Di kalangan masyarakat ada sebagian kecil yang melontarkan kata-kata yang mengesankan adanya tasybih (menyerupakan) Allah ﷻ dengan makhluk atau ciptaan-Nya. Kata-kata itu secara terang-terangan menetapkan ‘ jihah’ (arah tempat) kepada Allah ﷻ. Yang sering kita dengar adalah ‘apa kata yang di atas’’ dan kata-kata lain yang menetapkan arah tertentu kepada Allah ﷻ. Maka dari itu, perlulah kiranya penulis membahas tentang bagaimana para ulama menanggapi permasalahan tersebut.
Dalam menghadapi kata-kata semacam itu, perlu kita mengetahui terlebih dahulu maksud dari pernyataan pembicaranya. Apabila yang arti dari kata ‘di atas’ itu bukan arah atau tempat yang biasa kita dengar. Tapi hanya sindiran atas keagungan Allah ﷻ maka tidak perlu dipermasalahkan lagi. Namun, yang menjadi masalah adalah jika yang dikehendaki dari ‘di atas’ adalah arah atau tempat yang biasa kita dengar.
Baca Juga: Menelaah Hikmah dan Keadilan Qishash dalam Islam
Menurut al-Imam Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husein ar-Rozi at-Taimi al-Bakri dalam kitabnya, Asâsut-Taqdîs. Beliau menjelaskan bahwa orang yang menetapkan jihah (arah) kepada Allah ﷻ. Dalam hal ini seperti arah atas, bawah, samping, dan semacamnya, maka para ulama memilah menjadi dua pendapat. Pendapat yang pertama, orang tersebut tervonis kafir, karena telah menyerupai dan menyamai Allah ﷻ dengan makhluk yang membutuhkan arah dan tempat, yang mana hal itu tidak mungkin terjadi dan mustahil bagi Allah ﷻ.
Pendapat yang kedua, orang tersebut tidak tervonis kafir, karena seandainya syarat sahnya iman seseorang kepada Allah ﷻ itu harus mengetahui bahwa Allah ﷻ itu suci dari segala sesuatu, maka niscaya Rasulullah ﷺ tidak menghukumi imannya seseorang kecuali setelah beliau meneliti keadaan orang tersebut, apakah orang tersebut sudah tahu bahwa Allah ﷻ itu suci dari segala sesuatu atau belum. karena Rasulullah ﷺ menghukumi sahnya iman seseorang tanpa syarat ini, maka bisa kita simpulkan, bahwa mengetahui sucinya Allah ﷻ dari segala sesuatu termasuk arah dan tempat, itu tidak menjadi syarat sahnya iman seseorang. (Asâsut-Taqdîs hlm. 226-227).
Baca Juga:Tuduhan Palsu Kaum Liberal
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang kedua ini merupakan pendapat yang relevan, karena mengkafir-kafirkan seorang muslim, itu bukan suatu yang remeh di tengah-tengah masyarakat, apalagi Allah ﷻ tidak meciptakan akal manusia dengan porsi yang sama dalam memahami sesuatu, karena di antara mereka ada orang awam yang pikirannya masih dangkal dalam memahami sesuatu, dan ada orang alim yang pikirannya sudah mahir dalam memahami sesuatu. Wallâhu A’lam bis-Shawâb.
Sirril Asror | TAUIYAH