Julukan “Sayid” atau yang lebih dikenal dengan “Habib” merupakan gelar kehormatan yang biasa disematkan kepada mereka yang memiliki ketersambungan nasab dengan Nabi Muhammad. Sebelum julukan “Habib” dipakai, mereka lebih dikenal dengan julukan “Ahlul bait”. Ahlul bait sendiri adalah para keturunan Rasulullah dari jalur kedua cucu Rasulullah dari Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah: Sayyidina Hasan dan Husain. Dari sini, mungkin banyak yang bertanya, mengapa mereka tetap dianggap keturunan Rasulullah, padahal nasab mereka bersambung melalui putri beliau, Fathimah az-Zahra?
Pertanyaan seperti di atas sejak dulu memang sudah ada yang mempertanyakannya. Di antaranya, Harun ar-Rasyid, khalifah kelima dinasti Abbasiyah yang menjabat sejak tahun 786 M sampai 803 M.
Diceritakan, suatu saat Harun ar-Rasyid bertanya kepada Musa al-Kazhim, “Apa alasan kalian mengaku sebagai keturunan Rasulullah padahal kalian itu bukan keturunan beliau, melainkan keturunan Ali? Padahal, nasab seseorang itu dikaitkan kepada kakek dari pihak ayahnya, bukan dari pihak ibunya?”. Lalu Musa al-Kazhim menjawab seraya membaca surah al-An‘ām 84-85:
وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَارُونَ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَىٰ وَعِيسَىٰ وَإِلْيَاسَ
“Kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas.”
Kemudian beliau berkata, “Sebagaimana Nabi Isa -yang tidak memiliki ayah- disamakan dengan keturunan para nabi melalui jalur ibunya, kami juga demikian: disamakan dengan keturunan Nabi Muhammad melalui jalur ibu kami: Fathimah. Begitu pula, wahai Amirul-Mukminin, ketika ayat Mubāhalah turun, Nabi Muhammad tidak menyeru siapapun selain Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.”[1]
Dari jawaban Musa al-Kazhim di atas, ada dua alasan mengapa para habaib itu disebut sebagai keturunan Nabi Muhammad, meskipun ketersambungan nasab mereka dengan Nabi melalui jalur perempuan. Pertama, karena mereka sama seperti Nabi Isa dari segi nasab: sama-sama intisāb melalui perempuan. Nabi Isa disebut sebagai keturunan Nabi Ibrahim, melalui Sayidah Maryam. Sedangkan para habaib disebut sebagai keturunan Nabi Muhammad melalui Sayidah Fathimah az-Zahra.
Kedua, di saat ayat mubāhalah turun, Nabi Muhammad mengikutsertakan keluarganya dalam peristiwa tersebut. Adapun keluarga Nabi yang ikut hanya Sayidina Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Diriwayatkan bahwa setelah Nabi mengajak mereka, Nabi bersabda, “Ya Allah, merekalah keluargaku.”[2]
Perihal peristiwa mubāhalah ini, Allah berfirman di dalam surat Āli ‘Imrān ayat 61:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, at-Tafsīr al-Munīr, memberikan komentar bahwa ayat di atas merupakan dalil bahwa Sayidina Hasan dan Husain merupakan keturunan Nabi Muhammad, meskipun melalui jalur ibunya. Dan hal ini hanya tertentu kepada Sayidina Hasan, Husain, dan keturunannya. Sebab, jika Hasan dan Husain tidak dianggap sebagai keturunan beliau, maka hal itu menyebabkan terputusnya keturunan Nabi. Padahal Nabi telah bersabda bahwa keturunannya akan selalu ada hingga Hari Kiamat.
Baca juga: Kewajiban Kita Kepada Ahlu Bait
Berikut penjelasan lengkap beliau:
وَدَلَّ قَوْلُهُ تَعَالَى: {نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ}، وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَسَنِ: «إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ» عَلَى خُصُوصِيَّةِ تَسْمِيَةِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ: ابْنَيْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُونَ غَيْرِهِمَا، لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «كُلُّ سَبَبٍ وَنَسَبٍ يَنْقَطِعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا نَسَبِي وَسَبَبِي»
“Firman Allah: {Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anakmu}, dan sabda Nabi saw. tentang Hasan: “Putraku ini adalah seorang Sayyid” menunjukkan kekhususan penyebutan Hasan dan Husain sebagai dua putra Nabi karena ada sabda beliau “Setiap penyebab dan silsilah akan terputus pada Hari Kiamat, kecuali silsilah saya dan silsilah saya”.[3]
Selain dua alasan di atas, Nabi telah menjelaskan bahwa keturunan beliau akan lahir dari keturunan Sayidina Ali. Hal itu senada dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabīr berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا عُبَادَةُ بْنُ زِيَادٍ الْأَسَدِيُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ الْعَلَاءِ الرَّازِيُّ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ ذُرِّيَّةَ كُلِّ نَبِيٍّ فِي صُلْبِهِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ ذُرِّيَّتِي فِي صُلْبِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ )) رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah memberi tahu kami, dari Ubadah bin Ziyad Al-Asadi, dari Yahya bin Al-Ala’ Al-Razi, dari Jafar Ibn Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir, beliau berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt menempatkan keturunan setiap nabi pada tulang sulbinya, dan menempatkan keturunanku pada tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”[4]
Dari pemaparan di atas, bisa ditarik benang merah bahwa nasab para habib tetap bersambung dengan Rasulullah, walaupun melalui jalur Sayidah Fathimah, dan inilah keyakinan yang diajarakan ulama Ahlusunah wal Jamaah sejak dahulu. Di samping itu, kita juga harus meyakini bahwa keturunan Nabi akan tetap langgeng hingga Hari Kiamat. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. Wallāhu a‘lam.
Mohammad Ishaqi Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Zainal Abidin, al-Ajwibah al-Gāliyah fī ‘Aqīdatil-Firqah an-Nājiyah, hlm. 192
[2] At-Tirmidzi, Sunanut-Tirmiżī [2999]
[3] Az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, juz 2, hlm. 249
[4] Ath-Thabrani, al-Mu‘jam al-Kabir [2630]