“Apakah kamu bisa menjawab pertanyaanku?” Tanya seorang atheis kepada Imam Abu Hanifah. Atheis itu sebelumnya sudah menghina Imam Abu Hanifah, karena umur beliau yang masih muda.
“Tentu, dengan pertolongan Allah.” Jawab Imam Abu Hanifah.
“Apakah Allah ada?”
“Iya, Allah ada.”
“Dimana dia?”
“Allah ada tanpa tempat.”
“Bagaimana mungkin ada sesuatu, tetapi tidak bertempat?”
“Aku punya dalil untuk membuktikanya, dan itu berasal dari tubuhmu.”
“Apa itu?”
“Apakah di tubuhmu ada jiwa?”
“Iya.”
“Di mana letak jiwamu? Apakah ada di kepala, perut, atau di kaki?”
Atheis itu kebingungan. Belum selesai kebingungan mengacak-acak otak si atheis, Imam Abu Hanifah meminta diambilkan susu.
“Apakah di dalam susu ini terdapat lemak?” Beliau sekali lagi bertanya.
“Iya.”
“Di mana letak lemak dalam susu ini? Di atas atau di bawah?”
Atheis itu bingung lagi.
“Sebagaimana ruh tidak punya tempat di dalam tubuh, lemak tidak punya tempat di dalam susu, begitu juga Allah tidak bertempat di alam ini,” tuntas Imam Abu Hanifah menyelesaikan perdebatan.
Kejadian abad ke-08 itu, diceritakan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Fathul-Majid hlm. 9, pada akhir abad ke-19. Dua abad kemudian, yakni pada abad 21, atheisme semakin “berkembang.” Yuval Noah Harari, seorang atheis berkebangsaan Israel dan profesor di Dapartemen Sejarah Universitas Ibarani Yerusalem, bukan hanya tidak mempercayai Tuhan, tapi juga jiwa (ruh).
“Selama ribuan tahun orang percaya bahwa seluruh seluruh perbuatan dan keputusan muncul dari jiwa kita. Namun dengan tiadanya bukti pendukung apa pun, dan mengingat teori-teori alternatif yang jauh lebih detail, sains kehidupan telah mencoret jiwa…. Mungkin pikiran juga harus ikut jiwa, Tuhan, dan ether kebak sampah sains?” kata dia dalam bukunya yang terkenal, Homo Deus; Masa Depan Umat Manusia hlm. 133.
Entah bagaimana tanggapan Imam Abu Hanifah atau Syekh Nawawi al-Bantani jika mereka hidup pada zaman sekarang dan membaca buku favorit Bill Gates itu.
Bagaimana Cara Membuktikan Keberadaan Jiwa?
Salah satu hal yang menjadi perhatian ulama adalah sumber ilmu. Dari sumber ilmu inilah dasar pengetahuan dibangun.
Islam mengenal tiga jenis sumber ilmu. Syekh Abdurahman Habanakah menguraikannya satu persatu dalam kitab Kawasyifuz-Zuyuf fil-Madzahib al-Fikriyah al-Mu’ashirah hlm. 178.
Petama, pengetahuan langsung. Pengetahun ini berasal dari indera, meski menggunakan sarana alat. Kedua, pembuktian akal dengan ragam cara deduktif. Ketiga, informasi terpercaya. Sumber ini punya dua jalur: 1) Informan yang sudah biasa dipercaya oleh orang-orang dalam mengutip, 2) Dari jalur wahyu ilahi yang sudah Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih (nabi dan rasul).
Sebagaimana dapat kita pahami dari pembagian di atas, bahwa Islam tidak hanya mengakui satu jenis sumber ilmu. Tidak sepenuhnya menolak ilmu yang berasal dari selain teks kitab suci, tapi juga mengakui ilmu yang berasal dari akal, indera, atau informan yang terpercaya.
Bebeda dengan Barat. Mereka terpecah-pecah. Ada kaum yang hanya mau sumber ilmu dari akal. Paham ini disebut al-Aqlaniyah (rasionalisme). Ada juga yang hanya kepada indera. Gerakan ini disebut at-Tajribah al-Hissiyah (empirisme).
Baca Juga: Dalil Rasional Keberadaan Tuhan
Mereka masih berdebat, apakah pengetahuan tentang jumlah 4 itu dihasilkan dari murni akal yang berpikir 2 + 2 = 4, atau harus mengambil dua kue dan menambahkannya dua lagi hingga menjadi empat kue. Mana yang paling efektif di antara keduanya untuk dijadikan sumber pengetahuan.
Memang ke belakang, paham ini berusaha disatukan. Hingga orang Barat mengakui dua sumber ilmu secara bersamaan, akal dan indera. Akan tetapi tetap saja, mereka tidak mengakui sumber ilmu dari teks. Mereka tidak langsung tunduk pada satu pernyataan atau perintah kitab suci. Celah ini yang membuat mereka banyak mengingkari hal-hal ghaib. Orang yang tidak mengakui sumber ilmu dari teks kitab suci, sulit untuk menerima semua doktrin dalam Agama Islam.
Banyak doktrin dalam Agama Islam yang memang hanya berlandaskan kepada teks, bukan indera atau akal. Jiwa, surga, neraka, dan akhirat contohnya. Doktrin semacam ini disebut ghaibiyat. Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Kubral-Yaqiniyat al-Kauniyah;Wujudul-Khaliq wa Wadzifatul-Makhluq hlm. 301, mengatakan:
“Maksud ghaibiyat adalah segala hal yang satu-satunya cara untuk beriman kepadanya hanya melalui informasi pasti.”
Jadi kalau ada yang bertanya “Apa bukti keberadaan jiwa?” Jawabannya, bukti keberadaan jiwa adalah al-Qur’an. Al-Qur’an berbicara tentang jiwa (ruh). Keberadaan jiwa kita akui bukan melalui penelitian atau akal yang berpikir, melainkan karena al-Qur’an mengakui keberadaannya. Allah berfirman:
وَيَسْـاَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhamad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit” (Q.S al-Isra [17]:85)
Saat Imam Fakhrud-Din ar-Razi menjelaskan tafsir ayat di atas dalam Tafsir ar-Razi, juz 10, hlm. 116, beliau berkata:
“… Hakikat jiwa tidak diketahui. Banyak hal yang hakikatnya tidak ketahui. Tetapi, hanya karena sesuatu itu tidak kita ketahui hakikatnya, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.”
Konsep yang berlaku pada jiwa, juga berlaku pada doktrin ghaibiyat yang lain. Wallahu a’lam.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id