Pemecatan dan pergantian khalifah
Di dunia hanya boleh ada seorang khilafah saja, dan khalifah yang sudah resmi dibaiat oleh umat tidak boleh digantikan oleh siapapun. Ia hanya boleh diganti atau dipecat jika:
1. Meniggal.
2. Memundurkan diri.
3. Dilengserkan karena tingkahnya berubah seperti tidak adil (fasik) dan kurangnya panca indra.
4. Murtad.
5. Menjadi tawanan.[1]
Struktur pemerintahan khilafah
Sistem khilafah dalam bingkai Daulah Islamiah setidaknya terdiri dari delapan struktur atau perangkat: 1. Khalifah. 2. Mu’âwin tafwîd (pembantu khalifah dalam bidang pemerintahan). 3. Mu’âwîn tanfîz (pembantu khalifah bidang administrasi). 4. Amîrul jihâd (panglima perang). 5. Wali (pimpinan daerah). 6. Qadi (hakim). 7. Mashâlih daulah (departemen negara). 8. Majelis umat (lembaga wakil rakyat). Struktur negara seperti ini telah dibuat oleh Rasulullah untuk membantu pekerjaannya sebagai kepala negara.[2]
Sistem Politik khilafah
Sistem khilafah berdiri di atas landasan syariat Islam yang menjadi asas atau dasar negara sebagaimana tercantum pada Rancangan Undang-Undang Dasar (RUU) dalam hukum-hukum Umum. Di dalam mengadopsi (tabanni) undang-undang atau hukum seorang khalifah harus menjadikan al-Qur’an, hadis, ijmak, dan qiyas sebagai sumber rujukan, dan ia tidak boleh merintis hukum tanpa merujuk pada syariat Islam dan kemaslahatan umum.[3]
Relasi Negara dan Agama
Pemeliharaan dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, tetapi berhubungan secara simboitik, yakni berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Dalam kehidupan nyata, agama sangat memerlukan negara. Karena perkembangan agama juga didasari oleh pengelolaan negara terhadap agama dalam menjalankannya. Begitu juga sebaliknya, negara sangat memerlukan agama, kerena dengan agama, negara dapat berkembang dalam sektor spritualitas, bimbinan etika, dan moral bangsa. Hal ini sebagaimana yang telah di sampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulûmiddîn sebagai berikut:
وَالْمُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.”
Baca Juga; Keterkaitan Konsep Khilafah dengan Negara dan Agama (#1)
Pernyataan al-Ghazali tersebut memberi pemahaman bahwa penerapan syariat akan lebih sempurna jika ada campur tangan negara. Sebab, agama memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, bukan berarti negara bertindak semena-mena dan sesuai keinginan hati. Sebab, negara telah dibina dan dibimbing oleh agama yang mendasari segala perundang-undangan dalam negara. Dengan demikian, maka agama akan terjaga dan negara terus lebih maju. Senada dengan pandangan Imam al-Gazali, Imam al-Mawardi dalam kitab Adâbud-Dunyâ wad-Dîn menyampaikan:
المُلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالمُلْكِ يَقْوَى
“Kekusaan disertai agama menjadi langgeng dan agama disertai kekuasaan menjadi kuat.”
Hal demikian akan lebih tercapai jika sistem pemerintahan negara menggunakan sistem khilafah Islam sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, justru serta syiar-syiar dan ajaran agama lebih mudah tersebar di kalangan anak bangsa, dan bangsa akan semakin bermoral dan berdaulat serta terciptanya sebuah negara yang tayyibah wa rabbun gafur, sebagaimana yang terjadi pada negara-negara Islam priode khulafaur–râsyidîn, dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, yang terkenal dengan masa keemasan Islam.
Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa antara negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal demikian sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasul. terbukti, pasca Rasulullah wafat, hal pertama kali yang dilakukan oleh para sahabat adalah mengangkat pemimpin.
So, mendirikan suatu negara dengan sistem khilafah merupakan kewajiban demi terciptanya bangsa yang memiliki etika luhur, kehidupan makmur, dan berdaulat.
Anggota Semester IV ACS | Annajahsidogiri.id
[1]Wahbah az-Zuhaili, al–Fiqhul-Islami wa adillatuhu
[2] Taqiyuddin al-Nabhani, ad-Daulah al-Islāmiyyah
[3] Ibid