Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, yang makruf dengan sebutan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam manuskrip kitab at-Tauhîd tertulis bahwa Abu Manshur merupakan keturunan dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari, seorang tokoh shahabat Nabi yang rumahnya menjadi tempat pertama Nabi menetap pada kota Madinah ketika hijrah dari kota Makkah. Kamaluddin Ahmad al-Bayadhi dalam kitab Isyârat al-Marâm min Ibâratil-Imâm juga menyimggung hal ini.
Para ahli sejarah kesulitan untuk melacak kelahiran, masa kecil dan pengembaraan ilmunya. Mengenai tahun kelahirannya, Dr. Muhammad Ayyub menyatakan bahwa Abu Manshur al-Maturidi lahir sekitar sebelum tahun 238 H. Ia hidup pada zaman kemajuan daerah Asia Tengah sebagai pusat peradaban Islam. Sebagian ulama besar yang sezaman dengan beliau adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (w. 256 H) dan Muslim bin Hajjaj an-Naisabur (w. 261 H). Dari lain sisi, Imam Abu Zahrah berkata bahwa kelahiranya pada pertengahan abad ke-3 Hijriah, tepat setelah tragedi Mihnah. Al-Maturidi lahir pada desa Matrid, termasuk bagian dari kota Samarqand, yang merupakan bagian dari salah satu kota besar wilayah Mâ Warâ’a an-Nahr. Wilayah ini sekarang kurang lebih terletak sekitar Uzbekistan. Dari daerah Matrid itulah nisbatan nama beliau.
Baca Juga: Imam asy-Syahrastani; Ulama Sekokoh Baja
Imam Abu Mansur al-Maturidi ini lebih kesohor sebagai pemikir mazhab Hanafi. Bahkan, ia terkenal dengan Ilmu Kalam pada mazhab tersebut. Beliau belajar Ilmu Kalam dari salah satu gurunya yang bernama Nashr bin Yahya al-Balkhi (w.628 H). Sebelumnya kota tempat tinggalnya terkenal sebagai pusat diskusi Ilmu Fikih dan Ushul Fikih antara mazhab Syafi’i dan Hanafi. Kemudian setelah beberapa tahun berlalu, tepatnya setelah tragedi Mihnah memuncak, tempat tinggalnya berbalik menjadi pusat diskusi Ilmu Teologi (pengetahuan Ketuhanan), dan pada Masa itulah Imam al-Maturidi mulai terlihat akan sosok yang berpengaruh dalam persoalan Ilmu Teologi. Keahliannya ini terbukti ketika beliau mendapatkan 22 undangan diskusi dalam satu tempo pada kota Bashrah. Konsentrasi Imam Maturidi beralih dari Ilmu Fikih menuju Ilmu Kalam karena tuntunan situasi ketika itu memandang perlunya berjuang merendam hujatan-hujatan dari kelompok yang ingin mendobrak tatanan yang telah ulama salaf rumuskan.
Akhirnya, beliau mempunyai inisiatif untuk mengedepankan Ilmu Teologi dan diskusi (munâdzarah) sebagai usaha kolektif untuk merancang konstruksi akidah Ahlusunah wal Jamaah yang sesuai dengan rumusan ulama salaf. Imam al-Maturidi berjuang keras mempertahankan sunah dari lawan-lawannya. Beliau bersama Imam Abu Hasan al-Asy’ari tak ubahnya saudara kembar.
Imam Abu Mansur al-Maturidi berguru kepada Abu Bakar Ahmad al-Juzjani, Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh, dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H), dan Muhammad bin Muqatil ar-Razi (w. 248 H). Seluruh guru Abu Manshur al-Maturidi tersebut mengambil sanad keilmuan kepada Abu Sulaiman bin Musa al-Juzjani. Sedangkan, Abu Sulaiman bin Musa al-Juzjani mengambil sanad keilmuan kepada al-Qadhi Abu Yunus (w. 182 H) dan Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H) yang merupakan dua murid terbaik imam Abu Hanifah. Murid-murid Abu Manshur al-Maturidi yang paling masyhur adalah Abu Qasim as-Samarkandi (w. 342 H), Ali ar-Rustaghni (w. 350 H), dan Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H).
