Para ulama berkata dalam kitab-kitab tauhid, bahwa ma‘rifatullah wa rusulihi (mengenal Allah dan para utusan-Nya) hukumnya wajib bagi setiap orang mukalaf. Untuk mencapai makrifat itu, mereka diwajibkan melakukan olah pikir (nazhar) hingga bisa mengenal Allah dengan mengetahui apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya, juga bisa mengenal para utusan dengan mengetahui apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi mereka.
Baca Juga: Jangan Taklid dalam Urusan Akidah
Namun ulama berbeda pendapat mengenai hal pertama yang diwajibkan kepada setiap mukalaf. Ada yang mengatakan itu adalah makrifat, ada yang bilang nazhar, ada yang bilang bermaksud untuk nazhar, di samping ada pula pendapat-pendapat yang lain. Tapi pendapat yang paling sahih adalah, hal pertama yang wajib bagi mukalaf sebagai maksud dan tujuan adalah makrifat, sedangkan hal pertama yang wajib bagi mukalaf sebagai sarana dekat menuju tujuan tadi adalah nazhar, adapun hal pertama yang wajib bagi mukalaf sebagai sarana jauh menuju tujuan tadi adalah bermaksud untuk nazhar.
Yang jelas, setiap mukalaf diwajibkan melakukan olah pikir sendiri menuju mengimani pokok-pokok akidah, dan mereka dilarang bertaklid dalam hal ini. Karena itu, ulama berselisih pendapat mengenai iman orang yang bertaklid kepada orang lain. Sebagian mereka mengatakan bahwa iman si mukalid adalah sah secara mutlak, sebagian yang lain mengatakan tidak sah secara mutlak, ada yang bilang imannya sah tapi si mukalid telah bermaksiat secara mutlak, ada pula yang bilang imannya sah tapi dia termasuk bermaksiat jika bisa melakukan nazhar tapi meninggalkannya, malah sebagian ulama mengatakan bahwa perbedaan di atas hanya soal perbedaan ungkapan semata (al-khilaf lafzhi). Adapun pendapat yang sahih adalah, bahwa iman orang yang bertaklid adalah sahih, namun ia bermaksiat karena tidak melakukan nazhar sebagai pengantar makrifat, di mana hukum nazhar itu wajib.
Adapun nazhar menuju makrifat yang mesti dilakukan oleh setiap mukalaf di sini bukan olah pikir falsafi layaknya para filsuf, atau cara berpikir versi ahli mantik, karena bagaimanapun yang seperti itu tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Mereka cukup melakukan olah pikir sederhana seperti dicontohkan oleh al-Quran, atau sebagaimana kisah seorang Arab pedalaman yang ditanya bukti keberadaan Allah, lalu dia menjawab, “Tahi unta menunjukkan keberadaan unta, bekas kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan; langit yang penuh bintang-bintang, bumi yang dipenuhi tetumbuhan, dan lautan yang bergelombang, tidakkah semua itu menunjukkan keberadaan Allah yang maha lembut lagi maha mengawasi segenap makhluk?
Malah, olah pikir dengan akal bisa menjadi sarana independen menuju makrifat kepada Allah, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Nabi Ibrahim yang termaktub di dalam al-Quran: “Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An‘am: 75-79).
Lalu kenapa kita dilarang bertaklid dalam urusan pokok-pokok akidah? Pertama, karena masalah akidah adalah masalah keyakinan, sedangkan yakin tidak bisa dihasilkan dari bertaklid, sebab taklid hanya akan menghasilkan dugaan kuat (zhan) semata. Karena dalam masalah akidah orang itu harus sampai pada i‘tiqad yang mantap dan kuat. Nah, karena itu iman seorang yang bertklid itu masih rawan, bisa diterpa berbagai badai keraguan dan kebingungan.
Adapun alasan kedua, karena memang pokok-pokok akidah dalam Islam didasarkan pada nash-nash yang qath‘iyyuts-tsubut dan qath‘iyyud-dalalah. Qath‘iyyuts-tsubut artinya bisa dipastikan kebenaran transmisinya, seperti hadis mutawatir atau al-Quran. Sedangkan Qath‘iyyud-dalalah artinya kandungan maknanya pasti, tidak bercabang dan tidak ambigu, sehingga tidak ada kemungkinan perbedaan penafsiran.
Nah, nash-nash yang coraknya seperti itu, yang menjadi landasan dari pokok-pokok akidah itu, bukan merupakan wilayah ijtihad, dalam arti tidak boleh diijtihadi. Karena sudah bukan wilayah ijtihad, maka secara otomatis juga tidak boleh taklid. Karena taklid hanya dilakukan disebabkan orang awam tidak mampu memahami makna kandungan nash dengan berijtihad sendiri, yang lumrahnya terjadi di dalam nash-nash yang zhanni. Nah, ketika suatu nash sudah qath‘i, definitif dan pasti, maka sudah tidak boleh diijtihadi, juga tidak boleh bertaklid.
Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri