Kalimat syahadat sebagai iqrar iman
Melanjutkan uraian sebelumnya, setelah keimanan menancap kuat dalam hati seseorang, dibutuhkan iqrar berupa kalimat syahadat sebagai verivikasi atas keimanannya. Hal ini berlaku bagi mereka yang mampu, yakni memiliki lisan yang dapat berbicara. Beda halnya bagi mereka yang memiliki kekurangan berupa tunawicara, maka pengucapan syahadat tidak lagi dibutuhkan.
Keharusan mengucapkan kalimat syahadat ini ditujukan bagi non muslim yang hendak masuk islam. Sedangkan anak-anak yang terlahir dari orang tua yang beragama islam tidak butuh melakukan iqrar dengan mengucapkan syahadat. Sebab, mereka langsung beragama islam secara otomatis sebagaimana kedua orangtuanya. Hukum islam yang berkaitan dengan kehidupan di dunia berlaku bagi mereka bahkan jika seandainya sepanjang hidup mereka sama sekali tidak mengucapkan kalimat syahadat.
Kemudian dalam prakteknya, apakah pengucapan syahadat diharuskan menggunakan bahasa arab? Jawabannya adalah tidak, seseorang boleh saja mengucapkan syahadat yang diterjemahkan kedalam bahasanya sendiri, meskipun dia mampu mengucapkannya menggunakan bahasa arab, asalkan terjemahan tersebut tidak keluar dari maksud yang terkandung dalam kalimat syahadat versi redaksi arabnya[1].
Khilafiyah ulama tentang syahadat
Ulama silang pendapat mengenai apakah mengucapkan dua kalimat syahadat termasuk syarat iman ataukah merupakan bagian dari iman itu sendiri, sebagaimana yang dipaparkan oleh Al-Baijuri dalam karyanya; tuhfatul murîd. Adapun perinciannya sebagai berikut:
-
syahadat sebagai syarat iman
Ulama yang menjadikan An nuthqu bissyahâdah (pengucapan syahadat) sebagai syarat iman. Adanya pengucapan kalimat syahadat merupakan syarat disebut mukmin dan tergolong diantara barisan umat islam, yang mana hal ini akan memberikan konsekuensi berupa hukum-hukum islam terkait warisan, pernikahan, kebolehan menjadi imam shalat, bermakmum di belakangnya, dan hukum-hukum lainnya. Mengapa demikian, dikarenakan Tashdîqul-Qalbi(pembenaran di dalam hati) meskipun disebut iman, hanya saja masih bersifat samar. Oleh karena itu dibutuhkan tanda atau bukti yang jelas dan dapat menunjukkan pada adanya iman tersebut.
baca juga: Iman; Antara Ucapan dan Perbuatan
Seseorang yang meyakini kebenaran islam tapi tidak mengungkapkannya dengan syahadat, bukan disebabkan uzur yang mencegahnya ataupun bukan karena menolak (enggan) mengucapkan, maka dia hanya dianggap mukmin ‘inda allah yakni mukmin yang kepastiannya tergantung kehendak Allah ﷻ, tapi tidak tergolong mukmin berdasarkan hukum islam di dunia.
Adapun jika tidak mengucapkan syahadat di sebabkan uzur, seperti tunawicara, namun terdapat faktor atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa orang itu tergolong mukmin, seperti menunjukkanya dengan isyarat, maka dia tergolong mukmin sejati baik berdasarkan hukum islam di dunia ataupun di akhirat (‘inda Allah ﷻ).
Sedangkan jika menolak atau enggan mengucapkan syahadat, yakni seandainya diminta mengucapkannya orang tersebut menolak, maka dia termasuk kafir dan keimanan yang ada didalam hatinya tidak berguna meskipun di akhirat kelak.
Kemudian seseorang tergolong munafik apabila dia mengiqrarkan bahwa dia beriman dengan mengucapkan syahadat tetapi hatinya tidak membenarkan hal tersebut. Oleh karena itu, dia tergolong mukmin berdasarkan hukum islam di dunia, namun tidak dengan hukum di akhirat (tidak termasuk mukmin ‘inda Allah ﷻ). Namun, perlu diingat bahwa hal di atas berlaku apabila si munafik tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kekufuran, seperti bersujud kepada berhala. Jika hal itu terjadi, maka dia dipastikan kafir. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama mazhab asy’ari dan maturidi.[2]
Sebagian kecil dari ulama mazhab asy’ari dan maturidi ada yang menyebutkan bahwa pengucapan kalimat syahadat adalah syarat iman bisa dianggap sah. Tanpanya iman seseorang tidak berguna dan dia tidak termasuk golongan orang mukmin.[3]
Bersambung…..
Moch. Muzakki Zen | AnnajahSidogiri.Id
[1] Al-Baijuri, tuhfatul-murîd, hal. 61, Darul kutub islamiyah.
[2] Al-Baijuri, tuhfatul murid, hal. 62, cet. Darul kutub islamiyah.
[3] Al-Baijuri, tuhfatul murid, hal. 62, cet. Darul kutub islamiyah.