اِنَّمَآ اَمْرُهُ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔا اَنْ يَّقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
Q.S. Yasin: 82
Dalam al-Quran terjemahan versi Kementerian Agama, ayat di atas diartikan:
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu.”
Makna yang bisa kita serap dari terjemah literal itu adalah, saat Allah menghendaki sesuatu, misal menciptakan A, maka Allah berfirman padanya, “Jadilah.” Tak lama setelah itu, A mucul.
Secara literal, sebenarnya terjemahan ini tidak salah. Satu persatu kata berbahasa Indonesia yang menjadi terjemahan ayat 82 surat Yasin itu sudah betul. Kamus membuktikan hal itu.
“Namun maksudnya bukan demikian. Sebagaimana zahir ayat memberi pemahaman itu,” kata Imam al-Bajuri dalam kitabnya, Tuhfatul-Murid hlm. 56.
Baca Juga: Semua Kehendak Allah, Kenapa Mesti Masuk Neraka?
Imam al-Bajuri memberi komentar dan pemahaman yang tepat tentang ayat tadi di sela-sela keterangan beliau tentang ta’aluq (hubungan) sifat iradah, sifat wajib Allah yang nomor delapan. Menurut beliau, ayat nomor 82 Surat Yasin menjadi dalil sam’i bahwa sifat iradah itu ta’aluq-nya universal.
Pemahaman yang tepat adalah bahwa ketika iradah dan qudrah-nya Allah itu sudah ber-ta’aluq (dan memang akan selalu begitu) pada sesuatu, maka sesuatu itu langsung ada. “Kun fa yakun” hanya sebuah kinayah betapa cepatnya hal itu terjadi dan tidak ada jarak sedikit pun.
Untuk mendukung keterangan Imam al-Bajuri di atas, kami akan mengutip dua ulama yang memberi dua analisis berbeda. Pertama, Imam Fahkrud-Din ar-Razi dan yang kedua Imam as-Sanusi. Imam Fakhrud-Din ar-Razi menganalisis dari segi konsekuensi fatal terwujudnya apa yang dikehendakiAllah jika yang dimaksud “Kun” adalah Allah berfirman menggunakan kalimat yang tersusun dari “Kaf” dan “Nun.” Sedangkan Imam as-Sanusi menganalisis dari segi linguistik dan logika ayat.
“Maksud ‘Kun’ bukanlah huruf, atau kalimat yang tersusun dari dua huruf, ‘Kaf’ dan ‘Nun’. Sebab terwujudnya apa yang di-iradah Allah itu lebih cepat dari sekadar kata ‘Kun’. Jika kita mengembalikan pada realita lafaz, huruf ‘Kaf’ dan ‘Nun’ tidaklah diucapkan oleh seorang yang berbicara, kecuali berurutan (‘Kaf’ dulu, baru ‘Nun’). Jika memang yang dimaksud ‘Kun’ adalah huruf dan suara, maka hasil dari iradah Allah masih membutuhkan waktu. Padahal, pemahaman yang tepat tidak demikian.”
Keterangan ini bisa kita jumpai dalam kitab tafsir beliau, Tafsir Mafatihil-Ghaib juz 29 hlm. 76.
Sedangkan Imam as-Sanusi memberi penjelasan dalam kitab al-Manhaj as-Sadid hlm. 246, “… Yang dimaksud ayat ini bukanlah Allah berfirman ‘Kun’ pada perkara mungkin sebagaimana zahir ayat seakan menunjukkan hal itu. Sebab menuntut perintah dari sesuatu yang tidak ada (ma’dum), apalagi menuntut menurutinya, saat ia belum ada, adalah hal yang tidak masuk akal. Ayat ini tidak lebih hanya sedang berada dalam posisi Isti’arah Tamsiliyah.”
Logikanya, jika Allah ingin mengadakan sesuatu, berarti sesuatu itu belum ada. Aneh jika ia mau menciptakan sesuatu, tapi sesuatu itu sudah ada. Maka hal yang paling bisa kita pahami, jika masih mau mengikuti terjemah al-Quran Kementerian Agama, Allah telah berfirman pada ketiadaan dan menuntut padanya untuk ada. Hal seperti ini tidak masuk akal kata Imam as-Sanusi.
Lalu untuk memahami ayat ini sebagai Isti’arah Tamsiliyah, mari kita lihat terlebih dahulu definisinya. Dalam kitab al-Balaghah al-Wadihah hlm. 98, dijelaskan bahwa Isti’arah Tamsiliyah adalah susunan kata yang tidak menggunakan makna literalnya, karena ada hubungan tertentu (antara makna literal dan makna metafora), beserta terdapat qarinah (tanda) yang mencegah untuk memahami dengan makna aslinya.
Salah satu contoh yang terdapat dalam kitab ini adalah susunan kata:
عَادَ السَّيْفُ إِلَى قِرَابِهِ
Terjemah literal dari kalimat ini adalah, “Pedang sudah dimasukkan kembali dalam sarungnya.” Padahal, dalam ungkapan Arab, kalimat ini sudah biasa diucapkan pada perajurit perang yang baru pulang dan kembali ke tanah airnya.
Kita tidak terlalu asing sebenarnya dengan hal ini. Dalam Bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal Kata Majemuk. Salah satu contohnya adalah “Tulang punggung.” Kalau misal ada orang berkata, “Hebat anak itu. Masih kecil sudah menjadi tulang punggung keluarga,” kita yang mendengar kalimat itu tentu langsung mengerti, bahwa orang itu sedang merasa kagum melihat seorang anak yang walau masih usia belia, sudah bisa menghidupi keluarganya.
Begitu juga ayat 82 surat Yasin ini. Bukan makna literal yang dimaksud ayat itu. Tapi lebih ke makna metafora.
Imam asy-Syanawani dalam kitab Hasyiyatusy-Syanawani ala Ithafil-Murid hlm. 326 saat mengutip pendapat Imam as-Sanusi tadi memberikan penjelasan lebih lanjut:
“Maksudnya ayat itu ada dalam posisi Isti’arah Tamsiliyah adalah penyamaan ketika qudrah dan iradah Allah itu ber-ta’aluq mengadakan sesuatu dan sesuatu itu langsung ada, dengan keadaan sesorang yang melafazkan ‘Kun’, dan tak lama setelah itu sesuatu muncul tanpa ada sekat waktu sama sekali.”
Ya, entah kalau ternyata penerjemah juga sedang menerjemah ayat dengan gaya bahasa yang metaforis. Sehingga kita bisa memberi judul tulisan ini, “Terjemah Metaforis Pada Ayat Metaforis.” Wallahu a’lam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id