti bebas tanpa batas, sebab Syekh Musthafa al-Galayaini menjelaskan bahwa dalam mengaplikasikan kemerdekaan ini, masing-masing individu harus mempertimbangkan kemerdekaan orang lain. Sehingga dalam hal ini kebebasan berbicara tidak bisa dijadikan landasan untuk melegalkan perilaku ujaran kebencian. Lalu bagaimana jika pelaku berangggapan apa yang dilakukan adalah bentuk dari kritikan?
Kalau memang yang dikehendaki kritikan sebab perbedaan pandangan, maka harus disampaikan dengan kata-kata yang baik dan argumentatif. Dalam al-Quran dijelaskan: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatilah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk [QS. an-Nahl [16]: 125].
Ulama Sering Berselisih Pendapat
Para ulama kita dulu seringkali berbeda pandangan. Saling kritik merupakan hal biasa, seperti yang terjadi antara KH. Faqih Maskumambang dengan KH. Hasyim Asy’ari. Kedua ulama ini pernah berselisih terkait hukum kentongan. Mula-mula, Kiai Hasyim menulis al-Jâsûs fî Bayâni Hukmin-Nâqûs, selang beberapa pekan, KH. Faqih membantah argumen itu dengan risalahnya yang berjudul Syarhu Hazzir-Ru’ûs fî Raddi- Jâsûs ‘an Tahrîmin-Nâqûs. Perbedaan ini bukan malah membuat mereka saling menyalahkan melainkan hal ini justru membuat mereka saling menghormati.
Melihat hal ini tentu perbedaan pandangan bukanlah suatu masalah jika kita bisa menyikapinya secara elegan. Lain masalah jika kita mengungkapkan perbedaan itu dengan hal yang tidak sportif seperti tindakan ujaran kebencian yang sama sekali tidak memiliki unsur membangun.
Larangan Ujaran Kebencian
Dalam Islam, ujaran kebencian merupakan hal terlarang. Mengingat besarnya efek yang timbul dari perkataan yang buruk, sebagaimana ungkapan suatu syair;
“Jagalah lisan kamu dari perkataan yang serampangan karena kebanyakan musibah itu muncul dari ucapan”.
Alasan mengenai larangan ini adalah adanya unsur menyakiti dalam ujaran kebencian. Sedangkan menyakiti orang lain adalah tindakan terlarang. Ketentuan ini berlaku umum termasuk pada orang non-Muslim (baca; kafir dzimmi) (Sullam Taufiq I/83). Di sini, ujaran kebencian merupakan salah satu karakter orang-orang radikalis yang sangat anti dengan perbedaan, serta selalu fanatik buta dalam bertindak dan berfikir. (Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi, Fikrul-Khawârij wa asy-Syi’ah fî Mîzâni Ahlisunnah wal-Jamâ’ah).
Rifqi Ja’far Shodiq | Annajahsidogiri.id