Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengenalkan kepada para pembaca sekilas biografi salah satu ulama Nusantara. Beliau adalah Syekh Nawawi Banten, sosok ulama Nusantara yang namanya telah terdengar di berbagai belahan dunia. Ia dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di daerah Banten. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali. Nama tersebut adalah pemberian dari kedua orang tuanya, dengan harapan, putra mereka tumbuh menjadi seperti al-Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi, salah satu ulama besar yang memiliki banyak karangan kitab.
Syekh Nawawi bukanlah keturunan orang biasa. Beliau adalah keturunan bangsawan, keturunan ke-11 dari Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan pertama kerajaaan Banten sekaligus putra Sunan Gunung Jati. Syekh Nawawi hidup pada masa kemunduran kerajaan Banten. Dengan kelahirannya, lahir pula semangat baru masyarakat muslim di Indonesia, terutama di tanah Banten. Berdasarkan sejarah yang ada, Syekh Nawawi juga hidup pada masa kolonialisme Belanda.[1] Dan itulah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong beliau untuk rihlah ke Tanah Suci Makkah.
Pada mulanya, Syekh Nawawi sudah menimba ilmu pada umur lima tahun kepada ayahnya, Syekh Umar yang menjadi tokoh besar pada saat itu di daerah Banten. Ilmu yang dipelajarinya adalah dasar-dasar agama dan ilmu bahasa Arab. Kemudian, di saat Syekh Nawawi berumur delapan tahun (tiga tahun setelah ia mendapat bimbingan dari sang ayah), ia meminta izin kepada sang ibu untuk menimba ilmu dipesantren lain. Ia tidak berangkat sendiri, melainkan bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad. Sang ibu berpesan kepadanya agar tidak kembali sebelum tunas kelapa yang ditanam ibunya tumbuh dan berbuah. Diperkirakan, setelah enam tahun setelahnya beliau pun mendapat izin untuk pulang kampung. [2]
Pada saat Syekh Nawawi berusia lima belas tahun (dua tahun setelah ayahnya wafat) ia memutuskan untuk berangkat haji ke Tanah Suci Makkah.[3] Di sana beliau tinggal selama kurang lebih tiga tahun, setelah itu Syekh Nawawi kembali ke tanah kelahirannya, Banten. Tidak berselang lama, beliau kembali lagi ke Makkah dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.
Samsul munir amin dalam buku yang bertajuk “Sayyid Ulama Hijaz” (hlm.25) menyebutkan beberapa faktor yang mendorong kepergian syekh Nawawi ke mekkah, salah satunya adalah menimba ilmu. Di sana beliau belajar kepada banyak ulama-ulama besar, diantaranya: Syekh Sayid Ahmad an-Nahrawi, Sayid Ahmad ad-Dimyathi, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf sumbulaweni, Syekh Abdul Hamid ad-Daghastani. Beliau belajar di Makkah kurang lebih selama tiga puluh tahun. Tidak hanya itu, beliau juga sempat belajar di Madinah. Di Madinah, beliau belajar kepada beberapa ulama, salah satunya ialah Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali.
Di Makkah, Syekh Nawawi menghabiskan waktunya dengan belajar, mengajar, dan mengarang beberapa kitab. Di antara murid-murid beliau yang pernah belajar kepadanya: KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul-Ulama; KH. Asy’ari Bawean, menantu syekh Nawawi banten; KH. Tubagus Bakhri; KH. Asnawi; KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah.[4] Di samping dari Indonesia, beberapa murid beliau juga berasal dari berbagai wilayah lainnya, mulai dari Malaysia, Philipina, Pakistan, Afrika, dan Saudi Arabia.[5]
Syekh Nawawi al-Bantani adalah ulama yang memegang teguh ajaran Asy’ari. Di antara karangannya yang terkenal mengenai akidah adalah kitab Nuruzh-Zhalâm, salah satu kitab syarah ‘Aqîdatul-‘Awâm yang paling banyak dipelajari di berbagai pesantren. Di antaranya lagi adalah kitab at–Tausyîkh ‘Alâ Ibni-Qâsim, at-Tafsîr al-Munîr atau yang lebih dikenal dengan kitab Murâh Labîd fî Kasyfi Ma‘nal-Qur’ân al-Majîd, dan karangan beliau lainnya. Disebutkan bahwa karya Syekh Nawawi mencapai sembilan puluh lebih karya, dan kebanyakan dari karya-karya tersebut sudah tercetak dan tersebar di pesantren-pesantren.
Setelah mengarang kitab tafsir Murâh Labîd, Syekh Nawawi mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulamâ’il-Hijâz” yang diberikan oleh ulama pada masa itu. Sebab lain adalah hijaz merupakan tempat tinggal imam Nawawi pada saat yang sama. dan Sejak saat itulah beliau terkenal dengan julukan Sayid Ulama Hijaz.[6]
Dalam beberapa keterangan, disebutkan bahwa Syekh Nawawi sempat mensyarahi kitab Minhajuth-Thâlibîn. Namun, sayangnya, sebelum kitab itu sempurna beliau telah diambil oleh Sang Mahakuasa. Beliau wafat di Makkah al-Mukarramah pada akhir bulan Syawal 1314H/1897M. Jasad beliau dikebumikan di pemakaman Ma’la dekat pesarean Sayidah Asma’ binti Abi Bakar dan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Moch Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id
[1] Rohimuddin nawawi al-bantani, syekh nawawi al-bantani ulama indonesia yang jadi imam besar di masjidl haram(PT melvania media indonesia, 2017), hlm.16,17
[2] Shalahuddin dari Iskandar ahza, seratus tokoh yang paling berpengaruh di indonesia(jakarta: PT Intimedia cipta nusantara, 2003), hlm.87
[3] Yahya zahid ismail, kosep pendidikan nawawi al-bantani, jurnal studi keislaman(terggalek: STIT Sunan Giri, 2015) hlm.126
[4] Yahya zahid ismail, konsep pendidikan nawawi al-bantani, hlm.127
[5] Abdul Hadi Jawanih, pawai Jejak, hlm.77
[6] Rohimuddin nawawi al-bantani, syekh nawawi al-bantani ulama indonesia yang menjadi ulama besar di masjidil haram, hlm.166