Kerap kali kita dapati, sebuah budaya yang terjadi di tengah masyarakat awam berupa meluhurkan seseorang yang bisa melakukan perkara hebat di luar adat kebanyakan orang. Klaim wali pun tersemat kepada orang tersebut akibat perbuatannya yang luar biasa. Sekali pun pada faktanya orang itu hanyalah seorang dukun, yang mana kehebatan yang ia ciptakan merupakan ilmu hitam alias sihir. Tentu hal yang demikian adalah suatu kecerobohan yang harus dijauhi.
Fenomena ini, memunculkan tanda tanya besar, apakah setiap orang yang mampu mewujudkan suatu yang hebat dapat disebut wali? Ataukah wali itu memiliki kriteria tersendiri? Selanjutnya, mari kita diskusikan kajian ini dengan kepala dingin!
MENGENAL SOSOK WALI
Setiap orang cenderung menyukai sesuatu yang hebat, yaitu sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Hal tersebut dalam agama Islam lumrah dikenal dengan nama karamah para wali atau mukjizat para nabi.
Di sebagian daerah, terdapat budaya berupa mengagungkan dan memuliakan setiap orang yang bisa melakukan hal hebat di luar kebiasaan orang lain, tanpa meninjau apakah orang itu termasuk ahli ibadah atau tidak, termasuk ahli ilmu agama atau bukan. Ironisnya, orang tersebut oleh sebagian masyarakat sekitar diyakini sebagai sosok wali gara-gara perbuatan hebatnya itu. Padahal, kalau dicermati lebih teliti, ternyata orang hebat tersebut hanyalah seorang peramal atau seorang dukun yang mengandalkan bantuan bangsa jin dan sejenisnya. Ia sama sekali bukan dari orang yang ahli ibadah maupun ahli ilmu agama. Tetapi apa yang terjadi di masyarakat? Orang tersebut tetap dikagumi dan dipuji sebagai orang yang sakti. Bahkan tak jarang menganggapnya sebagai wali.
Masyarakat tersebut terlalu terburu-buru dalam memvonis sesuatu yang hebat sebagai karamah, hingga gagal mengenal identitas sosok wali itu sendiri. Dengan memukul rata bahwa setiap kehebatan yang muncul dari siapa pun adalah sebuah karamah, hingga meniscayakan bahwa pelakunya adalah seorang wali.
Adapun definisi dari karamah itu sendiri, sebagaimana yang terlansir dalam kitab Tuhfatul-Murîd (I/101) adalah perkara di luar kebiasaan manusia yang dilakukan oleh hamba yang saleh yang senantiasa mengerjakan syariat dengan baik, juga benar akidahnya dan bagus perilakunya. Maka, jika ada seseorang yang memiliki kesaktian tapi tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas, tidaklah bisa dikategorikan kesaktian itu sebagai karamah. Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Ali bin Manshur Asy-Syanwani juga menberikan definisi sosok wali Allah dalam kitabnya yang bertajuk Hâsyiatus-Syanwâni Alâ Ithâfil-Murîd, yaitu orang yang ‘arif billah, menghindari syahwat dan nafsu berahi yang mubah, istikamah dalam mengamalkan ketaatan kepada Allah serta menjauhi larangan-Nya.
Klasifikasi tentang kesaktian itu terbagi menjadi enam bagian. Pertama, apabila muncul dari para nabi maka disebut mukjizat. Kedua, apabila tampak pada seorang nabi yang masih belum diutus maka disebut irhasyiah. Ketiga, apabila tampak pada seorang wali maka disebut karamah. Keempat, apabila kehebatan tersebut dilakukan oleh orang awam yang saleh maka disebut maunah. Kelima, apabila perkara tersebut datang dari seorang pendusta yang mengaku nabi maka disebut ihanah. Dan yang keenam, apabila hal tersebut tampak pada orang fasik atau orang kafir maka dinamakan istidraj. (al-Mukhtashar al-Mufîd I/155)
Walhasil, secara garis besar dapat kita pahami, bahwa kesaktian yang dilakukan oleh seseorang yang masih belum sempurna menjalankan syariat Islam, semisal shalatnya tidak dikerjakan di awal waktu, atau malah sering ditinggalkan, jelas hal tersebut adalah istidraj. Dan, tentu orang tersebut bisa dipastikan adalah orang fasik. Dari sini, seyogiyanya bagi umat Islam jangan terlalu gampang menganggap seseorang sebagai wali bersebab kehebatan yang bisa ia lakukan, akan tetapi umat harus teliti terlebih dahulu bagaimana notabene orang tersebut dalam menjalani syariatnya.
Imam al-Ghazali dalam salah satu kitabnya menyampaikan, “Jika engkau melihat seseorang mampu berjalan di atas air, tetapi ia masih melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan.” (Mizânul ‘Amal I/101)
Ismail | Annajahsidogiri.id