Baca juga: KH. M. Hasyim Asy’ari; Rihlah Sang Pendiri NU
Imam Maturidi juga tidak jauh beda dengan saudara kembarnya, yaitu: Imam abu hasan al-Asy’ari. Beliau juga membuat beragam karya sebagai wujud dari usahanya untuk membentengi akidah salaf. Antara lain Bayânu Wahmil-Mu’tazilah, Raddul-Ushûl al-Khomsah li Abî Muhammad al-Babili, Raddu awa’ilil-Abdillâh lil-Ka’bi dan Raddu Tahdzîbil-Jadl lil-Ka’bi, keempat-empatnya sebagai bentuk penentangannya terhadap golongan Muktazilah yang dipelopori oleh Abu Muhammad al-Bahili dan al-Ka’bi daerah Samarqand. Senada dengan hal ini, Ibrahim al-Fayumi mengutip bahwa al-maturidi juga mengarang kitab untuk menentang Qaramithah yang sedang ‘bersuara’ pada masa itu, seperti kitab ar-Raddu ‘ala Ushûlil-Qaramithah dan Raddu kitâbil-Imâmah li Ba’dlir-Rawâfidl.
Karya-karya al Maturidi sangat kental sekali dengan pokok pemikiran Abu Hanifah. Beliau mempelajari dan meriwayatkan kitab al-Fiqh Akbar yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah dan risalah-risalah kecil yang karangan fuqaha’ mazhab Hanafi, seperti ar-Risâlah, al-fiqh al-Absath, Kitabul-Ilmi wal-Muta’allim dan Washiyah. Kitab-kitab tersebut menjelaskan akidah Ahlusunah wal Jamaah yang benar. Sebelum bermuara pada kesempurnaan, mula-mula seluruh karya tersebut tanpa ada dalil dan pembuktian. Barulah Ketika kitab-kitab tersebut berada pada genggaman Imam al-Maturidi, mulailah bermunculan karya-karya yang mengupas akidah Abu Hanifah serta dalil dan ideologi. Dr. fathullah khalifah berkata. “Di tangan Maturidi akidah-akidah ini (karya Abu Hanifah) dan pokok-pokok yang terkandung dalamnya beralih dari sekedar akidah (tanpa argumen ilmiah) menuju Ilmu Kalam, karena ia telah membuktikan pokok-pokok akidah tersebut dalam kitab-kitabnya dengan dengan dalil-dalil yang kuat, dan memperkuat furu’-nya dengan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan.”
baca Juga: Imam Haramain; Pelita Aswaja dari Tanah Persia
Banyak ulama berguru kepadanya. Antara lain Ibnu Sha’d, Abu al-Qas az-Zawawi, Ibnu Abi Madyan, Syekh Ayahya bin Muhammad, Ibnu al-Hajj al-Baidari, Ibnu al-`Abbas ash-Shagir, Waliyullah Muhammad al-Qala’i, pemuka sufi pada masanya, serta Ibrahim al-Judaiji, Ibnu Malukah dan selainnya.
Para ulama ahli sejarah sepakat menyatakan bahwa Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H. Abu Manshur al-Maturidi wafat pada usia sekitar 100 tahun dan makamnya berada di daerah Samarqand. Ketika pemakamannya, ada salah satu murid beliau yang bernama Abu Qasim as-Samarqandi menulis pada batu nisan Imam Maturidi dengan sebuah pujian yang indah untuk sang guru,
هَذَا قَبْرُ مَنْ جَازَ العُلُوْمَ بِأَنْفاَسِهِ، وَاِسْتَنْفَدَ الْوُسْعَ فِي نَشْرِهِ وَأَقْبَاسِهِ فَحَمِدْتُ فِيْ الدًيْنِ آَثَارَهُ وَاَجْتَنِى مِنْ عُمْرِهِ ثَمَارَه
“Ini adalah makam tokoh yang telah mencapai berbagai ilmu dalam setiap nafasnya. Ia telah menghabiskan masanya untuk menyebarkan dan mempelajari ilmu. Maka, terpujilah jejak langkahnya dalam membela agama serta dipetiklah buah-buah karya dan jerih payah dari seluruh umurnya.” (Ahmad bin Auwd al-Hazb, al-Maturidiyyah Dirâsatan wa Tahqîqan).
M. Roviul Bada | Annajahsidogiri.id