Merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam adalah meyakini bahwa Dzat Allah bersifat Mukhâlafatuhu lil Hawaditsi dan Qiyamuhu bi Nafsihi, yang berarti Dzat Allah tidak menyamai hawadits atau dzat yang lain serta tidak butuh pada tempat dan dzat lain yang menciptakan dan mengatur. Oleh karena itu, Dzat Allah tidak bisa diketahui dengan cara hakikat, apalagi dilihat. Begitu juga sifat-sifat-Nya tidak bisa diketahui secara hakikatnya. Seperti kita mengetahui bahwa Allah Wujud dan Maha Mengetahui, tapi mengenai hakikat wujud dan ilmu-Nya tidak bisa kita ketahui. Sebab, hakikat wujud dan ilmu-Nya tidak sama dengan hakikat-hakikat wujud dan ilmu yang lain. Beda dengan wujud manusia, seperti halnya kita bisa mengetahui bahwa wujud Zaid dari sperma yang diproses dalam rahim ibunya, lalu dilahirkan berupa bayi. Jadi, wujud Zaid mulai dari lahir dan seterusnya dapat diketahui.
Allah berfirman:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am : 103)
Terdapat beberapa penafsiran mengenai kata al-Abshar yang dinafikan dalam ayat ini.
Disebutkan oleh al-Alusi dalam tafsirnya sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Amudi dan al-Asyari bahwa Idrak yang dinafikan dalam ayat tersebut adalah melihat dengan cara meliputi terhadap perkara yang dilihat (ar-ru’yah ‘ala na’til ihâthah bi-jawânibil mar’iy), selaras dengan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat tersebut, beliau berkata:
لَا يُحِيْطُ بَصَرُ أَحَدٍ بِاللهِ تَعَالَى
Ini adalah pendapat mayoritas ahli bahasa dan yang lainnya. Dari pendapat ini dipahami bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagaimana melihat benda-benda di sekitar kita.
Kalaupun ada seorang ahli ilmu mengaku melihat Allah maka yang dimaksud mereka bukan dengan mata mereka, melainkan melihat Allah melalui mediator lain seperti adanya alam dan sifat-sifat Allah. Dengan cara melihat alam, para ahli ilmu dan ahli makrifat melihat Allah melalui mata hatinya (Ainul Bashirah). Ketika mereka melihat suatu benda, maka yang hadir dalam hati mereka hanyalah Allah yang menciptakan benda tersebut. Saking terangnya nur Allah pada hati mereka, seakan-akan mereka melihat Allah dengan mata mereka. Jadi bukan melihat Allah dengan mata mereka secara langsung, sebab mata manusia tidak mampu untuk hal itu.
Diceritakan dalam surah al-A’raf ayat 143, bahwa Nabi Musa pernah melihat nur Allah lalu beliau pingsan, tidak kuat melihat pada nur Allah, apalagi melihat Dzat-Nya.
Di samping itu, meskipun kelak di surga manusia melihat Allah (dengan cara yang berbeda dengan melihat selain Allah), bukan berarti Allah bertempat di surga. Karena Allah wajib bersifat Qiyamuhu bi Nafsihi yang berarti Allah tidak membutuhkan tempat.
Ma’sum Ahmadi | Annajahsidogiri.id
Comments 0