Bagi pelajar pemula ilmu kalam, seringkali kebingungan mengartikan kata ta’alluq. Kebingungan itu wajar, sebab memang kata ta’alluq memiliki banyak pengertian, tergantung penempatannya. Untuk memudahkan, #SerialAkidahAwam kali ini hadir untuk mengenalkan kata ta’alluq yang ada pada kitab akidah.
Secara garis besar, kata ta’alluq memiliki dua kegunaan. Pertama, menjelaskan obyek dari sebuah sifat. Kedua, menyatakan “kegunaan” sifat tersebut. Lebih lanjutnya, sebagaimana berikut:
Menjelaskan Sasaran dari Sebuah Sifat
“Ta’alluq sifat kodrat dan iradat ialah kepada perkara mungkin”, contohnya. Kata ta’alluq tersebut, menjelaskan obyek dari sifat. Maksudnya, obyek dari kodrat dan iradat adalah perkara mungkin.
Dalam ketujuh sifat ma’ânî, masing-masing memiliki sasaran yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terkelompok menjadi empat:
- Ber-ta’alluq kepada perkara mungkin (mumkinât): yaitu sifat kodrat dan iradat. Ta’alluq iradat dan kodrat meliputi semua perkara mungkin, baik yang sudah ada, atau pun yang belum ada.
- Ber-ta’alluq kepada sesuatu yang ada (maujûdât): yakni sifat samak dan basar. Ta’alluq samak dan basar meliputi semua sesuatu yang ada, baik keberadaannya wajib, atau pun jaiz.
- Ber-ta’alluq kepada semua perkara mungkin, wajib dan jaiz: yaitu sifat ilmu dan kalam. Ta’alluq ilmu dan kalam merupakan ta’alluq yang paling umum, karena meliputi segala hal.
- Tidak ber-ta’alluq kepada sesautau apa pun: yaitu sifat hayat.
Pembagian ini terdapat dalam Matan Ummul-Barâhîn (hlm. 27). Imam as-Sanusi menjelaskan”
ثُمَّ يَجِبُ لَهًُ تَعَالَى سَبْعُ صِفَاتٍ تُسَمَّى صِفَاتِ الْمَعَانِيْ وَهِيَ الْقُدْرَةُ وَالْإِرَادَةُ الْمُتَعَلِّقَتَانِ بِجَمِيْعِ الْمُمْكِنَاتِ. وَالْعِلْمُ الْمُتَعَلِّقُ بِجَمِيْعِ الْوَاجِبَاتِ وَالْجَائِزَاتِ وَالْمُستَحِيْلاَتِ؛ وَالْحَيَاةُ. وَهِيَ لاَ تَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ؛ وَالسَّمْعُ وَالْبَصَرُ الْمُتَعَلِّقَانِ بِجَمِيْعِ الْمَوْجُوْدَاتِ. وَالْكَلاَمُ الَّذِيْ لَيْسَ بِحَرْفٍ وَلاَ صَوْتٍ وَيَتَعَلَّقُ بِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْعِلْمُ مِنَ الْمُتَعَلِّقَاتِ
“Wajib bagi Allah rujuh sifat yang bernama sifat ma’ânî, yaitu sifat kodrat dan iradat yang ber-ta’alluq kepada semua perkara mungkin. Juga, sifat ilmu yang ber-ta’alluq kepada semua perkara wajib, jaiz, dan mustahil. Juga, sifat hayat yang tidka ber-ta’alluq dengan apa pun. Samak dan basar yang ber-ta’alluq kepada semua perkara yang ada. Kalam yang tidak berhuruf dan bersuara yang ber-ta’alluq sama dengan ta’alluq sifat ilmu.”
Keempat ta’alluq itu semunya menjelaskan perihal obyek dari sebuah sifat. Semisal, kodrat hanya ber-ta’alluq kepada perkara mungkin. Berarti, wajib atau mustahil bukan sasaran dari sifat kodrat. Kodrat hanya perihal menciptakan perkara mungkin atau mentiadakannya.
