Kemaksuman para imam merupakan ajaran pokok yang paling penting dalam syiah, sebab tanpa adanya kemaksuman, berbagai pujian melangit yang mereka berikan kepada para Imam seolah tidak ada apa-apanya. Tanpa adanya status maksum, para imam sama halnya dengan manusia biasa dalam lupa dan perbuatan dosa. Oleh karenanya, konsep ishmah memiliki keterkaitan dengan konsep imamah. Dengan meyakini para imam maksum, maka sanjungan-sanjungan yang berlebihan kepada para imam tak lagi sia-sia.
Ada beberapa ayat al-Quran yang dijadikan dalil sebagai kemaksuman para imam, di antaranya adalah Surat al-Baqarah ayat 124:
{ وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124)} [البقرة: 124]
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh umat manusia’ Dia (Ibrahim) berkata ‘Dan (juga) anak dari cucuku?’ Allah berfirman ‘(Benar, tetapi) Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang dzalim’
Menurut Syiah, ayat ini secara tegas mengartikan bahwa para imam wajib bersifat maksum, karena jika para imam tidak maksum, tentu janji Allah akan mengena kepada orang-orang yang berbuat dosa alias zalim, padahal Allah telah menjanjikan bahwa imam tidak akan berasal dari orang zalim. Oleh karenanya, para imam wajib bersifat maksum.
Namun yang perlu dipertanyakan di sini, benarkah surat al-Baqarah di atas memang mengindikasikan bahwa para imam bersifat maksum?
Di sini akan kami paparkan penafsiran ulama tentang ayat tersebut:
فَقَالَ خَصيف عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: {قَالَ لا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ} قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُوْنُ فِي ذُرِّيَتِكَ ظَالِمُوْنَ
تفسير ابن كثير 1/209
“Mengenai firman Allah ‘Janjiku tidak akan mengena kepada orang-orang zalim’ Imam Khasif mendengar dari Imam Mujahid, beliau (Imam Mujahid) berkata (maksud tentang ayat tersebut) ‘Sesungguhnya dari keturunanmu akan muncul orang-orang zalim’
Imam Thabari menjelaskan maksud dari zalim di atas dengan orang yang berbeda agama dengan Nabi Ibrahim. (Jami’ul Bayan 2/19)
Jadi, yang dimaksud zalim dalam ayat tersebut adalah mereka yang tidak sesuai dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim. Maka seharusnya antonim dari kata zalim dalam ayat tersebut adalah mereka yang tetap mengikuti ajaran Nabi Ibrahim (Islam) bukan maksum (bersih dari dosa dan lupa).
Oleh karenanya, Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir memberikan penjelasan disyaratkan pemimpin memiliki sifat adil berdasarkan ayat tersebut, karena memang mafhum mukhalafah dari lafaz zalim pada ayat tersebut adalah adil (bukan maksum).
التفسير المنير 1/ 309
وَيُفْهَمُ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى : (لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ) عَدَمُ جَوَازِ تَوْلِيَّةِ الظَّالِمِ ، أَوِ الْفَاسِقِ ، وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ القَاضِيْ وَبَيْنَ الخَلِيْفَةِ فِي أَنَّ شَرْطَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا العَدَالَةُ
“Dari firman Allah ‘Janjiku tidak akan mengena kepada orang-orang zalim’ bisa dipahami bahwa tidak boleh mengangkat orang zalim atau orang fasik sebagai pemimpin. Baik kadi maupun khalifah harus sama-sama memiliki sifat adil”.
M. Akmal BilHaq | annnajahsidogiri.id