Banyak orang di luar sana yang mengklaim berpikir rasional. Mengatakan bahwa “Adanya Allah dan tidak adanya Allah itu sama saja.” Mereka mengatakan pengetahuan hanya bisa tercapai apabila dapat kita indera. Yang membikin konklusi, bahwa segala sesuatu yang tidak dapat terdeteksi oleh indra tidak dapat dianggap rasional. Entah dari mana dasar pemikiran ini berasal.
Pola pikir semacam ini sebenarnya terjebak dalam ideologi faham empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman indera. Dalam pandangan mereka, pengetahuan yang valid harus terverifikasi melalui fakta dan eksperimen. Oleh karena itu, apa pun yang tidak dapat kita indera atau kita ukur bisa dikatakan tidak relevan, atau bahkan tidak nyata.
Baca juga: Cara Beriman Pada Ghaibiyat: Belajar dari Kasus Yuval Noah Harari
Namun, kenyataannya, banyak ayat dalam al-Quran yang secara esensial mendorong manusia untuk berpikir. Proses berpikir tersebut, jika kita lakukan dengan benar, akan mengantarkan pada kesimpulan logis tentang keberadaan Allah (yang saat ini tidak dapat terjangkau dengan ideologi empirisme). Kami akan memaparkan beberapa contoh sebagai sampel untuk mendukung argumen ini.
Dalil Fitrah
Manusia secara naluriah mengakui keberadaan Allah, baik ia menyadari-Nya atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًاۗ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَۚ
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam) sesuai fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rūm [30]:30)
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, dalam tafsirnya mengenai makna kata fitrah pada ayat ini, mengarahkan pemahaman kepada konsep tauhid. Menurut beliau, setiap manusia secara naluriah mengakui keberadaan Allah sebelum mereka lahir, yakni ketika berada di dunia ruh. Hal ini merujuk pada firman Allah yang berbunyi, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” yang dijawab oleh semua ruh dengan pengakuan, “Benar, kami bersaksi.” [1]
Memang, dalil ini tidak secara langsung menunjukkan keberadaan Allah secara rasional. Namun, dalam filsafat Islam, konsep ini biasa kita ketahui dengan istilah first principles (prinsip pertama) yang dapat diterima tanpa memerlukan bukti tambahan. Keberadaan fitrah menunjukkan bahwa pengakuan terhadap Pencipta adalah sifat bawaan manusia.
Dalil Kosmologis
Alam semesta adalah salah satu dari sekian banyak hal menakjubkan dari keagungan Pencipta. Tidak mungkin sebuah keberadaan yang dahsyat ini (alam semesta) terbentuk dengan sendirinya. Allah bersabda dalam Al-Quran surat Aṭ-Ṭūr [52]:35 yang berbunyi:
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ الْخٰلِقُوْنَۗ
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri?).”
Al-Imam al-Baghawi, dalam tafsirnya menjelaskan kemustahilan adanya ciptaan tanpa pencipta, karena keberadaan istilah Khalq (ciptaan) meniscayakan adanya Khaliq (pencipta). Hubungan antara kedua istilah ini merupakan keharusan yang bersifat aksiomatik dan tidak dapat terpisahkan. Sehingga jika mereka mengingkari adanya pencipta, maka mereka harusnya sekarang tidak ada karena keterikatan dua kata ini.
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: مِنْ غَيْرِ رَبٍّ، وَمَعْنَاهُ: أَخُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ خَلَقَهُمْ فَوُجِدُوا بِلَا خَالِقٍ، وَذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ، لِأَنَّ تَعَلُّقَ الْخَلْقِ بالخالق من ضرورة الاسم، فلا بد له من خالق، فَإِنْ أَنْكَرُوا الْخَالِقَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُوجَدُوا بِلَا خَالِقٍ[2]
“Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatu? Ibn Abbas berkata: ‘Tanpa Tuhan.’ Maksudnya adalah: ‘Apakah mereka tercipta tanpa sesuatu yang menciptakan mereka, sehingga ada tanpa pencipta?’ Dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak boleh terjadi, karena keterikatan makhluk dengan penciptanya adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik, sehingga pasti ada pencipta bagi mereka. Jika mereka mengingkari pencipta, maka tidak mungkin mereka ada (khalq) tanpa pencipta (khaliq).”
Baca juga: Dalil Rasional Keberadaan Tuhan
Argumen teleologis (tata kelola alam semesta)
Matahari muncul dari timur lalu terbenam dari barat, satu hari selalu berjumlah 24 jam, rantai makanan terus berlanjut dan tidak terputus, bintang-bintang dan planet-planet selalu berjalan sesuai pada jalurnya. Begitu kompleks pengaturan alam semesta ini, lalu, siapa kemudian yang melakukannya? Apa mereka melakukannya dengan sendiri tanpa ada yang menjalankan?.
Dalam argument teolologis, keteraturan dan ketepatan pergerakan alam semesta merupakan sebuah ciptaan yang indah, menunjukkan terhadap keberadaan penciptanya. Dan, setiap apapun yang terjadi pasti terdapat hikmah di dalamnya. Segala sesuatu yang terbentuk teratur dan tersistem sedemikian rupa bukanlah semata-mata kebetulan. Hal ini menunjukkan ada suatu entitas yang mengatur semua ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang,47) bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.” (Al-Baqarah [2]:164)
Dalil kontingensi (keterbatasan makhluk)
Makhluk hidup dan seluruh benda di alam ini memiliki sifat terbatas, bergantung, dan membutuhkan sesuatu di luarnya. Berdasarkan sifat keterbatasan ini, kita dapat menyatakan bahwa berbagai ilmu pengetahuan dapat tersimpulkan tanpa melibatkan faktor di luar pengalaman inderawi. Namun, keterbatasan yang ada justru menunjukkan keberadaan suatu entitas yang tidak terbatas, mandiri, dan menjadi sumber segala sesuatu, yaitu Allah. Hal ini selaras dengan firman Allah.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
“Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah. Hanya Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Fāṭir [35]:15)
Demikianlah sekelumit dalil dari Al-Qur’an mengenai keberadaan Allah. Dalil berikutnya akan menjadi bukti yang lebih konklusif tentang eksistensi-Nya. Bersambung…
M. Salman Ar Ridlo |AnnajahSidogiri.id
[1] Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz.25, halaman.98.
[2] Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, halaman.295/4.