وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
Ayat di atas menjadi dasar wajibnya melaksanakan haji bagi kaum Muslimin dan Muslimat. Haji merupakan rukun Islam yang terberat karena pelaksanaannya yang membutuhkan perjalanan jauh dan biaya pemberangkatan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, ibadah haji hanya diwajibkan bagi seseorang yang sudah dikategorikan mampu.
Di negeri kita, biasanya setiap kali seseorang pulang dari melaksanakan haji, keluarga dan para kerabat akan menyambutnya dengan gembira. Sambutan ini umumnya berupa pembacaan shalawat, doa, serta makan bersama. Dalam masyarakat Jawa, tradisi ini disebut walimatul hajj atau selametan haji. Lalu muncullah pertanyaan, “Adakah dalil yang mendasari tradisi ini?”
Baca juga: Polemik Tradisi 40 Harian
Mengenai pertanyaan ini, tentu jawabannya adalah tidak, karena memang tidak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan hal yang sama. Namun perlu diketahui bahwa anjuran untuk mengadakan selametan haji bukan disebabkan oleh haji itu sendiri, melainkan karena haji merupakan suatu perjalanan yang panjang. Anjuran ini dilandaskan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas:
“لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ اسْتَقْبَلَتْهُ أُغَيْلِمَةُ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَحَمَلَ وَاحِدًا بَيْنَ يَدَيْهِ وَآخَرَ خَلْفَهُ“
“Ketika Nabi ﷺ tiba di Mekah, Beliau disambut oleh anak-anak kecil dari suku Bani ‘Abdul Muthalib, lalu Beliau menggendong salah satu dari mereka di depan dan yang lainnya di belakang.”[1]
Terkait dengan menghidangkan makanan pada saat pelaksanaan selametan haji, hal tersebut merupakan kesunahan yang dibenarkan oleh para ulama. Syekh Zakaria al-Anshari berpendapat dalam kitab Asna al-Mathalib:
وَلِلْقُدُومِ من السَّفَرِ نَقِيعَةٌ من النَّقْعِ وهو الْغُبَارُ أو النَّحْرُ أو الْقَتْلُ وَهِيَ ما أَيْ طَعَامٌ يُصْنَعُ له أَيْ لِلْقُدُومِ سَوَاءٌ أَصَنَعَهُ الْقَادِمُ أَمْ صَنَعَهُ غَيْرُهُ له
“(Disunahkan) ketika datang dari suatu perjalanan untuk menghidangkan naqî‘ah, berasal dari naq yang artinya debu, penyembelihan, atau pemotongan hewan. Naqî‘ah itu adalah makanan yang dihidangkan dalam jamuan upacara penyambutan (hal itu boleh dilakukan) baik jamuan itu disediakan oleh pihak yang datang atau orang lain.” [2]
Lalu, Imam Ramli memberikan batasan bahwa naqî‘ah ini disunahkan, sebagaimana berikut:
وَأَطْلَقُوا نَدْبَهَا لِلْقُدُومِ مِنْ السَّفَرِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ فِي السَّفَرِ الطَّوِيلِ لِقَضَاءِ الْعُرْفِ بِهِ
“Para ulama menyebutkan kesunahan naqî‘ah secara mutlak untuk jamuan penyambutan orang yang tiba dari perjalanan. Kejelasan ini berlaku bagi perjalanan jauh yang ditempuh untuk menunaikan kepentingan apa saja pada umumnya.” [3]
Baca juga: Perbedaan antara Sifat Ma’ani dan Ma’nawiyah dalam Akidah Islam
Bersandarkan pada penjelasan di atas, kita pahami bahwa tradisi selametan haji memang tidak secara langsung dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, tetapi memiliki dasar sunah berupa anjuran menyambut orang yang kembali dari perjalanan jauh dengan jamuan (naqî‘ah), sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Hal ini mencerminkan nilai syukur serta kebersamaan dalam masyarakat.
lubbil labib | AnnajahSidogiri.ID
[1] Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahîh Bukhôri, Juz.03, Hal.07, Jamiul Kutub.
[2] Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathâlib, Juz.3, Hal.224, Jamiul Kutub.
[3] Syamsuddin ar-Ramli, Nihâyah al-MuhtâJ, Juz.6, Hal.369, Jamiul Kutub