Belakangan ini, tren hijrah banyak digandrungi oleh kalangan menengah ke atas kawula muda kita, terlebih masyarakat perkotaan, baik gerakan di dunia maya maupun gerakan nyata. Hijrah remaja tersebut sering kali kita temukan di dunia maya, Instagram misalkan, bila kita tulis tagar #hijrah di kolom pencarian maka akan kita temukan sudah lebih dari 8 juta kiriman. Biasanya, dalam postingan ini mereka membagikan video dakwah ceramah ustaz-ustaz, quotes (catatan-catatan) Islami seperti potongan ayat, hadis atau pun kalam para ulama dan hal-hal yang berbau mengajak spirit netizen untuk berhijrah. Sementara di dunia nyata, para ustaz itu melakukan kajian-kajian ringan bersama masyarakat awam di masjid-masjid bahkan di apartemen sekalipun. Tak hanya itu, fenomena hijrah juga ada dalam hubungan sosial, gerakan ini juga membangun praktik manajemen bisnis, seperti suatu komunitas hijrah membikin merek dagang Islami, menyesuaikan diri dengan tren dan bersaing dengan merek-merek kekinian Barat. Tentu perkembangan seperti ini patut mendapat apresiasi. Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ”.
“Muslim sejati adalah bila muslim lain selamat dari lidahnya dan tangannya. Sedangkan Muhajir/orang berhijrah, adalah orang yang bertolak dari apa yang Allah SWT larang.” (HR. al-Bukhari, no. 10)
Hijrah Kemana?
Melihat perkembangan tren hijrah yang sedemikian ini menuntut kita untuk juga memahami apa yang dimaksud hijrah. Ibnu Hajar al-‘Asqallâni (773 H.) membagi hijrah menjadi dua macam; lahir dan batin. 1) Hijrah lahir adalah berpindah ke suatu tempat demi menjaga agama dari fitnah. 2) Hijrah batin berarti meninggalkan nafsu yang mengajak pada keburukan dan kejelekan setan. Dengan demikian, fenomena hijrah yang digaungkan akhir-akhir ini adalah hijrah batin, berpindah dari pribadi yang buruk menjadi pribadi yang baik. Namun maraknya gerakan hijrah juga tidak menutup kemungkinan adanya plus-minus di baliknya, khususnya dalam persoalan akidah, dan ini yang banyak tidak dipertimbangkan oleh mereka yang berhijrah. Berbicara ranah akidah ini, sejauh penulis amati ada tiga ragam hijrah batin yang ditawarkan di lapangan:
Pertama, Hijrah Kanan, berarti berpindah ke akidah kanan. Yang pada akhirnya, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT bertempat, memiliki tangan, mengkafir-kafirkan sesama, membidah-bidahkan amalan tetangga –padahal ada dalilnya, beranggapan Indonesia sebagai negara Thâghut dan menolak sama sekali sistem demokrasi yang ada. Akidah semacam ini hanya berpaku pada teks lahiriah al-Quran dan Sunah Nabi SAW tanpa mempertimbangkan ijmak dan qiyas ulama pakar.
Kedua, Hijrah Kiri. Salah satu hijrah yang ditawarkan oleh tren hijrah adalah Hijrah Kiri, yang berarti betolak menuju akidah kiri. Sederhananya, nanti mereka akan selalu menyuarakan toleransi kebablasan antar umat beragama, mengorbankan agama berkedok nasionalisme, mengkultuskan ahlulbait dan menghalalkan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Akidah ini bernama akidah liberalis yang dengan berani mengotak-atik syariat tanpa kecukupan alat yang memadai.
Baca Juga: Antara Liberal, Muktazilah dan Iblis
Ketiga, Hijrah Tengah, ini yang kita sebut akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Demikianlah yang dikehendaki Nabi SAW, “…bertolak dari apa yang Allah larang”. Sebab bagaimanapun, pada selain akidah Ahlussunnah wal Jamaah terdapat akidah yang justru Allah SWT larang, sebagaimana yang telah disebutkan. Gampangnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok yang berakidahkan Asy’ari atau Maturidi, dalam fikih bermazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali dan bertasawuf sebagaimana al-Ghazali dan al-Junaid al-Baghdadi.
Selektif Memilih Guru
Mereka yang berhijrah baik dengan mengikuti tren hijrah saat ini atau tidak, tergantung siapa yang membimbing. Maka selektiflah dalam memilih ustaz, kiai atau habib. Jauhi tokoh agama yang banyak menuai kontroversi. Hendaknya pula dipahami, bahwa ngaji instan secara online hanyalah kebutuhan sekunder, dan yang seharusnya dilakukan adalah mengaji langsung kepada ahlinya. Kata Abdullah bin Umar RA, “Ilmu itu adalah bagian dari agama dan salat adalah bagian dari agama, maka lihatlah dari mana kalian mendapatkan ilmu ini, dan bagaimana kalian mendapatkan cara salat ini. Sebab, kelak kalian akan ditanya.” tulis ad-Dailami.
Orang yang mencari ilmu tanpa sanad (guru), kata asy-Syafi’i, seperti orang yang mencari kayu di gelap malam dan ia tidak tahu di depannya ada ular mematikan. Wallâhu a’lam.
Fawaidul Hilmi | AnnajahSidogiri.id
Artikel ini telah dipublikasikan di Buletin Tauiyah Edisi 221 Bulan R. Awal 1441 H