Pada diskusi sebelumnya kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa tatanan alam dan tatanan syariat Islam itu muncul dari sumber yang sama, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala, sehingga sekalipun keduanya memiliki karakter berbeda, di mana tatanan alam berdiri di atas perubahan yang dinamis sedangkan tatanan syariat dibangun di atas dasar yang tetap dan statis, namun keduanya tetap bisa selaras dan padu membentuk harmoni. Lalu bagaimana kita menjelaskan harmoni dan keterpaduan itu?
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syariat Islam dalam Pandangan al-Buthi (Bagian VI)
Bahwa hubungan manusia dengan alam terjalin di atas asas kemaslahatan yang berkesesuaian dengan fitrah yang ditetapkan oleh Allah terhadap manusia. Bentuk kemaslahatan insani itu beragam dengan tingkat urgensinya yang beragam pula. Sementara syariat Islam pada hakikatnya merupakan tatanan yang senantiasa berkesesuaian dengan kebutuhan dan kemaslahatan fitrah manusia yang beragam tadi. Syariat Islam mengatur dan menyusun beragam kemaslahatan fitrah manusia itu dalam tangga-tangga prioritas yang sangat detail dan presisi, yang pada gilirannya tangga-tangga itu mengejawantah dalam bentuk hukum wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
Dengan demikian, maka hukum-hukum syariat Islam itu tidak lebih dari sebagai media yang memberikan arahan dan pencerahan pada manusia melalui jalur terbaik guna menjalin harmoni dengan alam tempat mereka hidup, dengan segenap unsur-unsurnya yang tetap (ats-tsawābit) dan yang berubah-ubah (al-mutagayyirāt).
Siapapun yang mempelajari karakter syariat Islam dengan segenap ragam hukum dan penerapannya, akan ia akan segera mengetahui bahwa di dalamnya terdapat hukum-hukum yang tetap dan tidak menerima perubahan apapun karena berkaitan dengan kebutuhan dan kemaslahatan asasi manusia yang tetap dan tidak berubah-ubah, serta sekian banyak hukum-hukum lain yang bisa menerima perubahan dan pergantian karena berhubungan dengan berbagai kebutuhan dan kemaslahatan manusia non-asasi, yang bisa berubah-ubah dan silih berganti. Inilah arti dari kaidah fikih yang populer: “Di mana didapati kemaslahatan, maka di sanalah syariat Allah berada”.
Baca Juga: Epistemologi dan Legalitas Diskursus Kalam #1
Hanya saja, ketika berbagai bentuk kemaslahatan insani yang hakiki itu sangat mungkin untuk dipermainkan, dimanipulasi, dan diselewengkan oleh nafsu syahwat manusia, maka syariat Islam meletakkan neraca yang akurat dalam rangka memastikan maslahat-maslahat hakiki guna memenuhi kebutuhan fitrah manusia, lalu memetakan tangga-tangga prioritasnya, dan menentukan jalur penerapannya menjadi tiga tahap dan tingkatan, yaitu kemaslahatan primer (dharūriyyāt), sekunder (hājiyyāt), dan tersier (tahsīniyyāt).
Kemudian, syariat Islam mengarahkan manusia dalam menerapkan kaidah “Di mana didapati kemaslahatan, maka di sanalah syariat Allah berada” tadi pada neraca akurat tersebut, sehingga mereka bisa memetakan dan meletakkan tingkat-tingkat kemaslahatan pada proporsinya yang tepat. Dalam hal ini, Syaikh al-Buthi menulis suatu karya luar biasa berjudul “Dhawābithul-Mashlahah fisy-Syaī‘ah al-Islāmiyyah”. Suatu masterpiece yang menjadi rujukan primer bagi siapapun yang membicarakan perihal maslahah dalam syariat Islam, di mana kitab ini dipelajari di berbagai perguruan tinggi dunia Islam, dan mendapatkan perhatian yang luar biasa, mirip “al-Muwāfaqāt” karya asy-Syathibi (w. 790 H) pada masa lalu.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri