Bagi warga Indonesia, siapa yang tak kenal dengan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar, sang pencetus organisasi Nahdlatul Ulama. Beliau memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Jaka Tingkir ) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yaqin (Sunan Giri ).Beliau lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon tanggal 12 Dzul Qadah 1287 H/14 Februari 1871 M. Melihat dari jalur nasab, Kiai Hasyim mewakili dua keistimewaan sekaligus, yaitu bangsawan Jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.
Baca Juga: Maulid Nabi Perspektif KH Hasyim Asy’ari
Kiai Hasyim masyhur sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama. Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami Islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku’’ (mencari ilmu adalah dengan berkelana).
Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius dididik dalam mendalami pengetahuan Islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur 15 tahun. Melalui ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadis, Bahasa Arab dan bidang kajian Islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Terbukti, belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian Islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.
Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban).Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’qub. Kedua gurunya (Kiai Kholil dan Kiai Ya’qub) dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama 3 tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian Islam, terutama tata bahasa Arab, Ilmu Sastra, Ilmu Fiqih dan Ilmu Tasawuf kepada Kiai Kholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Ilmu Tauhid, Ilmu Fikih, Ilmu Adab, Tafsir dan Hadis.
Baca Juga: Urgensitas Generasi Imam Al-Asy’ary
Atas nasihat Kiai Ya’qub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambil menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru kepada beberapa syekh di antaranya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfuz at-Tarmasi. Tiga nama ini (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.
Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara yang tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (Ahli Hadis di Makkah), ash-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang), KHR. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu)
Baca Juga: Kenapa Harus “al-Jamaah”?
Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan, Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah satu gurunya (Syekh Mahfuz).
Sepulangnya dari Makkah, Kiai Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M, dengan murid pertamanya berjumlah 28 orang. Tahun 1925 turut serta menyetujui pengiriman utusan ke Arab Saudi, yang di kenal dengan Komite Hijaz. Dari Komite Hijaz itu akhirnya dibentuklah sebuah organisasi yang disebut dengan Jamiyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H/01 Januari 1926 M di Surabaya. Kiai Hasyim menjabat sebagai Rais Akbar. Jabatan itu disandang hingga akhir hayatnya.
Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 H/21 Juli 194 M dan dimakamkan di belakang pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim wafat dengan meninggalkan banyak karya, Adapun di antara beberapa karya Kiai Hasyim yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara sampai sekarang sebagaimana yang disadur dari karangan Ust. Muhammad Idrus Ramli dengan judul, Madzhab al-Asy’ari, Benarkah Ahlusunah wal Jamaah ? antara lain: Muqaddimatul-Qanûn al-Asâsi li Jam’iyyah Nahdlatil-Ulamâ’, Risâlah fi Ta’kîdil-Akhdz bi Madzhabil-A’immah al-Arba’ah, Arba’in Hadîtsan Tata’allaq bi Mabâdi’ Jam’iyyât Nahdlatil–Ulamâ’, Risalah Ahlis-Sunnah wal-Jamâ‘ah, dan masih banyak lagi karangan yang lain.
Dari beberapa karya Kiai Hasyim tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian Kiai Hasyim terhadap agama. Karya-karya Kiai Hasyim itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa ia memang merupakan seorang ulama mujtahid yang telah banyak mengahasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya Jamiyah Nahdlatul Ulama.
Khaliq Aziz | Annajahsidogiri.id