Kira-kira, mengapa sistem kekhilafahan sering dianggap sebagai hal yang mengerikan? Satu suara saja bersorak khilafah, 1000 suara penolakan balik menyerang. Seakan tak ada ruang sama sekali untuk menerapkan sistem khilafah, lebih-lebih di Indonesia.
Apakah demikian itu karena trauma pengoboman di pelbagai tempat yang diduga dari kelompok pro-khilafah? Atau karena anggapan khilafah sudah tak lagi relevan untuk diterapkan?
Entahlah, namun yang jelas khilafah tak semengerikan asumsi sebagian orang yang mengiranya sebagai sitem radikal; mewajibkan penduduknya beragama Islam, tetap dengan agamanya namun dengan kewajiban membayar jizyah, atau pilihan terakhir adalah angkat senjata.
Jika khilafah dipandang macam itu, maka siapapun akan menolaknya. Sampai detik ini, Islam sama sekali tak pernah memaksakan orang lain untuk memeluk agama Islam. Hal ini jelas, bahkan termaktub dalam nash Al-Qur‘an: Al-Baqarah ayat 256.
Khilafah pada dasarnya merupakan sistem politik terapik dari sekian banyak sistem. Meski Islam menjadi pedoman utamanya, sistem khilafah tak pernah mengkerdilkan penganut agama-agama lain. Berlaku adil pada siapapun selalu menjadi prioritas utama. Terbukti, khilafah selalu memberikan perlindungan dan keamanan terbaik pada kafir dzimmi.
Nabi pernah bersabda:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barang siapa yang telah menyakiti kafir dzimmi maka ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku maka sesungguhnya ia telah menyakiti Allah.” (HR. Thabrani)
Baca Juga; Antara Makah, Madinah, dan Wahabi
Dari hadis di atas, para ulama mengatakan akan kewajiban menjaga kafir dzimmi dari segala gangguan, baik gangguan internal dari sebagian oknum Muslim sendiri, ataupun eksternal dari gangguan musuh mereka. Hal itu selagi mereka tetap tunduk pada undang-undang khilafah. Sebab, kata Nabi, mereka adalah tanggungan (dzimmah) Allah dan Rasul-Nya, sehingga tak boleh disakiti.
Pesan Nabi di atas bukan hanya sekadar omong kosong belaka, para sahabat memang benar-benar menerapkanya. Dr. Abdullah Kamil dalam Kitab al-Inshâf fî mâ Utsîra haulahul-Khilâf (hlm. 715-722) banyak menceritakan hal itu, semisal kisah Sayidina Umar yang memberikan keamanan dan kebebasan beragama bagi kafir dzimmi Aelia di Yerussalam.
Terkait jizyah yang dibayar tiap tahunnya, sebenarnya itu tak berarti apa-apa bagi mereka. Hanya dengan membayar dua dinar tiap tahun, keamanan mereka menjadi terjamin. Jadi sebenarnya jizyah yang mereka bayar itu adalah akad untuk memperoleh keamanan dan kedamaian di bawah undang-undang khilafah.
Maka tak perlu heran bila Abu Ubaidah bin Jarrah pernah mengembalikan jizyah yang ia ambil dari dzimmi Syam disebabkan tak bisa memberi penjagaan penuh kepada mereka, mereka kembali merasakan penjajahan oleh bangsa Romawi.
Baca Juga; Memahami Tahlilan; dari Budaya hingga Keyakinan (1/2)
Saking adilnya sistem ini, pemimpin tertingi koptik Romawi yang kala itu ditaklukkan oleh pasukan yang dipimpin ‘Amr bin ‘Ash, Raja Muqauqis, mengatakan pada prajuritnya:
“Apakah kalian rida mendapatkan keamanan sepanjang umur, baik keamanan diri, harta, dan anak hanya dengan sekadar membayar dua dinar tiap tahunnya? Siapa saja yang tak setuju akan hal ini, saya tegaskan, bahwa mereka umat Islam sendiri sebenarnya lebih banyak tanggungannya daripada kita. Mereka tertuntut untuk membayar zakat, pajak kharraj dan ‘usyur.” (Hikmatut-Tasyrî’ wa Falsafatuhu, hlm. 233)
Nah, begitulah seharusnya yang akan dirasakan bila menerapkan sistem khilafah. Keadilan dan keamanan bagi seluruh macam pemeluk agama akan didapatkan. Bukan malah pembunuhan apalagi pengeboman. Sebab, Islam tetaplah Islam yang rahmatan lil-‘âlamîn.
Ghazali | Annajahsidogiri.id