Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tradisi. Terlebih saat momen-momen tertentu, seperti hari raya iduladha, fitri dan lain-lain. Ada yang mudik, halalbihalal, hingga ziarah.
Fenomena yang terjadi saat berziarah, sering kali di antara masyarakat yang kerap membawa bunga untuk ditabur di pusara orang yang meninggal. Tradisi semacam inilah yang kami maksud sering mendapat penolakan dari para ustaz wahabi.
Dari beberapa penolakan dari para ustaz wahabi tersebut, setidaknya kami menangkap tiga syubhat yang kerap dijadikan andalan dalam menolak tradisi ini. Agar lebih mudah, kami akan membahas penolakan tersebut dalam format sub bab, berikut:
Tidak Memiliki Sandaran dalam Agama?
Sebenarnya, konsep mereka dari awal sudah anti terhadap tradisi berziarah, apalagi mau menabur bunga. Sementara, dalih mereka terkait tabur bunga ini adalah tidak ditemukan riwayat valid yang menunjukkan Nabi dan para Sahabat melakukan hal serupa. Namun, faktanya kita bisa temukan dalil terkait tabur bunga melalui hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang berbunyi:
“Suatu ketika Nabi SAW melewati dua kuburan, kemudian beliau berkata; ‘Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diazab, mereka berdua diazab bukan karena dosa besar. Adapun salah satunya dahulu tidak menutup diri ketika kencing, sedangkan yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah.’ Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, dan dibelah menjadi dua, masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut. Para sahabat bertanya; ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?’. Beliau menjawab, ‘Mudah-mudahan ini bisa meringankan azab keduanya selama belum kering’.” (HR. Bukhari, No.218 Juz 1 Hlm 54).
Para ulama fikih menghukumi sunah terhadap tradisi menabur bunga. Hal ini dikiyaskan kepada hadis Nabi di atas yang menancapkan pelapah kurma dalam keadaan basah. Ulama bahkan tidak memperbolehkan siapapun yang sengaja memindahkan atau menyingkirkan dahan basah atau bunga segar selama masih di atas kuburan.
Ajaran Non-Islami?
Alasan selanjutnya adalah kepercayaan mereka yang mengklaim bahwa tradisi ini bermula dari tradisi kaum Nasrani. Akan tetapi, kami masih belum menemukan data valid di kitab turats terkait asal-usul tradisi tabur bunga. Jika tetap ingin memaksakan tradisi ini dari kaum Nasrani, maka dalih yang diutarakan akan terbantah secara otomatis dengan adanya riwayat hadis di atas. Sebab, apapun pekerjaan yang dicontohkan oleh Nabi akan menjadi syariat selama tidak ada larangan khusus dari Nabi.
Perbuatan Khusus untuk Nabi?
Syubhat terakhir adalah analogi mereka perihal perbuatan Nabi saat menancapkan pelepah kurma termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa ditiru. Agaknya klaim tersebut terlalu memaksa. Karena, lag-lagi dalih mereka terbantah dengan adanya riwayat hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas di atas.
Perihal kekhususan Nabi, kita bisa meniru setiap perilaku beliau, kecuali ada larangan khusus dari Nabi yang mencegah kita untuk menunaikannya. Contoh larangan kekhususan Nabi sehingga kita tidak boleh meniru adalah tatkala beliau melarang shahabat Ghailan yang saat itu masih baru masuk Islam punya Istri sepuluh. Nabi langsung melarang Ghailan dengan bersabda, ”Pertahankan empat, dan ceraikan yang selebihnya.” Dengan larangan tersebut, secara otomatis umat beliau tidak bisa mengikutinya. Sementara, dalam kasus pelepah kurma, apakah setelah momen menancapkan pelepah kurma tersebut terdapat larangan khusus dari Nabi untuk umatnya? Tidak, bukan!
Muhammad Iklil | Annajahsidogiri.id