Terdapat beragam definisi yang ditorehkan oleh ulama dalam mendefinisikan taklid. Syaikh Ibrahim dalam kitab Tuhfatul Murid menjelaskan bahwa taklid adalah mengekor pada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Definisi lain di sebutkan dalam kitab Hidayatul Murid; mengambil pendapat orang yang tidak maksum dengan tanpa mengetahui hujahnya. Sehingga jika kita mengacu pada definisi yang kedua maka orang yang mengikuti hadis tidak dianggap sebagai muqallid (orang yang taklid).
Imam as-Sanusi pernah menjelaskan gambaran taklid. Beliau mencontohkan taklid dengan proses rukyatulhilal yang dilakukan oleh sekelompok orang. Katakanlah, salah seorang dari kelompok peneliti rukyatulhilal itu melihat hilal yang disasar dan anggota lain belum melihatnya. Lalu anggota yang melihatnya mengabarkan pada crew lain yang belum melihat. Jika anggota yang belum melihat hilal meyakini kabar itu tanpa meneliti dan menelusurinya maka mereka disebut muqallid.
Dalam bidang Fikih, taklid merupakan keniscayaan. Karena memang tidak semua orang bisa menggali hukum secara langsung melalui nas al-Qur’an dan hadis. Hanya orang spesial yang dapat melakukannya. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun, pemetaannya akan berbeda apabila pembahasan taklid diafiliasikan pada ranah akidah. Dalam urusan akidah, tentu semua orang harus menggunakan potensi akalnya dan tidak boleh mengekor pada orang lain. Hal itu karena akidah adalah hal yang paling urgen dalam agama Islam. Makrifat pada Allah melalui sifat-sifatnya adalah kewajiban pertama bagi setiap orang mukalaf, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Zubad karya Syaikh Ibnu Ruslan.
Secara garis besar terdapat dua pemetakan mengenai hukum muqallid dalam akidah. Pendapat pertama menyatakan boleh taklid dan dianggap cukup. Pendapat kedua menyatakan bahwa iman tidaklah cukup dengan taklid. Pendapat kedua ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Dari pendapat yang kedua ini, masih terjadi pemetakan berikutnya; apakah muqallid itu ‘ashin (bermaksiat) atau ghairu ‘ashin (tidak bermaksiat)? Jika muqallid tersebut mampu untuk berpikir (nadzar) maka bermaksiat, dan jika tidak mampu maka tidak dihukumi bermaksiat.
Kemudian yang perlu digarisbawahi terkait pembahasan ini adalah bahwa pernyataan, “Tidak cukup iman muqollid” bukanlah sampai berakibat vonis kafir. Melainkan masih belum bisa membebaskan kewajiban nadhar yang diwajibakan padanya. Toh kalaupun dalam kitab ada yang menyatakan bahwa muqallid itu Tidk beriman, maka yang dimaksud adalah kurang sempurna imannya. (Hidayatul Murid hal 54).
Terlepas dari warna warni pendapat ulama tentang taklid dalam akidah, sebenarnya ada juga poin yang penting untuk dipertanyakan dalam pembahasan ini, dan sekaligus sebagai penyempurna. Yaitu apakah ketika kita mengikuti nalar para ulama disebut taklid? Lantas bagaimana sebenarnya konsep aswaja yang menjadikan Imam al-Asyari dan Maturidi sebagai rujukan utama dalam permasalahan tauhid? Berikut ulasannya.
Mengenai pertanyaan pertama sudah disebutkan dalam kitab Tuhfatul-murid. Di sana dijelaskan bahwa ketika ada seorang murid mengenal pada Allah dengan tuntunan gurunya serta keyakinan benar-benar terhujam dalam hatinya, maka sudah tidak lagi dianggap sebagai muqollid. (Tuhfatul Murid hal 24)
Selanjutnya mengenai konsep aswaja yang menjadikan Imam al-Asyari dan Maturidi sebagai pentolan utama dalam ranah akidah adalah sebagai rangka ihtida’an la taqlidan. Jadi bisa dikatakan kalau imam Al-asyari dan Maturidi adalah penuntun kita untuk mengenal pada Allah dengan cara yang benar, juga agar kita tidak salah jalan. Tidak terjangkit virus tajsim ala hasyawiah atau logika cacat para pemikir Barat yang tidak memercayai keberadaan Tuhan, sehingga keyakinan yang terhunjam dalam hati kita adalah keyakinan yang benar-benar sesuai dengan pakem Ahlusunah walJamaah yang telah dirumuskan oleh para ulama.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.ID