Menjelaskan “Kegunaan” Sifat
Misalnya perkataan, “Di antara ta’alluq sifat kodrat ialah ta’alluq shulûhî qadîm”. Dalam contoh tersebut, kata ta’alluq tidak sedang menjelaskan obyek dari sifat, melainkan sedang menjelaskan “kegunaan” sifat tersebut. Sebenarnya banyak sekali ta’alluq yang memiliki arti menjelaskan “kegunaan” sifat. Namun, secara global, kegunaan sebuah sifat terkelompok menjadi dua. Imam al-Baijuri dalam Syarah as-Sanûsiyah (hlm. 104):
فَتَلَخّصَ أَنَّ لِلْقُدْرَةِ تَعَلُّقَيْنِ: أَحَدُهُماَ: صُلُوْحِيٌ قَدِيْمٌ؛ وَالْآخَرُ: تَنْجِيْزِيٌّ حَادِثٌ؛ لَكِنَّ هَذَا عَلَى سَبِيْلِ الْإِجْمَالِ. وَأَمَّا عَلَى سَبِيْلِ التَّفْصِيْلِ؛ فَلَهَا سَبْعَةِ تََعَلّقَاتِ
“Ringkasnya, kodrat memiliki dua ta’alluq: shulûhî qadîm dan tanjîzî hadîts. Akan tetapi itu secara global. Sedangkan secara terperinci, kodrat memiliki tujuh ta’alluq.”
Mengenai perbedaan antara shulûhî dengan tanjîzî adalah sebagaimana berikut:
Shulûhî
Istilah shulûhî menjelaskan kepantasan/kelayakan sebuah sifat, meski pun tidak sedang melangsungkan sifat tersebut. Contohnya, Allah memiliki sifat kodrat ta’alluq shulûhî qâdîm. Ini menjelaskan bahwa Allah pantas menciptakan atau mentiadakan sesuatu, dan kelayakan ini qadîm; tidak berawal. Sedangkan Allah melangsungkan penciptaan perkara hadits, tentunya berawal. Karena kalau tidak berawal, berarti bukan perkara hâdits. Namun, kelayakan Allah dalam menciptakan, sama-sekali tidak berawal.
Semua sifat inkisyaf (mengetahui), tidak memiliki ta’alluq shulûhî. Sifat-sifat tersebut antara lain: sifat ilmu, samak, basar, dan idrâk. Dalam Ithâfus-Sâdath al-Muttaqîn (II/29):
فَحِيْنَئِذٍ لَيْسَ لَهَا تَعَلُّقٌ صَلاَحِيٌّ لِقَوْلِهِمْ اَنَّ الصِّفَةَ الْاِنْكَشَافَ لاَ صَلاَحِيَّ لَهَا عِلْماً وَسَمْعاً وَبَصَراً وَاِدْرَاكاً
“Oleh karenanya sifat tersebut tidak memiliki ta’alluq shulûhî mengaca kepada pendapat ulama yang mengatakan bahwa sifat inkisyâf tidak memiliki ta’alluq shulûhî, baik itu ilmu, samak, basar, dan idrâk.”
Tanjîzî
Berbeda dengan shulûhî, istilah tanjîzî bukan perihal kelayakan, melainkan istilah ini menjelaskan kelangsungan sebuah sifat. Semisal, sifat kodrat. Jika shûlûhî menjalaskan: Allah ‘layak’ menciptakan, maka tanjîzî menjelaskan:Allah ‘melakukan/melangsungkan’ penciptaan itu. Karena menciptakan perkara hâdits, maka keberlangsungan penciptaan juga hâdits. Oleh karenanya, diistilahkan ta’alluq tanjîzî hâdits.
Berbeda dengan ta’alluq sifat basar Allah kepada zat-Nya. Karena zat Allah kadim, maka keberlangsungan Allah melihat zat-Nya sendiri juga kadim. Oleh karenanya, diistilahkan ta’alluq tanjîzî qadîm.
Untuk penjelasan lebih lebar perihal ta’alluq, insyaallah kami bahas dalam masing-masing sifat. Semoga akidah kita senantiasa ada pada jalan yang benar. Amin!
Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.ID